Pembunuhan terhadap perempuan menjadi isu yang terus-menerus diberitakan di berbagai media. Tidak jarang pembunuhan dilakukan secara sadistis dan beberapa diawali dengan kekerasan dalam rumah tangga. Pada Rabu (11-09), terjadi kasus pembunuhan istri di Bandung yang dilakukan oleh suaminya sendiri. Tidak hanya itu, pembunuhan terhadap perempuan juga menimpa Nia di Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Seiring dengan hal ini, upaya pencegahan berupa pengumpulan data kasus pembunuhan perempuan menjadi langkah yang harus ditempuh. Namun, upaya tersebut tidak berjalan mulus. Keberpihakan media dan aparat kepolisian ikut memperumit pendataan kasus femisida. Dari sisi media, pemberitaan kasus pembunuhan perempuan tidak melihat dari sisi korban dan aparat cenderung menjadi narasi tunggal. Aparat pun beberapa kali kurang mengedepankan keselamatan korban.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai persoalan tersebut, BALAIRUNG berkesempatan mewawancarai Naila Rizqi dari The Jakarta Feminist yang turut merasakan sulitnya pendataan kasus femisida. Pada Kamis (04-07), ia menyampaikan bahwa ada keberpihakan media, perilaku aparat, serta aspek hukum yang menghambat pendataan kasus femisida. Hal ini rupanya juga dapat berdampak pada keluarga korban. Berikut wawancara lengkapnya.
Apa ciri-ciri kasus yang bisa dikategorikan sebagai femisida?
Nah, kita juga merujuk pada definisi yang ada, yang dibuat oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). Dia bilang kalau femisida itu pembunuhan perempuan berbasis gender yang berkaitan dengan faktor seperti ideologi patriarki, norma-norma maskulinitas, kekuasaan lelaki, penegakan peran gender, dan sebagainya. Kalau Komisi Nasional Perempuan dan Anak memberikan pembedaan, yaitu pembedaan antara pembunuhan perempuan dengan pembunuhan terhadap kasus lainnya. Pada kasus lainnya, elemen ketidaksetaraan gender menaklukkan opresi dan kekerasan sistematis terhadap korban. Jadi, pembunuhan itu dilakukan semata-mata karena korbannya adalah perempuan dan juga untuk mengobjektifikasi perempuan.
Seperti apa pengalaman ketika sulit mendata kasus femisida?
Pertama, tentu karena nggak ada data nasional. Kedua, kita harus mengumpulkan data itu dari media online, sehingga kita tidak bisa memverifikasi kasus-kasus ini.
Pada akhirnya karena kita nggak punya datanya, kita harus membaca berita kasus-kasus pembunuhan terhadap perempuan ini, dan itu bukan suatu hal yang mudah. Itu menguras emosi sekali membaca kasus-kasus ekstrem karena ‘kan yang membedakan antara pembunuhan perempuan dengan kasus pembunuhan lainnya adalah betapa sadis dan ekstrem tindakan yang dilakukan. Baik itu metode pembunuhannya atau metode menghilangkan barang bukti atau jenazahnya. Misalnya dimutilasi, dibakar, dibuang di dalam karung. Namun, metode membunuhnya pun juga sadistis dan kebanyakan kasus-kasus pembunuhan terhadap perempuan itu dibarengi dengan kekerasan seksual. Satu dari sepuluh kasus pembunuhan terhadap perempuan itu ada kasus pemerkosaannya, baik itu diperkosa sebelum dibunuh atau diperkosa setelah dibunuh.
Jadi, bisa dibayangkan bagaimana pelaku memperlakukan tubuh perempuan dalam kasus- kasus ini dan itu nggak mudah buat diproses dan dibaca setiap hari [oleh pengumpul data-red]. Itu berdampak secara emosional dan psikis.
Bagaimana keberpihakan media dan aparat memengaruhi pendataan kasus femisida?
Aku setuju media dan para penegak hukum punya peran penting dalam mendokumentasikan kasus-kasus femisida. Kemudian mereka mampu membentuk opini publik ataupun menjadi sarana bagi kita untuk mengedukasi publik tentang femisida itu sendiri.
Pertama, kalau dari aparat penegak hukumnya, secara sistem hukum peradilan pidana, hukum kita tidak punya segregasi data berdasarkan gender untuk kasus pembunuhan. Ketika kita tidak punya data soal pembunuhan perempuan, kita tidak bisa tahu seberapa fatalnya membiarkan kasus kekerasan terhadap perempuan yang ternyata bisa berujung pada pembunuhan perempuan.
Kedua, catatan soal media sebenarnya dari tahun ke tahun media telah menunjukkan perkembangan yang baik. Dari bagaimana mereka memberitakan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan ataupun femisida. Ada yang sudah memberikan judul yang objektif, salah satunya adalah soal mem-framing kasus-kasus kekerasan. Kadang ‘kan ada yang merendahkan, ada yang mengobjektifikasi, baik itu judul maupun isinya. Nah, kalau sekarang ada beberapa perbaikan, tetapi kita juga masih melihat beberapa media masih banyak yang click bait-nya itu merendahkan atau menyudutkan, bahkan mengobjektifikasi perempuan.
Di sisi lain, perspektif korban dalam pemberitaan media tentang kasus femisida sangat minim karena korban telah meninggal. Kalau kita baca berita di dalamnya, itu yang dikutip adalah polisi sebagai suara tunggal dalam kasus-kasus pemberitaan femisida. Jarang sekali yang meliput kasus femisida ini dari perspektif korban. Misalnya, dengan memperdalam pada pihak keluarga, pengada layanan ataupun pendamping korban.
Enggak banyak yang ngangkat soal gimana sih sebenarnya kondisinya korban? Apakah pada waktu kejadian pembunuhan ada intervensi dari orang lain yang bisa dilakukan? Misalnya, korban dalam situasi rentan, tetapi tidak ada tindakan intervensi dari keluarganya, tetangganya, atau bahkan dari pihak kepolisian. Kita miss di situ, kok bisa sih korban itu tidak dapat pertolongan apapun dari siapapun di sekitarnya sampai dia menjadi korban pembunuhan? Sementara yang terjadi di media adalah pelaku dilihat apakah punya gangguan jiwa, apakah dia punya kecenderungan, dan sebagainya. Namun tidak dilihat, gagal nggak sih kita sebenarnya sebagai masyarakat melindungi perempuan? Apa saja sih yang dibutuhkan korban supaya tidak terbunuh? Kita tidak dapat itu.
Bagaimana dampak kesulitan pendataan kasus femisida terhadap keluarga korban?
Sebenarnya pendataan bukan hanya pendataan, ya tapi juga intervensi dan pengakuan terhadap femisida itu penting untuk keluarga korban karena dalam kasus kekerasan ada yang namanya restitusi dan pemulihan. Nah, ini upaya yang seharusnya bisa kita lakukan untuk memenuhi hak-hak korban dan juga keluarga korban itu karena di sini korbannya meninggal. Tapi, korban kedua atau secondary victimnya adalah keluarga korban. Mereka juga berhak untuk dapat pemulihan dan restitusi dari pengalaman traumatis dari kekerasan yang dialami oleh anggota keluarganya.
Jadi, memang sistemnya belum ada. Sebenarnya undang-undang tuh sudah ada restitusi dan upaya pemulihan. Tapi kan, kalau misalnya kasus pembunuhannya itu dianggap sebagai pembunuhan biasa di dalam KUHP maka sulit untuk bisa mengakses pemulihan dan restitusi bagi keluarga korban. Yang selama ini ada itu ‘kan seperti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), ada Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) itu ada gitu, tetapi kan tidak semua menggunakan undang-undang tersebut. Dan aku pikir implementasinya juga aku belum pernah nemu, dengar, atau baca dalam kasus femisida. Kemudian keluarga korbannya mendapatkan akses restitusi ataupun pemulihan, itu aku belum pernah dengar.
Apakah ada kerangka hukum atau peraturan perundang-undangan yang bisa menghambat pendataan kasus femisida?
Kalau menghambatnya sih sebenarnya karena ketiadaan hukumnya. Ketiadaan aturan yang merespons secara khusus tentang femisida. Tidak ada aturan polisi, jaksa, dan Mahkamah Agung harus mencatatkan kasus pembunuhan berdasarkan gendernya. Itu nggak ada.
Kemudian, lebih ke perspektif dari aparat penegak hukumnya. Khususnya dari kompetensi aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Jadi kompetensi dan perspektifnya masih kurang sekali dalam kasus-kasus ini. Makanya, kemudian ada praktik-praktik polisi menyuruh korban untuk balik ke pasangannya.
Nah, ini yang justru kosong sebenarnya. Bagaimana kita perlu mendorong polisi untuk mengedepankan keselamatan korban? Kalau dalam kasus femisida itu ada yang namanya tools danger assessment atau penilaian kebahayaan untuk menilai apakah kasus kekerasan ini berbahaya dan berpotensi terjadi femisida. Kalau misalnya dia berpotensi terjadi femisida, maka tindakan awal yang harus dilakukan apa? Misalnya, menjauhkan pelaku dulu, menyediakan tempat aman, ruang aman bagi korban, dan sebagainya. Itu kita nggak punya.
Kalau hukumnya sendiri sejauh ini aku pikir, hukumnya beberapa sudah akomodatif. Ada UU TPKS, UU PKDRT, dan Undang-undang Perlindungan Anak. Kita sudah punya perangkat hukum yang bisa menjerat pelaku, tetapi secara implementasi perlu diperkuat dengan itu tadi. Entah itu panduan atau tools yang bisa membuat aparat penegak hukum memahami cara merespons kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan terhadap perempuan yang mungkin berpotensi menjadi femisida.
Lalu apakah isu femisida ini sebaiknya dibuat sebagai undang-undang tersendiri?
Kalau aku sendiri sih, aturan soal femisida tidak harus kemudian menjadi undang-undang, tapi setidaknya bisa merevisi peraturan yang berkaitan dengan pembunuhan terhadap perempuan. Secara spesifik diakui dimensi gendernya, ada dimensi yang membedakan antara pembunuhan secara umum dengan pembunuhan terhadap perempuan.
Nah, mungkin itu aspek yang bisa ditambahkan, misalnya definisi perkosaan sebelum KUHP yang baru. Itu kan masih sempit, hanya penetrasi. KUHP juga seharusnya diperbaiki, diperluas makna perkosaan itu apa saja. Tidak hanya penetrasi penis-vagina, dia bisa pakai alat, dia bisa menambahkan soal keadaan pingsan, dll. Dari situ bisa menambah nuansa kekerasan berbasis gender. Kemudian ancaman hukumannya juga diperberat. Nah, kupikir itu yang bisa kita lakukan, tidak harus membuat peraturan baru, melainkan memperbaiki yang sudah ada.
Selain itu, bisa diperkuat dengan intervensi untuk merespon kasus-kasus ini. Di beberapa negara, terutama di Amerika Latin, femisida sudah ada hukumnya sendiri dan sudah diakui sebagai tindak pidana. Jadi dia di luar kategori pembunuhan umum, tapi itu kita perlu explore lagi karena Indonesia baru mengenal femisida. Sementara negara-negara di luar sana sudah melalui proses panjang untuk mengintervensi kasus-kasus femisida. Begitu juga soal merespon kasus pembunuhan terhadap perempuan sebagai konteks kekerasan berbasis gender. Jadi, aku pikir itu sesuatu yang masih bisa kita explore ke depannya.
Apakah ada peningkatan ketidakpercayaan terhadap aparat dari persoalan isu femisida ini?
Kalau ini, perlu ada indikator sendiri untuk melihat pengaruh hubungan antara pemberitaan femisida dengan kepercayaan masyarakat. Aku nggak punya datanya, tapi kalau misalnya kaitannya dengan kekerasan ataupun respons aparat penegak hukum terhadap kasus-kasus lainnya, kita bisa bilang kepercayaan masyarakat semakin hari ‘kan semakin menurun.
Misalnya, tahun 2020 atau 2021, ada hashtag percuma lapor polisi karena polisi gagal merespons kasus kekerasan seksual. Itu ‘kan menunjukkan kelalaian dan ketidakseriusan polisi berpengaruh terhadap rasa percaya masyarakat terhadap polisi. Tapi, kalau kaitannya sama femisida, aku belum pernah menganalisis itu sih. Belum pernah melihat gimana hubungan itu terjadi.
Apa upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah, media, dan aparat, supaya isu femisida ini dapat terdata dengan baik?
Upaya awalnya bisa dimulai dari pengakuan bahwa femisida itu adalah puncak tertinggi dari kasus kekerasan berbasis gender atau kekerasan terhadap perempuan sehingga dia nggak dilihat sebagai satu kasus berdiri sendiri. Dia tidak dilihat sebagai kasus pembunuhan saja, tapi dilihat sebagai eskalasi dari kekerasan berbasis gender yang ada di bawahnya.
Prosesnya pelan-pelan. Pertama mungkin verbal, dikata-katain, kemudian dipukul, tereskalasi terus sampai dengan pembunuhan. Itu semua harus dilihat sebagai satu kesatuan. Tidak hanya kasus pembunuhan, tetapi bagaimana piramida kekerasan itu bekerja sampai membuat perempuan rentan mengalami femisida. Jadi harus ada pengakuan femisida sebagai bagian dari kekerasan berbasis gender. Kedua, pendataan yang tepat terkait dengan kasus-kasus pembunuhan perempuan. Bagaimana aparat penegak hukum maupun media punya peran untuk bisa memberikan porsi pada korban dan keluarga korban untuk bersuara dan memastikan bahwa keluarga korban bisa mendapatkan restitusi dan pemulihan.
Yang paling penting sebenarnya adalah pencegahan dari kasus-kasus femisida. Bagaimana intervensi dilakukan dari lingkup terkecil di lingkungan kita seperti keluarga, sekolah, atau tetangga. Masyarakat juga bisa turut berperan mengintervensi kekerasan. Kalau misalnya melihat kekerasan terjadi, apa nih respons yang bisa kita lakukan. Kemudian juga harus ada peran dari negara, ketika mendapat kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, mereka harus bisa memastikan keamanan korbannya, harus punya tools untuk menilai seberapa berbahayanya hubungan seorang perempuan dan laki-laki atau danger assessment tool. Sama yang tidak kalah penting adalah memberikan akses informasi terhadap lembaga layanan. Jadi, kalau misalnya kita mengalami kekerasan kita bisa tahu, “Oh, saya tuh bisa minta bantuan ke sini” nggak cuma lapor polisi gitu ‘kan.
Apakah ada rencana dari komunitas masyarakat untuk mengajukan revisi undang-undang ke DPR?
Sepertinya belum karena isu femisida itu masih awal sekali [masih baru di Indonesia-red]. Kita aja belum punya data nasional ‘kan tentang femisida. Kita perlu punya sistem intervensi yang tepat untuk femisida. Jadi diskursusnya masih pada mengumpulkan data-data, memetakan situasi, dan merumuskan intervensi apa yang kira-kira efektif. Sementara untuk bisa merumuskan kebijakan, alangkah lebih baik untuk punya data yang berbasis bukti dulu. Aku pikir itu tahapan yang sedang kita lakukan saat ini.
Penulis: Alfiana Rosyidah
Penyunting: Sukma Kanthi
Ilustrator: Farrel Baswara