“Polarisasi yang diakibatkan oleh Pemilu 2019 masih dapat dirasakan dampaknya hingga saat ini,” ucap Febriana Galuh, Direktur Eksekutif Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Kalimat tersebut ia ungkapkan dalam sesi diskusi bertajuk “Peluang dan Tantangan Pemilu Indonesia dalam Jagat Gangguan Informasi di Ruang Digital” pada Selasa (04-04). Diskusi tersebut dilaksanakan oleh AJI Indonesia dan didukung Google News Initiative dalam rangka antisipasi gangguan informasi jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Selain Febriana, diskusi yang diadakan secara daring tersebut menghadirkan dua pembicara lainnya, yaitu Khoirunnisa Nur Agustyati, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) serta Zainuddin Muda Z. Monggilo, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada.
Memantik sesi diskusi, Zainuddin mengatakan dalam pemilu dan demokrasi terdapat hak dan kewajiban masyarakat sebagai warga negara. Hal ini dikarenakan pemilu memberikan ruang bagi masyarakat untuk menyalurkan suaranya. “Dalam konteks demokrasi, masyarakat mempunyai andil dalam pembangunan negara seperti halnya berpartisipasi dalam pemilu,” ujar Zainuddin.
Menyoal partisipasi masyarakat dalam pemilu, Khoirunnisa memaparkan hasil riset yang dilakukan oleh Perludem mengenai gangguan hak pilih yang terjadi pada Pemilu 2019. Ia mengungkapkan bahwa alih-alih mampu merepresentasikan suara masyarakat, pemilu justru menghilangkan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara politik. Hal tersebut dikarenakan adanya penyebaran informasi palsu yang mengatakan bahwa masyarakat dapat memilih calon pemimpin melalui survei di media sosial. “Akibatnya, masyarakat kehilangan hak pilihnya karena tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara,” jelas Khoirunisa. Ia menilai serangan disinformasi tersebut bertujuan untuk mendelegitimasi proses pemilu.
Ketiadaan regulasi khusus untuk menanggulangi disinformasi berakibat terhadap Pemilu 2024 yang semakin kompleks. Khoirunnisa menyatakan bahwa hal ini akan memunculkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap jalannya pemilu. “Akan muncul ketidakpercayaan publik terkait proses dan hasil pemilu.” tegas Khoirunnisa. Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa hal ini akan menimbulkan polarisasi dalam tubuh masyarakat sehingga menyebabkan kemunduran demokrasi.
Di sisi lain, Zainuddin turut menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan pemilu, pers dan media juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengedukasi masyarakat. Namun sebaliknya, peran media sebagai watchdog terkadang tidak mempunyai tujuan yang jernih. Hal tersebut dikarenakan banyaknya ujaran kebencian, berita hoaks, dan pernyataan provokatif dari pendukung yang masih diberitakan di media digital. “Pemberitaan media seperti itu masih banyak dikonsumsi masyarakat tanpa mengetahui kebenarannya. Hal ini bisa berpengaruh terhadap hasil pemilu,” ujar Zainuddin. Menurutnya, hal ini bisa disebabkan oleh tekanan monopoli elite politik dan juga lemahnya fungsi sosial di masyarakat.
Dari sekian banyak tantangan yang disampaikan di muka, Khoirunnisa berpendapat bahwa publik juga memiliki peran penting dalam jalannya pemilu. Publik memiliki fungsi kontrol yang sangat diperlukan untuk mendorong ruang digital yang lebih demokratis pada Pemilu 2024. “Memperkuat konsolidasi dengan masyarakat sipil dan pihak penyelenggara pemilu bisa menjadi solusi dalam menanggulangi disinformasi yang terjadi,” jelas Khoirunnisa. Ia juga tidak mengharapkan terjadinya perpecahan di tengah masyarakat saat dilaksanakannya Pemilu 2024.
Penulis: Farida Ratnawati, Rais Aulia, dan Takhfa Rayhan Fadhilah
Penyunting: Hadistia Leovita
Fotografer: Bayu Tirta Hanggara