Kapasitas berlebih Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan kaitannya dengan masalah praperadilan disinggung dalam diskusi bedah buku berjudul Crime and Punishment in Indonesia pada Rabu (10-3). Diskusi diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera bersama; Center of Indonesian Law, Islam, and Society (CILIS); Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP); HukumOnline.com; dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Diskusi ini terbagi dalam tujuh sesi. Salah satu sesi bertajuk “Penalties and Sentencing”, dengan narasumber Leopold Sudaryono selaku perwakilan dari Australian National University, dan Rifqi Sjarief Assegaf selaku perwakilan dari LeIP.Â
Leopold memaparkan bahwa saat ini, banyak pelaporan kasus kapasitas berlebih lapas. Berdasarkan penelitian Leopold, masih banyak tahanan yang hidup dalam satu petak ruangan yang tidak layak. Bahkan, mereka harus membayar kepada petugas jika ingin pindah ke ruangan yang lebih luas.
Leopold juga menambahkan bahwa kasus kapasitas berlebih lapas disebabkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sangat keras dan khas. “KUHP kita sangat kolonial”, tegasnya. Leopold menilai bahwa alih-alih dipandang sebagai proses pembinaan, pemenjaraan malah dipandang sebagai penegakan ketertiban. Ia kemudian merujuk pada belum adanya rutan dan lapas pada banyak distrik di Indonesia. Menurutnya, hal menyulitkan proses pembinaan.Â
Padahal, ujar Leopold, pada tahun 2010 sampai 2014, sudah terdapat anggaran untuk membangun rutan dan lapas. Leopold menilai, terdapat kejanggalan dalam proses realisasinya. Leopold juga menilai bahwa tidak terealisasinya lapas dan rutan disebabkan oleh tidak sesuainya hukuman dengan tindak kejahatan tahanan. “Rata-rata dari mereka berasal dari keluarga yang dapat dikatakan miskin,” jelasnya.
Rifqi kemudian menjelaskan cara hakim menangani pelaku Tindak Pidana Ringan (Tipiring) bergolongan kurang mampu. “Sebagian hakim mengungkapkan bahwa orang miskin yang dipenjara tidak akan jadi masalah karena mereka sudah terbiasa hidup susah,“ ujar Rifqi. Selain itu, tambahnya, ada masalah pola pikir pada beberapa hakim. Menurutnya, mereka memandang Tipiring tidak mencegah kejahatan dan tidak adil bagi korban.
Rifqi menggunakan data pencurian dan penggelapan di empat pengadilan Jakarta dan sekitarnya pada tahun 2012 sampai 2015. Dengan data tersebut, Rifqi menjelaskan bahwa terkait dengan pemutusan perkara, terdapat perbedaan pada Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan Tipiring. Menurut Rifqi, Tipikor mendapat ancaman penjara minimum 1 sampai 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Sedangkan Tipiring mendapat ancaman penjara maksimal 5 tahun. “Kaitannya, perbedaan hukumannya tidak terlalu signifikan meskipun ada perbedaan ancaman hukuman yang besar antara Tipiring dan perkara korupsi,” tegas Rifqi.
Rifqi juga menceritakan tentang alasan polisi dan penyidik harus menahan pelaku Tipiring. Menurutnya, hal ini berhubungan dengan budaya penegakan hukum. Ia menjelaskan bahwa polisi merasa harus punya cukup waktu untuk memproses perkara. Ia juga menjelaskan bahwa polisi merasa harus menahan pelaku agar tidak kabur. Sementara itu, polisi yang hendak menahan pelaku untuk kebutuhan penyidikan mengetahui bahwa pasal Tipiring tidak bisa dipakai untuk menahan pelaku. “Oleh karena hal tersebut, dipakailah pasal non-Tipiring dan kemudian hakim harus memutus di luar pasal Tipiring juga,” terang Rifqi.
Rifqi menjelaskan bahwa kasus kapasitas berlebih lapas lebih banyak dialami pelaku Tipiring ketimbang pelaku Tipikor. Ia menyebutkan bahwa hakim lebih senang untuk menggunakan pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi, yang ancaman hukumannya lebih ringan untuk terdakwa. “Hakim menggunakan pasal yang ringan dalam Tipikor, sedangkan Tipiring berlaku sebaliknya,” sesal Rifqi.
Penulis: Lokahita Pradipta dan Setianingsih
Penyunting: Deatry Kharisma Karim
Fotografer: Winda Hapsari Indrawati