“Rakyat sesungguhnya hanya tinggal menelan ludah, sebab yang tersenyum paling akhir atas disahkannya Omnibus Law adalah kaum oligarki,” ujar Firman Noor, Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PLP-LIPI) dalam diskusi daring Indonesia Leaders Talk, Jumat malam (23-10). Selain Firman Noor, diskusi bertajuk “Omnibus Law dan Lonceng Kematian Demokrasi” ini juga dihadiri beberapa pembicara, yaitu Anggota Komisi II DPR RI, Mardani Ali Sera; Ekonom Senior Universitas Indonesia, Faisal Basri; dan Pengamat Politik, Rocky Gerung. Para pembicara tersebut dimoderatori langsung oleh Haldi Panjaitan, selaku Sekretaris Badan Pembinaan Kepemimpinan Daerah (BPKD) PKS.
Dalam paparan pembukanya, Firman Noor, atau kerap disapa Firman, menyatakan bahwa kehidupan demokrasi di Indonesia saat ini berjalan dalam kondisi cacat. Menurutnya, hal itu ditandai dengan sistem politik yang sudah serba elit dan demokratisasi internal partai politik ditopang oleh para oligarki. “Kehidupan partai politik yang ditentukan oleh segelintir elit itu kemudian direfleksikan dalam politik ketatanegaraan yang semakin menjauhi prinsip demokrasi,” jelasnya. Ia juga menyoroti fenomena biaya politik yang mahal dan sifat partai politik yang semakin pragmatis, sehingga dalam hal ini partai politik sangat menanti kedatangan oligarki.
Senada dengan Firman, Mardani Ali Sera menambahkan bahwasanya indikator utama dalam pembangunan bangsa adalah adanya konsolidasi fundamental antara demokrasi dan good government. “Bagaimana bisa membangun bangsa menjadi lebih baik, jika demokrasi dibunuh oleh dalih pengesahan Omnibus Law, yang hanya berfokus pada pembangunan ekonomi yang nyatanya menindas rakyat,” tandas Mardani. Lagi pula, dalam pengamatannya, pemerintah saat ini juga berada dalam lingkaran oligarki sehingga seluruh agenda politik didesain hanya untuk kepentingan mereka saja.
Hasil penelitian dari LIPI menyatakan bahwa 56 persen politisi yang berada di parlemen adalah pengusaha dan mayoritas menguasai posisi strategis parlemen. Sehingga dalam pandangannya, Faisal Basri sepakat bahwa kehadiran Omnibus Law menjadi karpet emas untuk para oligarki. “Hadirnya Omnibus Law membuat apapun yang dipandang sebagai penghambat investasi akan dilibas, apapun yang diminta pengusaha akan dikabulkan,” tambah Fisal. Disisi lain, Omnibus Law menurutnya juga melucuti hak-hak normatif pekerja, menumpulkan perlindungan lingkungan, mengurangi kewenangan daerah, menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha.
Oleh sebab itu, Rocky Gerung, menyampaikan kritik secara tegas bahwa Omnibus Law ini bukan sekedar mengesampingkan demokrasi, tetapi juga menghilangkan demokrasi. “Promosi Omnibus Law adalah merampingkan birokrasi, sekaligus membabat institusi, lihat saja KPK dihabisi, kekuasaan daerah dilanggar, hak masyarakat adat dirampas,” tegas Rocky. Selanjutnya, ia menilai bahwa secara political ethics demokrasi di Indonesia betul-betul sudah hilang. “Keadaan sekarang bukan lagi demokrasi, tetapi dinamakan plutokrasi, yakni sistem politik yang dikuasai oleh kaum kaya,” tambahnya lagi.
Sebagai penutup diskusi, Firman berpesan bahwa Indonesia membutuhkan seseorang yang curiga dan kritis demi nama baik. Ia juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk dapat berkolaborasi menjaga kebaikan. Sementara Faisal menyampaikan usulannya kepada pemerintah untuk meningkatkan martabat pekerja dalam Omnibus Law. “Pekerja bukan faktor produksi, tetapi manusia yang harus dinaikkan martabatnya,” ujarnya. Berkaitan dengan oligarki, tak lupa Rocky berpesan kepada pemerintah dengan nada satirenya. “Jalan Jokowi di Uni Emirat Arab mengingatkan kita kalau beliau mengasuh oligarki, sedangkan Jalan Munir di Den Haag mengingatkan kita bahwa beliau melawan oligarki,” ucap Rocky.
Penulis: Abiyyu Genta Rijadianto, Amanda Diva Nareswari, dan Nisa Puspita Mawadati (Magang)
Penyunting: Haris Setyawan
Fotografer: Muhammad Zia Ulil Albab (Magang)