Kediaman Mbah Maridjan di Kinahreja kini menjadi obyek wisata baru di daerah Kaliurang. Tempat tersebut berjarak lima kilometer dari Wisma Al Kindie. Berliku jalan yang mesti ditempuh untuk mencapainya, melalui jalan berkelok dengan tebing-tebing yang curam di bawahnya, pun hanya dapat dilalui oleh kendaraan pribadi. Meski begitu, banyak orang tidak keberatan berpayah-payah untuk berkunjung. Biaya masuk terbilang relatif murah, kira-kira satu kilometer dari lokasi, terdapat pos penjaga bertarif Rp3.000 per orang. Harga tersebut dengan penuh menawarkan wisata puing reruntuhan bangunan bekas erupsi Merapi serta rumah Mbah Maridjan.
Erupsi Merapi pada 26 November 2010 menyisakan puing-puing bangunan rumah Mbah Maridjan yang rata dengan tanah. Di tanah lapang itu, ada pembatas dari bambu bertuliskan ‘Dilarang Masuk’ di mana di bagian tengah berdiri simbolisasi makam Mbah Maridjan yang berbentuk nisan. Di sebelah baratnya, satu unit mobil APV—yang konon hendak digunakan untuk menyelamatkan mbah Maridjan—dipamerkan bersama foto-foto para korban yang hendak menolong saat erupsi terjadi. Sekilas, daerah tersebut nampak seperti desa mati, seandainya warung kecil yang dikelola menantu mbah Maridjan, Mursani Asih, tidak berdiri di sana.
Warung dengan nyala lampu oranye seadanya itu sebenarnya tidak nampak istimewa. Dinding dari anyaman bambu, beralaskan tanah, bertiangkan kayu. Semangat membangun kembali Kinahreja yang terpancar dari mata para penjaga warung-lah yang menghidupkan suasana. Tak pelak banyak pengunjung menyambangi warung itu. Warung Mursani menyediakan ragam buah tangan (kaos, tas batik, foto), makanan khas, hingga pop mie atau sekadar menyediakan pemesanan minum teh-kopi. “Sebelum erupsi merapi, Kinahreja sudah termasuk desa wisata. Dulu saya membuka warung di depan rumah, persis di tempat APV itu sekarang dipajang,” tutur Mursani.
Meski warungnya buka hingga pukul 19.00, Mursani tidak tinggal di sana. Dia kini menempatishelter Plosokerep, berlokasi di sebelah selatan lapangan golf Kaliurang. Karena tidak betah tinggal di shelter, dia mengaku hendak berusaha memperoleh kehidupan yang lebih layak. Dari hasil penjualan warungnyalah dia kini mengumpulkan dana untuk mengikuti program relokasi mandiri. “Dulu ada 10 rumah di sekitar kediaman kami, mau ikut relokasi ke dekat shelter,” ujar Mursani sembari membereskan beberapa dagangannya, “Totalnya ada 87 Kepala Keluarga (KK) di daerah sini.”
Pemerintah tidak ikut serta membiayai program relokasi tersebut. Hanya beberapa LSM dan media mainstream yang menyalurkan dana. “Untuk yang meninggal, cuma dikasih Rp6 juta, Mbak, sama pemerintah,” ucapnya lirih, “terus, jatah hidup yang janjinya dikasih setiap bulan, baru dikasih untuk dua bulan, jadinya cuma Rp300.000. Padahal sudah setahun…”
Tidak seperti kebanyakan penduduk di sana, Mursani memang patut optimis dia dapat mengumpulkan dana untuk relokasi. Setiap Sabtu dan Minggu, banyak wisatawan lokal berfoto di depan mobil APV yang selalu akan mengunjungi warungnya guna membeli makanan serta oleh-oleh. Pada hari-hari biasa, selalu ada minimal 9-10 orang. Untung dari penjualan lantas ditabungnya sedikit-sedikit.
Sore itu pun, serombongan keluarga datang berkunjung. Salah satu rombongan keluarga, keluarga Hidayat—pria asal Jakarta berdomisili di Makassar—bahkan mengajak sembilan anggota keluarganya turut serta merasakan suasana di rumah Mbah Maridjan. Tak lupa ia mampir ke warung, memesan beberapa pop mie dan teh hangat untuk mengganjal perut. Sambil menyantap pop mie di pegangan tangan, mereka memilih-milih kaos dan beberapasouvenir.
Hidayat mampir di warung itu dengan masih menenteng dan menyorotkan handycam-nya ke arah Mursani. Wanita berusia 50-an itu kemudian, sambil menyeduhkan pop mie, diminta bicara, “Saya Mursani, istrinya Pak Asek. Suami saya putra ketiga Mbah Maridjan dari lima bersaudara.” Setelahnya, Hidayat mengajak Mursani mengobrol dan bersenda gurau.
“Saya tertarik membaca tulisan ‘Kami Siap Bangkit Kembali’ di wilayah ini, terutama di warung ini. Saya kagum, tidak ada peminta-minta di sini. Orang-orang sini pasti percaya kalau di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Saya dengar memang begitu. Makanya, saya ajak anak-anak supaya mereka memahami ini.” Hidayat menjelaskan alasan ketertarikannya berkunjung sembari mengambil se-cup lagi pop mie untuk disantap. Kami pun sempat membeli keripik singkong seharga Rp7.500, jahe merah seharga Rp15.000, serta grubi Rp7.500. Tidak terlalu mahal, karena semua panganan itu hadir dalam bungkus-bungkus besar.
Rombongan keluarga Hidayat saat itu dipandu Warno Utomo. Jaket coklat dan topi hitam, beserta celana hijau army, dan sepatu kulit coklat tua yang ia kenakan menggambarkan secara kental sosoknya. Yakni sebagai seorang pria gunung yang saat itu menjadi pemandu lokaldadakan untuk daerah wisata Kinahreja. “Tadi kebetulan Pak Hidayat berhenti di warung, di sebelah Kali Kuning, jadi saya tanyai ‘mau ke mana, Pak?’. Kebetulan ia mau naik, jadi saya tawarkan untuk mengantar ke atas.”
Ia menuturkan, sebelum erupsi Merapi pengunjung yang datang biasanya langsung bertemu dengan mbah Maridjan. “Waktu itu, mereka ndak butuh saya buat jadi pemandu. Tapi sekarang, saya bisa jadi pemandu. Biasanya, di sini ramai pas Sabtu dan Minggu. Uangnya lumayan,” kisahnya.
Kini Warno tinggal di warung, ia tidak mampu membiayai program relokasi. “Uangnya cuma cukup buat hidup, saya enggak ada dana untuk daftar. Karena kalau mau ikut, mesti beli tanah sendiri, dan itu biayanya banyak, Mbak,” ia berhenti sejenak, “ya, saya ini anaknya banyak, Mbak. Pertama sudah nikah, yang kedua SMP baru dua tahun, eh, malah enggak diterusin. Sekarang nganggur di rumah. Terus yang lain masih sekolah, masih SD. Biaya buat itu saja kurang, Mbak.”
Sekolah anaknya kini terletak 100 meter dari Balai Desa Umbulharjo di Jalan Merapi Golo. Bangunannya berdinding bambu, beratapkan seng. “Dulu sekolah anak saya di Pangurejo, letaknya sebelah gerbang masuk masih ke atas lagi. Kalau saya ada uang, ya, saya pasti ikut relokasi, tapi ya gimana,” Harapan masih tampak dari matanya ketika bercerita.
Lain cerita dengan Nurrohman, pria berusia 35 tahun tersebut lebih memilih menyalurkan dananya untuk membangun rumah permanen di daerah Kinahreja dibandingkan mengikuti program relokasi. Di rumah permanen itu, ia dan ibunya kini tinggal. Ibunya adalah anak pertama dari mbah Maridjan. Dari sejarah hidupnya, terdapat garis merah antara keluarganya dengan daerah itu, yang ia tidak ingin lupakan begitu saja. Karena itu, ia bahkan tidak menghiraukan larangan pemerintah untuk tidak membangun gedung permanen di wilayah KRP3—yang juga melingkupi sekitar daerah Kinahreja.
Matanya nampak berkaca-kaca. Ia pun mulai menceritakan detail kejadian pada tanggal 26 November 2010. “Waktu itu, meski bahaya sudah kelihatan, kami masih bertahan. Waktu ituGegana Apian (alat pendeteksi erupsi—pen.) sudah bunyi. Waktu itu, Merapi sudah erupsi,” tuturnya.
Ketika itu, mereka tidak bergegas menyelamatkan diri. “Saya ingat kejadian tahun 2006, Mbak. Waktu itu ada erupsi Merapi juga, meski katanya skala kecil. Selama tiga bulan ada suara gemuruh setiap pagi. Padahal, menurut saya, yang tahun 2006 lebih parah daripada yang 2010,” ujarnya. Sayangnya, ketika mereka akhirnya memutuskan untuk mengungsi, kebanyakan KK hanya memiliki satu motor untuk digunakan mengungsi. Sementara, menurut Nurrohman, satu keluarga bisa saja terdiri atas lima orang. Tiga puluh enam orang meninggal pada kejadian itu. “Karena itu untuk menyelamatkan diri juga jadi susah, Mbak.”
Alasan kedekatan keluarganya dengan Merapi-lah yang menjadikan mereka tetap setia tinggal di sana. Bahkan saat itu—hujan mulai turun deras—ia berusaha mengenang saat-saat terakhir berkumpul bersama keluarga. Tepat satu jam sebelum Adzan Maghrib pada saat erupsi Merapi terjadi, ketika mereka hendak makan bersama, ia diminta untuk berkunjung ke rumah mbah Maridjan, eyang kakungnya. Seperti yang telah diketahui umum, mbah Maridjan tidak bersedia meninggalkan rumahnya karena baginya di sanalah tanah kelahirannya, dan lagipula ia mengampu amanah Sultan Hamengkubuwono IX sebagai juru kunci Merapi. “Tiga hari sebelum kejadian, mbah baru pulang dari Bandung, jadi saya dan adik disuruh ibu buat mampir ke atas. Waktu itu sudah ada satu reporter di rumah. Reporter itu ikut meningal.”
Kini, walau telah membangun rumah permanen, ia mengaku masih tinggal di shelter. Di sana, ia beternak lele bersama para pengungsi lainnya. Ia menyampaikan, kebanyakan penghunishelter berusaha mengumpulkan uang untuk relokasi mandiri. “Untuk relokasi, perlu minimal Rp9 juta, Mbak. Kalau mau rumah yang dekat jalan, minimal Rp16 juta di awal. Ya sayamending beli semen dan batako sama pasir sendiri dan bangun rumah di sini.”
Sementara itu, rumah permanen yang dibangunnya selama tiga bulan tersebut totalnya menghabiskan biaya hingga Rp27 juta. Ketika sekali lagi ditanyai mengenai regulasi pemerintah yang melarang pembangunan gedung permanen di daerah itu, Nurrohman masih berkilah. “Sampai sekarang, enggak ada teguran dari pemerintah. Pokoknya orang-orang di sinindak akan ikut relokasi,” tandasnya.
[Dewi Kharisma Michellia, Sri Rahayu Mulyaningsih]
1 komentar
& SINGGIHterimakasih atas komentarnya, kami seujtu bahwa zona ancaman memang sebaiknya bukan berdasarkan wilayah administrasi, melainkan real hazard atau deliniasi ancamannya dilapangan, tetapi untuk menggambarkan kedalam peta hal tersebut memerlukan waktu dan proses yang lama. Peta yang kami buat bertujuan memberikan gambaran awal wilayah administrasi dalam hal ini desa yang masuk dalam jangkauan jarak sesuai dengan yang diterapkan pemerintah. peta akan kami update dengan menambahkan wilayah KRB dan sungai untuk gambaran ancamannyaterimakasihpusat krisis BNPB