“Belum ada bukti bahwa kartel pangan itu ada. Namun, indikasinya bisa kita lihat,” terang Mochammad Romahurmuziy, Ketua Komisi IV DPR RI. Hal ini ia sampaikan dalam diskusi bertajuk, “Membongkar Kartel dan Mafia Pangan” pada Kamis (23/5). Acara ini diadakan oleh Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) di gedung Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Prof. Ali Agus, guru besar Fakultas Peternakan UGM, dan Prof. Mochammad Maksum, guru besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, juga turut diundang menjadi pembicara dalam diskusi ini.
Kartel, menurut Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999, merupakan perjanjian antar pelaku usaha untuk mempengaruhi harga dengan berbagai upaya. Akibatnya, muncul praktek monopoli dan persaingan tidak sehat. Romahurmiziy menerangkan, indikasi mengenai kartel dapat dilihat dari kebijakan impor dalam sektor pangan. Padahal, produksi dalam negeri sudah memungkinkan untuk pemenuhan kebutuhan. Ia membeberkan contoh dalam kasus impor daging sapi. Sebenarnya, produksi daging sapi cukup potensial. Namun harga jual daging sapi lokal kalah bersaing dengan daging sapi impor. Pasalnya, biaya distribusi membuat harga jual daging lokal lebih mahal sekitar dua kali lipat dibanding daging impor. “Mana ada orang yang mau beli daging dua kali lebih mahal?” ungkapnya.
Hal lain yang mengindikasikan adanya kartel adalah hasil produksi pangan yang selalu jauh dari target. Maksum menyebutkan, target tahun lalu produksi kedelai 1,9 juta ton. Namun, hanya 40 % yang berhasil diproduksi. Akibatnya, sebelum ramadhan tahun lalu bea cukai kedelai dihapus. “Pemerintah selalu mengemukakan data yang sulit kita bantah,” tambah Romahurmuziy.
“Pengembangan produksi pangan dalam negeri tidak serius dilakukan. Selama ini hanya sebatas jargon politik,” ungkap Romahurmuziy. Ia mengemukakan, pelemahan produksi pangan dalam negeri sebenarnya telah dimulai sejak liberalisasi sektor pangan pada era orde baru. Saat itu Soeharto menandatangani perjanjian Letter of Intent (LoI) dengan IMF pada Januari 1998. Sejak saat itulah impor di sektor pangan mulai gencar dilakukan.
Akibatnya, saat ini neraca perdagangan komoditas pertanian memang surplus. Namun, menurutnya, hal ini tidak bisa serta merta dimaknai sebagai swasembada pangan. Pasalnya, hanya sub-sektor non-pangan, yaitu perkebunan, yang mengalami surplus sebesar 33 juta dolar. Sub-sektor lain mengalami defisit. Di antaranya, tanaman pangan sebesar 5 ribu ton, holtikultura 1 juta dolar, dan 2 juta dolar untuk peternakan.
Kondisi ini diperburuk dengan angka inflasi yang mencapai 5,9 persen selama Januari sampai Maret. Salah satu penyebab inflasi ini adalah tidak terpenuhinya permintaan terhadap empat komoditas pangan, di antaranya daging, bawang putih, bawang merah, dan cabai. “Kini swasembada semakin 2014 semakin tidak terbukti,” keluh Maksum.
Maksum menegaskan, kita perlu melakukan perubahan dari sekedar ketahanan menuju kedaulatan. Hal ini dapat dicapai dengan memberdayakan masyarakat menuju kemandirian. “Sebenarnya kita mampu. Petani kita cukup cerdas,” tegas Arif Budiman, seorang peserta dalam diskusi ini. Selain itu, Maksum menyatakan, pemerintah perlu tegas mengatur dan mengawasi sektor yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak ini. “Kita yang memiliki kebebasan berpendapat juga perlu mengambil peran. Jika memang ada yang salah, berteriaklah dan jangan pernah berhenti,” pungkas Romahurmuziy. [Ahmad Syarifudin]