Geliat perjuangan kelompok minoritas–LGBT dalam menciptakan ruang aman masih belum tercapai hingga saat ini. Tahun ke tahun, kelompok LGBT tetap dianggap sebagai parasit yang perlu dihilangkan dari ruang-ruang publik. Mereka selalu dipaksa memerankan “sesuatu” yang bukan diri mereka agar bisa menjadi bagian dari masyarakat. Namun, kondisi yang menekan ini tidak menjadi alasan mereka untuk tertutup dengan dunia luar. Mereka giat berhimpun untuk menciptakan ruang aman dan memperjuangkan hak-hak mereka. Pintu mereka selalu terbuka dan menyambut barangsiapa yang mau berhimpun bersama.
Cerita datang dari Teresa Shinta. Penelitian yang ia lakukan memberi jalan perjumpaannya dengan komunitas People Like Us Satu Hati (PLUSH). Tak melihatnya sebagai gangguan dalam masyarakat, Tere menemukan kedekatan tersendiri dengan PLUSH. Di sela-sela penelitiannya sebagai seorang calon dokter spesialis kejiwaan yang cukup ruwet, ia menemukan motivasi dalam semangat mereka kala mengupayakan ruang amannya. “Menurut saya, mereka punya keunikan, kesedihan, dan kegembiraan sendiri,” tutur Tere.
Sebagai bagian dari komunitas, Gabriella Auburn membagikan cerita menyenangkan yang ia simpan selama berkumpul dengan PLUSH. Ia selalu mendapatkan ruang untuk menumpahruahkan ceritanya walau belum bergabung resmi dengan PLUSH. Pertemuan-pertemuan kecil komunitas diikutinya tanpa merasa ada beban. “Orang-orangnya [anggota PLUSH-red] hangat, aku nggak perlu customized,” ucap Gabriella.
PLUSH mencoba mengajak untuk menghabiskan malam minggu dalam kegiatan Malaria Minggurita. Kegiatan ini menjadi cara mereka mempertemukan banyak orang dan menghilangkan prasangka bahwa queer tidak hanya party semata. Tak ingin ngalor-ngidul, mereka coba membawa setiap obrolannya sebagai tempat perkenalan lebih dalam dengan queerness atau ketidaksetujuan atas heteronormativitas. Salah satu dari kegiatan malam minggu itu mereka gunakan untuk membahas ruang aman kelompok queer dalam penggunaan media sosial.
Fairy yang membagikan waktunya secara sukarela sebagai salah satu pengurus PLUSH menanyai setiap orang yang hadir tentang pengalaman mereka bertemu orang yang mereka kenal dari sosial media. Perkenalan dengan orang asing lewat gawai tidak bisa mengelak pengalaman-pengalaman buruk yang mereka hadapi, termasuk kekerasan seksual yang mereka dapatkan. Dengan penuh kehati-hatian, Fairy mengajak semua orang yang hadir untuk menyadari pentingnya ruang aman termasuk di ranah daring.
Setiap pertemuan Malaria Minggurita membuka ruang aman dan selalu menghadirkan kelegaan bagi setiap orang yang datang. Sayangnya, bagi Tere ruang aman yang demikian susah ditemukan dalam lingkungan psikologis. “Kalau kita lihat, psikiater di Jogja itu yang ramah LGBT kayaknya dikit deh,” ungkapnya.
Pascareformasi rupanya turut menyumbang trauma bagi kelompok minoritas seperti LGBT, bahkan jauh sebelum komunitas terbentuk. Sering mendengarkan cerita sebelum menjadi pengurus PLUSH, Didin menyebutkan bahwa gerakan-gerakan liberal selalu berbanding lurus dengan gerakan-gerakan kanan. “Dulu [pascareformasi-red] itu ada tekanan hebat dari kelompok kanan ke kelompok LGBT dan teman-teman LGBT saat itu tidak bisa selalu bergantung ke orang lain,” imbuhnya.
Berangkat dari sana, komunitas PLUSH akhirnya terbentuk lewat penyatuan visi antara Komunitas People Like Us dan Komunitas Satu Hati. “Jadi, PLUSH itu sebenarnya gabungan dua komunitas,” ungkap Didin. Ia menjelaskan, Satu Hati merupakan komunitas LGBT yang bergerak dalam aksi-aksi sosial ke pedesaan, sedangkan People Like Us berfokus dalam pengangkatan dan penerimaan LGBT. Gabungan komunitas ini bergerak dan memberikan advokasi untuk teman-teman LGBT.
Inisiasi yang muncul dari setiap individu yang terlibat dalam dua komunitas ini menjadi pegangan PLUSH untuk tetap melanjutkan seluruh usahanya. Didin menuturkan bahwa kesamaan visi untuk memperjuangkan hak kelompok LGBT menjadi kekuatan mereka. Setiap kesulitan yang ada dalam komunitas menjadi pengalaman yang membekas dalam perjalanan mereka memperjuangkan hak-haknya. “Kalau dilihat sekarang, itu tuh [perjuangan kelompok LGBT-red] hal yang indah gitu loh,” tuturnya.
Fairy kembali mengenang masa saat PLUSH mencoba menyebarkan kesadaran kolektif akan keberagaman sembari mengekspresikan diri. Upaya-upaya advokasi PLUSH untuk menghapus stigma negatif masyarakat mereka hadirkan lewat pentas teater. Pergerakan secara halus ini menjadi bentuk penerimaan LGBT sebagai warga negara yang haknya harus dipenuhi. “Keberagaman ini [LGBT-red] bukanlah hal yang buruk,” tegas Fairy.
Sembari mengenang tahun-tahun yang berat, Didin menceritakan bahwa PLUSH juga terdampak atas represi dan diskriminasi yang dilakukan di mana-mana pada kelompok LGBT. Tahun 2016 menjadi tahun yang sangat membekas dalam ingatan. Tak cukup melayangkan stigma negatif, kelompok yang tidak setuju dengan kelompok LGBT juga menggeruduk rumah sekretariat PLUSH. “Saat itu, kami belum punya sistem keamanan yang cukup. Untungnya yang mereka serbu itu bekas kantor kami,” ungkap Didin.
Walau demikian, penyerbuan yang dilakukan kepada kelompok LGBT adalah hal yang amat disayangkan. Didin bercerita bahwa penyerbuan itu hanya mengandalkan alamat PLUSH yang tertera di aplikasi Google Maps. Ia menerangkan bahwa bekas kantor mereka digantikan oleh galeri seni. “Jadi, mereka menyerbu galeri seni. Lukisan-lukisan yang dianggap mengandung konten pornografi itu diambil,” ujar Didin.
Kejadian seperti penyerbuan menjadi alasan seringnya ruang sekretariat PLUSH berpindah-pindah. Setiap kegiatan mereka dihantui rasa cemas. Khawatir jika sewaktu-waktu mereka digeruduk lagi atau bahkan dicegat saat ingin pulang. Fairy menyampaikan kondisi saat PLUSH dulu melakukan kampanye LGBT melalui radio. Ia dan teman-teman queer selalu was-was sehabis melakukan siniar. “Dulu siaran di radio bahas LGBT, sensasinya luar biasa. Kita mikir, ‘Ini nanti pulangnya aman nggak, ya?’, gitu,” sambungnya.
Celakanya setiap ketakutan itu acap kali harus berakhir dalam kondisi mental yang buruk. Dalam kondisi-kondisi ini, PLUSH hadir lewat penyediaan ruang aman bagi teman-teman queer. “Terus tentang kesehatan mental, teman-teman PLUSH juga paham. Jadinya aku lebih aware,” cerita Gabriella.
“PLUSH tuh nggak cuman wadah [ruang aman-red],” terang Gabriella. Ia menceritakan bahwa saat pertama bersinggungan dengan PLUSH, ia melihat bahwa komunitas ini juga memperjuangkan isu-isu lain. PLUSH bergerak dan ikut memperjuangkan isu-isu Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk kasus-kasus kekerasan.
Sekali pernah mereka menerima laporan kasus kekerasan terhadap seorang anak di rumahnya sendiri. Kejadian ini tak bisa Didin lupakan. Ia dan komunitas melakukan pendampingan atas laporan penyekapan tersebut. “Anak itu disekap sama orang tuanya bahkan sampai dilempar piring ke arahnya,” miris Didin.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi kasus yang cukup sering dikeluhkan kepada PLUSH. Namun, apa boleh buat, mereka tidak bisa melakukan banyak hal. PLUSH selalu dalam posisi Maju Kena, Mundur juga Kena. Ranah domestik yang privat sangat sulit untuk diakses, jerat hukum selalu membayangi tatkala pihak luar ingin terlibat. Sementara laporan dari korban ke pihak penegak hukum tidak membantu sama sekali. “Apalagi sebelum ada undang-undang kekerasan seksual, lebih sulit lagi,” jelas Didin.
Tak berhenti di sana, kekerasan juga terjadi kepada kelompok LGBT. Setidaknya, bagi Fairy kebencian yang dialamatkan pada kelompok LGBT mestinya tidak ada. “Keberagaman adalah fitrah,” tegas Fairy. Setiap kebencian itu akhirnya berujung dalam bentuk kekerasan. Kekerasan-kekerasan ini masih bisa ditemukan di pinggir jalan, saat teman-teman transpuan bekerja di malam hari.
Tak sekali-dua kali, sudah berkali-kali Fairy mendapat keluhan atas ujaran kebencian tanpa sebab. Satu yang membekas di ingatannya adalah seorang transpuan yang kepalanya berdarah karena dilempar batu tiba-tiba. “Padahal mereka [transpuan-red] nggak ngapa-ngapain gitu loh,” keceknya dongkol.
“Kemarahan mereka [masyarakat-red], ketidaksukaan mereka, berawal dari ketidaktahuan karena tidak pernah terpapar isu,” tegas Fairy. Selama ini isu LGBT dalam masyarakat selalu disudutkan dan tidak memiliki kontrol wacana. Baginya, porsi informasi yang terpangkas ini menyebabkan kebencian masyarakat terhadap kelompok LGBT. Ia melihat untuk mengikis amarah-amarah yang sudah tertanam dalam masyarakat, PLUSH coba mengatasinya lewat kampanye-kampanye yang mereka lakukan.
Kampanye yang dilakukan PLUSH tidak serta-merta memaksa penerimaan kelompok LGBT. “PLUSH ingin menggambarkan realitas, memproduksi pengetahuan berbasis teori, dan bisa dikonsumsi,” ujar Didin. PLUSH hadir sebagai ruang inklusif yang bisa digunakan untuk meningkatkan kesadaran kolektif masyarakat akan isu LGBT.
Pemahaman inklusif yang didambakan PLUSH mereka taruh dalam kelas belajar untuk memahami makna atas keberagaman. “Kelasnya itu tentang sejarah seksualitas, akar penindasan, sejarah LGBT di Indonesia, gerakan LGBT di Indonesia, kayak gitu-gitu,” jelas Fairy. Ia menekankan bahwa lewat kelas ini pemaknaan atas kata queer tidak lagi hanya LGBT, tetapi segala ketidaksepakatan atas heteronormativitas.
Rentetan usaha PLUSH dan seluruh cerita-cerita mereka sebagai komunitas yang selalu mengadvokasi tidak ingin berhenti dan dikenang saja. “Dari organisasi itu berharapnya, ya, muncul circle-circle baru, orang-orang yang punya ketertarikan di isu perlindungan HAM dan politik,” harap Didin. Ia ingin komunitas ini masih terus menjadi ruang aman yang memberikan tempat hangat bagi semua orang yang dimarginalkan dalam masyarakat.
Sembari membangun komunitas agar memiliki pondasi yang lebih kuat dari dalam, Fairy melihat bahwa PLUSH akan bertahan dengan adanya bantuan dari luar. Sudah menjadi keharusan, komunitas-komunitas marginal perlu bekerja sama, bahu-membahu dalam sistem yang suka merugikan dan mendiskreditkan hak banyak pihak. “Untuk bisa survive, kita [PLUSH-red] harus bersolidaritas dengan isu-isu lain karena nggak bisa sendiri,” tegas Fairy. Lewat cara ini, komunitas tidak hanya akan mencari ruang aman, tetapi menciptakan ruang aman bersama.
Represi yang menghantui kelompok LGBT bukanlah hal yang bisa dihilangkan segampang menjentikkan jari. Sambil menggandeng pilu atas kondisi yang dialami kelompok marginal, Tere menyadari bahwa perjalanan kelompok LGBT untuk mendapatkan penerimaan masyarakat masih panjang. Namun, keberadaan komunitas yang mengusahakan ruang aman ini bisa menjadi harapan bagi semua kelompok-kelompok yang dimarginalkan, tidak hanya LGBT. “Mereka inikan manusia. Jadi, seharusnya kita memanusiakan manusia,” pintanya.
Menjadi komunitas non-profit dengan aktivitas yang menguras waktu dan tenaga menyulitkan PLUSH dalam melakukan advokasi. Walau demikian, komunitas tetap terbuka dengan semua orang di tengah badai ketiadaan anggota yang mau menetap dan meluangkan waktu mengadvokasi. Dengan berat hati, Didin harus mengakui bahwa pekerjaan yang bersifat sukarela inilah yang membuat PLUSH menjadi komunitas yang kaya akan suaka, “sukar akan personal”.
Penulis: Ester Veny
Editor: Ilham Maulana
Ilustrator: Ester Veny