Sabtu (28-10), Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Fakultas Teknik UGM menyelenggarakan gelar wicara yang berjudul “Kesadaran Kolektif Pasca Depolitisasi Kelas Pekerja Orde Baru”. Gelar wicara ini mendiskusikan dinamika kesadaran kolektif pekerja pasca depolitisasi Orde Baru. Dilaksanakan di Selasar Gedung SGLC Fakultas Teknik UGM, gelar wicara kali ini menghadirkan dua narasumber, yaitu Andreas Budi selaku Dosen Departemen Sosiologi UGM dan Muchtar Habibi selaku Dosen Departemen Manajemen Kebijakan Publik UGM.
Diskusi dimulai dengan pemaparan dari Andreas tentang sejarah depolitisasi pada masa Orde Baru yang tidak hanya terjadi dalam dunia pekerja, tetapi juga terjadi dalam kehidupan kampus. Andreas menyoroti penerapan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang telah membungkam aktivisme mahasiswa saat itu. Terdapat pula upaya “penjinakan” bagi para pekerja dengan menggunakan Golongan Karya (Golkar) sebagai alat propaganda dengan mengeklaim dirinya sebagai partainya para golongan karya atau pekerja. “Maka, NKK/BKK juga dilakukan di kampus. Pekerja ditertibkan, bahkan kalau perlu akan dikonsolidasikan ke dalam Golongan Karya,” ujar Andreas.
Andreas menjelaskan bahwa perkembangan situasi sosial-politik masyarakat saat itu menumbuhkan kesadaran yang kemudian memunculkan gerakan reformasi. Namun, runtuhnya keotoriteran pada Orde Baru yang ditandai dengan Reformasi ternyata tidak banyak mengubah keadaan. Ia menyebutkan bahwa aktor-aktor yang berada di lingkaran kekuasaan Orde Baru justru melakukan reorganisasi. Hal tersebut menyebabkan mereka tetap dapat menduduki posisi penting di berbagai sektor yang ada di Indonesia. “Walaupun akhirnya terjadi reformasi, sebetulnya kita ini juga mendapati sebuah era yang sebetulnya tidak teramat jauh berbeda dengan apa yang terjadi di era Soeharto,” ungkap Andreas.
Lanjut berbicara mengenai serikat pekerja, Habibi menjelaskan bahwa pada zaman Soeharto, hanya terdapat satu serikat yang direstui, yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Pasca-Reformasi, kebebasan berserikat diatur dalam UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Namun, menurut Habibi, usaha kebebasan berserikat ini hanya seperti embusan angin belaka untuk para pekerja. Hal ini lantaran SPSI masih berkaitan erat dengan Orde Baru. “Serikat pekerja semacam ini sifatnya melayani kepentingan manajemen dan pemerintah, bukan melayani kepentingan pekerja,” terang Habibi.
Habibi mengungkapkan bahwa jumlah pekerja yang bergabung dalam serikat pekerja di Indonesia saat ini mencapai sekitar 5 juta pekerja dengan 1,5 jutanya merupakan anggota dari SPSI. Menurutnya, anggota SPSI berjumlah banyak karena organisasi ini bekerja sama dengan manajemen perusahaan. “Pekerja masuk perusahaan sudah otomatis jadi anggota SPSI tanpa mendaftar,” jelas Habibi. Hal ini berarti banyak pekerja yang secara tidak sadar telah mendaftarkan dirinya sebagai anggota.
Selain itu, Habibi mengungkapkan masalah lain yang mendesak pekerja, yakni adanya sistem fleksibilitas pasar tenaga kerja. Sistem ini muncul karena IMF (International Monetary Fund) memberikan pinjaman ke Indonesia untuk kepentingan ekonomi pada tahun 1997 sampai 2000 awal. “Salah satu perjanjiannya atau letter of intent-nya adalah Indonesia harus mengadopsi yang namanya labour market flexibility, yakni pasar tenaga kerja yang fleksibel,” jelasnya.
Pasar tenaga kerja yang fleksibel tersebut, lanjutnya, memunculkan sistem kontrak dan alih daya dalam alur kerja. Hal ini menghadirkan kerentanan berserikat dalam kalangan pekerja. “Coba ambil kasus pekerja kontrak atau alih daya. Kalau Anda itu cuma dikontrak 6 bulan, anda punya keberanian nggak untuk berserikat?” tanya Habibi. Ia juga menambahkan bahwa pada realitanya jika pihak perusahaan mengetahui pekerjanya berserikat, kontrak dengan mudah tidak akan diperbarui.
Meskipun konsep kontrak dan alih daya menghambat kemampuan para pekerja untuk membentuk serikat, Andreas menggarisbawahi pentingnya kesatuan dalam mendukung hak-hak kolektif. Hal ini terlepas dari kendala-kendala struktural yang mungkin ada di negara ini. Tidak hanya menyasar pekerja formal, Andreas juga mengajak seluruh masyarakat UGM untuk berserikat. “Saya ingin mengatakan saja, teman-teman mahasiswa semua yang ada di sini dan mungkin juga seluruh UGM, berserikatlah!” serunya menutup gelar wicara tersebut.
Penulis: Clarissa Alyn, Hafidh Zidan Nur Ridho, dan Leoni Nevia Yesha (Magang)
Penyunting: Nandini Mu’afa
Fotografer: Fero (Magang)