Jumat (5-11), Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan diskusi daring dengan tajuk “Negara Mahasiswa = Gerakan Mahasiswa???”. Diskusi yang dimoderatori oleh Gita Rosani, mahasiswi FIB, ini diselenggarakan secara daring dengan menghadirkan tiga narasumber, yakni Luthfi Hamzah, alumnus Departemen Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM sekaligus BEM KM UGM 2011; Syahdan Husein, alumnus Sastra Indonesia UGM; dan Panji Mulkillah, alumnus Pascasarjana Hukum UGM. Diskusi ini mencoba menggali relevansi di balik polemik yang mulai berkembang di ranah mahasiswa, yaitu kehadiran negara mahasiswa di tengah gerakan mahasiswa.
Syahdan berpendapat bahwa gerakan mahasiswa dapat berjalan tanpa adanya pemerintahan mahasiswa. “Saya kira tentu saja bisa, sebab pemerintahan mahasiswa bisa dikatakan hanya sebatas lembaga yang mengantongi legitimasi dari pihak kampus,” ujar Syahdan.
Lebih lanjut, Syahdan memberikan pandangan dengan menengok keadaan yang sebenarnya. “Dalam praktiknya, mahasiswa yang menyampaikan kritik terhadap struktur kekuasaan mengalami berbagai macam pergolakan,” terang Syahdan. Keadaan ini pada akhirnya membuat mahasiswa dalam menyampaikan aspirasinya melakukan pergerakan di luar dari pemerintahan mahasiswa ini sendiri.
Meskipun demikian, Syahdan memperjelas bahwa praktik gerakan mahasiswa tidak berseberangan dengan pemerintahan mahasiswa. Ia menerangkan bahwa sebenarnya keberadaan gerakan mahasiswa ini bukan sebagai antitesis dari pemerintahan mahasiswa. “Gerakan mahasiswa merupakan pengisi dari adanya kekosongan partisipasi terhadap isu yang berada di dalam lingkungan kampus atau isu di luar lingkungan kampus,” terang Syahdan.
Senada dengan Syahdan, Luthfi mengungkapkan bahwa gerakan mahasiswa dalam konteks pemerintahan mahasiswa tidak bisa menjadi satu-satunya identitas yang absolut dan mengkooptasi seluruh gerakan di UGM. “Di era sekarang, seseorang bisa membuat gerakan apapun,” lanjut Luthfi. Hal ini menjadi tantangan serta bahan evaluasi bagi kepengurusan BEM KM UGM terkait relevansi terhadap pemerintahan mahasiswa.
Menyambung Luthfi, Syahdan berpendapat bahwa BEM KM sebagai representasi dari pemerintahan mahasiswa dianggap meminimalisasi partisipasi mahasiswa. “Meminimalisasi partisipasi mahasiswa ini karena keberadaannya yang hanya menghadirkan isu yang itu-itu saja,” ujar Luthfi. Ia menambahkan bahwa aksi yang selama ini dilakukan BEM KM seperti memonopoli gerakan mahasiswa karena adanya aksi dalam aksi.
Kekecewaan terhadap pemerintahan mahasiswa diungkapkan Syahdan pada segala tindak keputusan dan corak sistem yang ada di UGM pada 2016/2017. Syahdan menceritakan bahwa BEM UGM dianggap sebagai representasi mahasiswa ketika aksi menolak naiknya Uang Kuliah Tunggal (UKT) kala itu. “Keadaan ini menjadi suatu klaim pengambilalihan aliansi dari berbagai fakultas dan jurusan yang terlibat dalam aksi”, tambah Syahdan.
Menurut Panji, pemerintahan mahasiswa hanyalah bentuk kepanjangan tangan dari rektorat. Hal ini dibuktikan ketika BEM KM mengundang Gatot Nurmantyo sebagai pembicara dalam Diskusi Nasional. Kehadirannya banyak ditentang mahasiswa karena Gatot Nurmantyo adalah tokoh yang bermanuver di dalam politik nasional. Syahdan mengatakan alasan pemilihan Gatot Nurmantyo merupakan arahan dari dosen. “Hal ini menunjukkan sistem BEM KM sendiri tidak merepresentasikan suara dari perwakilan yang mengakar,” tegas Syahdan.
Penulis: Marchelia Lintang Wardoyo, Muhammad Rafi Suryopambudi, Rizka Nur Hamidah (Magang)
Penyunting: Muhammad Alfimansyah
Fotografer: Alika Bettyno Sastro