Minggu (05-01), Persada Studi Klub kembali menyelenggarakan Sastra Liman, bersamaan dengan penerbitan majalah Sabana edisi ke-11. Acara ini merupakan acara rutin yang diselenggarakan setiap tanggal 5 di Rumah Maiyah, Gang Barokah, Jl. Wates KM 2 No. 287, Kadipiro, Yogyakarta. Acara kali ini menghadirkan forum diskusi yang mengangkat tema “Menggali Nilai-Nilai Lokal dalam Sastra Indonesia Modern.” Tema tersebut juga merupakan tema majalah Sabana edisi ke-11 yang terbit pada hari itu.
Acara ini diawali dengan pembacaan puisi oleh Maria Widi, pembacaan cerpen “Batu” oleh Krisna Miharja, dan pembacaan puisi oleh Anes Prabu. Kemudian dilanjutkan dengan penyerahan majalah Sabana edisi ke-11 kepada para penulis. Puncak acara ini berupa sesi diskusi bersama Prof. DR. Soewardi Endraswara, Dosen Fakultas Bahasa dan Seni UNY; Agus Wahyudi, penulis buku Serat Centhini 1; Emha Ainun Nadjib, budayawan; dan Latief S. Nugraha selaku moderator.
Soewardi membuka diskusi dengan menyinggung tentang kekuatan sastra lokal. Menurutnya, kekuatan sastra lokal terdapat pada hal-hal sederhana yang ditemui dalam aktivitas sehari-hari. “Hal tersebut kemudian dikembangkan dengan perspektif pemahaman karya sastra,” kata Soewardi. Menurut Soewardi, cerpen “Tempe” karya Evan dalam majalah Sabana, merupakan cerpen dengan perspektif pemahaman karya sastra pada kuliner, atau yang dikenal dengan istilah gastronomi sastra. Soewardi berpendapat bahwa sastrawan adalah mereka yang mengungkapkan lokalitas di daerahnya masing-masing dengan bahasa yang universal.
Selanjutnya, Agus menjelaskan tentang makna seksualitas dalam Serat Centhini. Agus, sebagai penutur ulang Serat Centhini, berpendapat bahwa karya tersebut merupakan karya sastra lokal yang menghimpun berbagai macam ilmu pengetahuan tentang Jawa. Isinya disampaikan dalam bentuk tembang, dan penulisannya dikelompokkan menurut jenis tembangnya. Agus mengatakan bahwa menurut beberapa sejarawan, Serat Centhini yang awalnya berjudul Suluk Tambangraras ditulis untuk menyaingi Thomas Stamford Raffles yang sedang menulis The History of Java kala itu. “Serat Centhini sendiri dikenal karena adanya unsur seksualitas di dalam isinya,” ungkap Agus.
Menurut Agus, seks dalam Serat Centhini tidak hanya sebagai hiburan di tengah cerita saja. “Seks dalam Serat Centhini ditujukan sebagai pengetahuan, hiburan, dan pembunuh kebosanan,” kata Agus. Dalam topik bahasan ini, Agus juga menyinggung relevansinya dengan naskah modern yang ditulis setelah Serat Centhini, antara lain adalah Warkop DKI, dan novel-novel silat tahun 90-an yang menyajikan seks sebagai salah satu daya tarik utama dalam ceritanya.
Berbeda dengan dua pembicara sebelumnya, Emha Ainun Nadjib yang akrab disapa Cak Nun memberikan pemaparan yang lebih mendasar terkait sastra dan kearifan lokal. Cak Nun menjelaskan bahwa sebenarnya sistem yang ada di Indonesia sudah tidak lokal lagi sejak awal proklamasi kemerdekaan. Menurutnya, segala sistem yang diterapkan di Indonesia sejak awal proklamasi kemerdekaan merupakan sistem-sistem dari mancanegara. Lebih lanjut, Cak Nun mengatakan bahwa nama Indonesia sendiri ditemukan oleh George Windsor Earl, seorang navigator asal Inggris. “Konsep kearifan lokal kita sendiri diserap dari konsep local wisdom-nya bangsa lain,” tegasnya.
Cak Nun menjelaskan bahwa kekuatan sastra lokal ada di depan mata. “Temukanlah nuansa di balik teks yang Anda baca,” ujar Cak Nun. Menurut Cak Nun, keberanian menerbitkan karya sastra di era modern dan kemauan para sastrawan untuk berkumpul dan berdiskusi merupakan wujud nyata dari kekuatan sastra lokal di era modern ini.
Cak Nun berpendapat bahwa sastra dan kearifan lokal berjalan beriringan. Dalam sastra, Cak Nun menekankan perlunya untuk menemukan makna di balik teks yang dibaca. Hal tersebut, menurutnya, sejalan dengan prinsip kearifan lokal Jawa yang tertulis dalam Serat Centhini. “Pencarian makna dalam sastra akan menuntun pada pencarian makna dalam diri,” ungkap Cak Nun.
Menurut Cak Nun, kearifan lokal Indonesia yang kaya akan sangat tepat apabila diwujudkan dalam karya sastra. “Saya kira kearifan lokal bukan hanya sekadar bahasa, tapi juga apa pun yang telah hilang dari budaya kita,” imbuhnya. Oleh karena itu, Cak Nun pun berharap dengan adanya diskusi tentang kearifan lokal ini, masyarakat dapat menemukan kembali kearifan lokal yang telah hilang.
Penulis: Bangkit Adhi Wiguna
Penyunting: M. Rizqi Akbar