Rabu (19-08), belasan orang mengikuti diskusi yang diadakan di Antologi Collaborative Space. Diskusi tersebut dihelat oleh Combine Resource Institution, suatu lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pengembangan jaringan informasi berbasis komunitas. Aris Mulyawan (Aliansi Jurnalis Independen Semarang), Rahmat Ali (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia), Roy Thaniago (Remotivi), dan Ferdhi F. Putra (Combine Resource Institution), dihadirkan sebagai pemantik diskusi dengan tajuk âKetika Jurnalis Dipidana: Bagaimana Masa Depan Media Komunitas?â ini.
Diskusi tersebut membahas mengenai hasil tulisan yang dimuat oleh media komunitas dan dianggap tidak kredibel. Hal itu berkaitan erat dengan banyaknya penulis berita di dalamnya yang tidak mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Moderator diskusi, Idha Saraswati, mengemukakan latar belakang diskusi, yaitu munculnya kasus pelaporan yang menimpa Zakki Amali.
Zakki merupakan seorang pemimpin redaksi dari situs berita bernama Serat ID. Zakki bermakud untuk mengonfirmasi dugaan plagiarisme yang dilakukan oleh rektor universitas di Indonesia. Mulanya ia mengumpulkan data, mencari narasumber, hingga menemukan tulisan seorang guru di Salatiga yang menjadi sumber tulisan rektor tersebut. Setelah dilakukan perbandingan, terbukti bahwa isi tulisan keduanya persis sama, yang membedakan hanya judulnya saja. Selanjutnya Zakki segera menulis berita tersebut dan memublikasikannya di Serat ID.
Berita yang ditulis Zakki itu rupanya berbuntut panjang. Zakki terjerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan dilaporkan atas dua hal. Pertama, Serat ID belum menyelesaikan proses pengajuan sebagai lembaga berbadan hukum. Kedua, Zakki tidak mempunyai sertifikat lulus tes UKW.
Ferdhi menyampaikan pendapatnya mengenai kasus pelaporan Zakki tersebut. Menurutnya, apabila pelaporan karena tidak bersertifikat UKW dapat dilakukan, maka hal itu merupakan ancaman bagi penulis berita yang mempunyai kondisi serupa. âKalau begitu, (dipidana dengan) UU ITE saja buat kita semua,â sahutnya.
Ferdhi berpendapat bahwa media komunitas ada sebagai reaksi zaman, sehingga negara pun tidak dapat menghambat media-media yang dibentuk oleh warga. Warga, menurut Ferdhi, dapat disadarkan, atau bahkan akan menyadari sendiri, bahwa hak seseorang atas informasi bukan hanya menerima, tetapi juga menyampaikan. Atas kesadaran tersebut, dapat dilakukan sosialisasi terhadap warga mengenai hak untuk menginformasikan kebenaran.
Roy mengungkapkan bahwa diperlukan pendefinisian ulang mengenai media komunitas bentukan warga, yang disebut jurnalisme warga (citizen journalism). Menurut Roy, terdapat perbedaan pandangan dalam mengartikan jurnalisme warga tersebut. âPandangan pertama adalah journalism for citizenship, dan yang kedua adalah apa yang ingin saya tawarkan yaitu journalism as citizenship,â ujarnya.
Penjelasan Roy senada dengan argumen Ferdhi sebelumnya. Journalism for citizenship atau jurnalisme untuk warga, yaitu informasi ada sebatas karena dihadirkan kepada warga. Sementara journalism as citizenship berarti warga selain sebagai penerima informasi dapat bertindak sebagai pelaku yang menyediakan, tanpa perlu mengikuti tes UKW sebelumnya. Lagi pula, informasi yang diberitakan dalam media komunitas dalam lingkup masyarakat kecil lebih condong pada unsur kedekatan, seperti perayaan Maulid Nabi di kampung tersebut. âMemproduksi media komunitas dapat dinilai sebagai praktik moral warga dalam membangun masyarakat,â terang Roy.
Yaya Ulya Himawan, peserta diskusi pegiat situs berita Gangsiput, beranggapan bahwa seseorang yang tidak bersertifikat UKW sah-sah saja untuk menulis berita apabila informasinya memang benar. Pada kasus Zakki, meskipun tanpa sertifikat UKW, langkah-langkah yang dilakukannya dalam mencari kebenaran telah berpedoman pada kaidah berlaku. Dengan demikian, menurut Yaya, asalkan telah sesuai kode etik jurnalistik, penyampaian informasi dapat dilakukan oleh siapa saja. âKalau kata Cak Rusdi, âkarena jurnalistik bukan monopoli wartawanâ,â lanjutnya.
Peserta diskusi lainnya, Pambudi Wicaksono, anggota Masyarakat Peduli Media Yogyakarta, mengusulkan tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota-anggota lain sebagai reaksi atas kasus pelaporan Zakki. Apabila pada akhirnya Zakki tetap terjegal, maka rekan komunitasnya dapat meminta dukungan publik dari sosial media mengenai diskursus istilah media komunitas. âItu kan, the power of crowd, bahwa kekuatan komunitas adalah komunitas itu sendiri,â pungkas Pambudi sambil tertawa.
Penulis: Rasya SwarnastaÂ
Penyunting: Henny Ayu Amalia