Jumat (22-06), di Padepokan ASA Wedomartani digelar pemutaran dan diskusi film “Pesta Demokrasi Berlumur Batubara”. Film tersebut mengulas tentang hubungan antara perizinan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara dengan pemilihan gubernur di Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur. Dua daerah ini dipilih sebagai latar film karena hendak melaksanakan pemilihan gubernur. Tommy Apriando, dari Mongabay Indonesia, sebagai pemantik diskusi mengatakan bahwa film tersebut diproduseri oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) untuk memperingati Hari Anti Tambang (HATAM). HATAM yang jatuh pada 29 Mei merupakan peringatan atas tragedi lumpur di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
Merah Johansyah Ismail, Koordinator JATAM, dalam film tersebut mengatakan bahwa ada hubungan erat antara proses elektoral—pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota legislatif, pemilihan presiden—dengan sumber pembiayaan yang berasal dari eksploitasi sumber daya alam, khususnya sektor pertambangan. Pada tahun politik ini, kata Merah, JATAM menemukan 170 obral perizinan pertambangan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah di daerah-daerah yang menyelenggarakan pilkada 2018. “Perizinan pertambangan baru tersebut diidentifikasi memiliki hubungan dengan biaya politik atau kampanye para kandidat daerah,” ucap Merah.
Merah menerangkan, menurut kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2015, untuk menjadi seorang bupati atau walikota, biaya yang dibutuhkan mencapai 20-30 miliar rupiah. Biaya yang dibutuhkan untuk menjadi gubernur lebih mahal lagi, bisa mencapai 100 miliar rupiah. Sementara itu, berdasarkan kajian KPK terhadap Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara para kandidat, rata-rata kekayaan mereka hanya 6-7 miliar rupiah. Gap antara jumlah kekayaan kandidat dengan biaya politik atau biaya kampanye memunculkan ruang untuk “politik ijon”. “Para pengusaha, termasuk pengusaha tambang batubara, kemudian menjadi sponsor, menyiapkan uang untuk para calon kandidat,” ucap Merah.
Tommy mengatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum daerah tidak terbuka soal person atau lembaga yang menjadi sponsor para kandidat gubernur. Dengan mengetahui sponsor para kandidat gubernur, masyarakat dapat lebih kritis dalam memilih gubernur. “Negara semestinya mengeluarkan peraturan yang melarang perusahaan-perusahaan perusak lingkungan menjadi sponsor kandidat,” ungkap Tommy.
Selain membicarakan hubungan antara izin usaha pertambangan dengan proses pemilihan gubernur, fim ini juga menjadi corong bagi suara warga-warga terdampak PLTU Batubara di kedua daerah tersebut. Sahwan, warga Desa Muaramau, Kecamatan Merapi Barat, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, dalam film itu mengatakan bahwa PLTU Batubara lebih banyak memberikan dampak negatif kepada warga. Suharman, warga Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Merapi Selatan mengatakan bahwa dampak paling buruk dari pertambangan batubara ialah limbah yang mencemari air.
Sementara itu, di Kalimantan Timur, selain merusak rumah warga, menghilangkan lahan pertanian, PLTU Batubara juga meninggalkan lubang-lubang bekas penambangan batubara. Lubang-lubang ini telah memakan 28 korban yang sebagian besar adalah anak-anak. Dalam film tersebut, Rahmawati, ibu almarhum Muhammad Raihan Saputra (10 tahun), menyatakan kekecewaannya terhadap pemerintah yang berjanji akan menutup lubang-lubang bekas tambang batubara. “Namun, lubang-lubang bekas tambang tersebut ternyata hanya ditutup oleh beberapa lembar seng bekas dengan tulisan semacam ‘dilarang bermain’,” tutur Rahmawati. Dari kekecewaan tersebut, Rahmawati tidak lagi memiliki keinginan untuk memilih gubernur.
Pada penutup diskusi, Tommy, yang juga videografer film tersebut, mengemukakan beberapa hal yang ingin disampaikan JATAM lewat film tersebut. Pertama, mempertanyakan kembali kebermanfaatan tambang batubara untuk masyarakat. Kedua, meminta ketergantungan terhadap tambang dikurangi untuk menyelamatkan masyarakat dan lingkungan hidup. “Dengan film ini, JATAM meminta supaya batubara dijadikan pilihan terakhir sumber energi,” pungkas Tommy.
Penulis: Sanya Dinda
Penyunting: Krisanti Dinda