“Jika kami bunga
Engkaulah tembok itu
Telah kami sebar biji-biji di tubuhmu
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: kau harus hancur.”
Nyanyian oleh Fajar Merah tersebut dilantunkan di panggung solidaritas dan doa bersama untuk korban penggusuran Kulon Progo. Panggung bertajuk “Gugur Bumi, Gugur Pertiwi” itu, diadakan pada Rabu (14-12) di Kedai Kebun Forum. Panggung digelar sebagai bentuk solidaritas kepada warga yang menolak pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA).
Bambang Muryanto dari Aliansi Jurnalis Indonesia Yogyakarta juga turut hadir di panggung tersebut. Dalam refleksinya, Bambang mengungkapkan bahwa Yogyakarta sedang mengalami permasalahan agraria yang serius. Hal ini diperparah dengan media lokal Yogyakarta yang tidak pernah mengangkat persoalan agraria, salah satunya pembangunan bandara, dengan perspektif HAM yang benar. Baginya, beberapa media cenderung bias dengan mendukung pemerintah dan PT Angkasa Pura. “Kita sebagai masyarakat juga harus mengontrol media supaya media memberikan ruang pembelaan bagi kaum yang lemah,” ungkapnya.
Laksmi Safitri dari Antropologi UGM, memulai sesi refleksi selanjutnya dengan memperlihatkan gambar-gambar mesin pengeruk. Saat ini, mesin-mesin itu telah menjadi lambang modernitas dan pembangunan. Ia mencotohkan, di Merauke, pohon-pohon kayu yang bernilai tinggi ditumbangkan oleh mesin tersebut untuk dijadikan lahan produktif, yaitu kebun kelapa sawit atau sawah. Tanaman baru itu menggantikan tanaman sagu, yang selama ini menjadi pangan utama warga. “Sawah di sana ditanami padi-padi berwarna ungu yang kemudian diekspor untuk makan orang-orang Jepang,” tuturnya.
Sementara itu, menurut Laksmi, modernitas justru menghancurkan lahan-lahan yang telah subur di Kulon Progo. Penghancuran lahan subur juga membuat kuburan-kuburan mesti dibongkar ulang. Dengan demikian, pembangunan tidak hanya mengusir mereka yang masih hidup, tetapi juga mereka yang telah mati. Modernitas, pada akhirnya, ungkap Laksmi, tidak hanya menghasilkan kesejahteraan dan kemakmuran, tetapi juga kematian. “Modernitas tidak hanya menghidupkan, tetapi juga membunuh. Bahkan yang sudah mati pun harus mati berulang kali,” pungkasnya.
Setelah Laksmi, Dodok Putra Bangsa naik ke atas panggung untuk berorasi. Dalam orasinya, Dodok mengajak pendengarnya untuk selalu berani memegang teguh kebenaran. Siapapun orangnya, lanjut Dodok, sekalipun bukan orang Kulon Progo ataupun Yogyakarya, berhak menolak pembangunan bandara. Hal ini dikarenakan Dana Keistimewaan Yogyakarta itu datangnya dari APBN yang dihimpun dari Sabang sampai Merauke. “Jadi jangan menerima dana istimewa kalau tidak mau dikritik oleh orang-orang dari Sabang sampai Merauke,” ungkap Dodok.
Haidar dan Yudhis, dua aktivis dari Jogja Darurat Agraria malam itu turut menceritakan kondisi terkini warga Temon yang masih bertahan. Mereka mengatakan bahwa saat ini, warga yang bertahan terus diintimidasi. Relawan yang hadir di Temon, menurut Haidar, tidak pernah tidur di bawah jam dua belas malam karena penggusuran berpotensi terjadi setiap detik. Karena itu, Haidar dan Yudhis berharap massa yang datang malam itu turut menengok warga Temon, Kulon Progo, untuk sekadar memberi dukungan bagi warga. “Terutama pada tanggal 18 Desember nanti, PT Angkasa Pura akan datang dan mengosongkan paksa rumah warga Temon yang masih bertahan,” pungkas Haidar.
Selain rekflesi dan orasi, panggung juga diisi oleh musisi, seniman, dan aktivis. Mereka adalah JRX SID, Fajar Merah, Gunawan Maryanto, FJ Kunting, Deugalih, Iksan Skuter, Melanie Subono, Sisir Tanah, dan Frau. Turut hadir pula lapak donasi dari Warning Books, Berdikari Book, Buku Mojok, Buku Akik, Penerbit Ultimus, Shira Media, Insist Press, Penerbit Jalan Baru, Perpustakaan Jalanan DIY, Kolasoke, dan Katalika Project. Semua hasil penjualan lapak donasi akan didonasikan untuk warga Temon, yang sampai saat ini masih mempertahankan rumahnya.