Taman Baca Kesiman, Denpasar, kembali mengadakan bincang buku pada Selasa (17-01) malam. Buku yang dibincangkan kali ini adalah kumpulan cerita pendek (cerpen) terbaru milik Dewi Kharisma Michellia yang bertajuk Elegi. Buku ini merupakan buku ketiga Michel setelah sebelumnya menerbitkan novel “Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya” (2013), dan novelisasi film A Copy of My Mind (2016) karya Joko Anwar. Bincang buku ini dihadiri oleh puluhan peserta yang merupakan pegiat sastra, pecinta sastra, dan masyarakat umum.
Elegi berisi tiga belas cerpen dan enam fragmen yang ditulis Michel dalam kurun waktu 2009 sampai 2014. Michel menuturkan bahwa buku ini bernilai sangat personal untuknya karena cerpen-cerpen tersebut merupakan pijakannya dalam memulai karier sebagai cerpenis. Tema besar yang diangkat dalam Elegi juga dekat dengan kehidupannya saat itu, yakni kehilangan, kepergian, dan kematian. “Ketika ibu saya meninggal dunia pada 2008, saya bertanya-tanya kemana perginya orang yang paling dekat dengan kita ketika ia meninggal? Sejak itu saya mulai mengeksplorasi tema-tema ini,” kisahnya.
Bagi Michel, menulis adalah proses hidup sehingga pengaruh bacaan sangat penting. “Suka membaca membuat orang suka menulis. Ketika tidak banyak membaca, jadinya mandek,” ucap wanita yang juga merupakan editor ini. Ia menyebut karya Nietzsche, Camus, dan Kafka berpengaruh dalam penulisan beberapa cerpen di Elegi. “Curi saja khazanah teknik penulisan yang bagus dari penulis lain dan tempatkan dia sesuai gaya tulisanmu,” saran wanita kelahiran Denpasar ini.
Oka Rusmini, sastrawan yang juga bekerja di harian Bali Post, turut mengemukakan pandangannya tentang pengaruh bacaan dalam proses penulisan. Ia menyarankan agar penulis muda kembali membaca sastra kuno untuk mengembangkan gagasan menulis. Ia memberi contoh sastra Bali kuno yang sangat kaya akan tema. “Ide tidak akan kering jika kita rajin membaca sastra kuno,” ujarnya.
Michel pun sepakat dengan pernyataan Oka. Menurutnya, masih banyak lontar dan kitab yang belum terjamah. Ia sendiri mengakui bahwa dirinya belum terlalu banyak membaca tentang Bali. Dalam buku ketiganya ini, ia hanya menyisipkan unsur Bali pada satu cerpen yang berjudul “Mengantar”. Meskipun begitu, ia berharap suatu saat dapat ‘kembali ke akar’, menulis tentang Bali. Menulis tentang perebutan harta warisan dengan ilmu hitam, perebutan tanah, bagaimana Bali dikavling untuk pariwisata, dan reklamasi Teluk Benoa, misalnya. “Itu mungkin proyek terbesar saya di kemudian hari, tetapi untuk sekarang saya masih perlu membaca lebih banyak lagi,” ungkapnya.
Selain ingin mengeksplorasi tema tentang Bali, Michel juga ingin mengarahkan tulisannya ke tema ekopolitik, seperti masalah kesenjangan kelas. Ia mengaku bosan berkutat dengan tema eksistensialis, psikologis, dan personal dalam cerpennya. Walaupun begitu, ia masih percaya dan ingin mempertahankan prinsipnya bahwa hal psikologis berpengaruh besar dalam diri manusia.
Karya Michel mendapatkan apresiasi dari peserta bincang buku. Salah satunya Wulan Dewi Saraswati yang memuji tema besar dalam Elegi. “Ternyata hal-hal yang menyedihkan dalam hidup, seperti kematian, bisa jadi hal yang positif dan menginspirasi,” tutur pecinta sastra ini. Oka Rusmini pun turut memuji Michel dengan menyebutnya sebagai penulis muda yang menulis paling rapi.
Gede Indra Pramana selaku moderator bincang buku Elegi mengatakan bahwa tidak ada persiapan khusus untuk mendatangkan Michel ke Taman Baca Kesiman. “Karena kebetulan Michel pulang ke Bali, sekalian saja kami adakan bedah buku,” ucapnya. Indra menambahkan bahwa bincang buku ini dapat disebut sebagai sebuah pra-peluncuran Elegi sebelum diluncurkan secara resmi di Yogyakarta, Jumat (20-01). “Meski hanya bincang buku dan tidak ada persiapan khusus, saya senang melihat peserta antusias mengikuti acara ini,” tandasnya. [Oktaria Asmarani]