Carut-marut pelaksanaan AAI mengundang respon mahasiswa dan meninggalkan beberapa tanya.
Belakangan ini banyak masalah terkait pelaksanaan AAI. Salah satunya adalah tidak meratanya pembinaan AAI ke setiap fakultas di UGM. Artinya keefektifan AAI hanya dapat dirasakan oleh sebagian mahasiswa. Berangkat dari permasalahan tersebut tentunya perlu dipertanyakan bagaimana respon mahasiswa terhadap AAI? Masih efektifkah pelaksanaan AAI?
Asistensi Agama Islam (AAI) adalah suatu kegiatan yang berbentuk mentoring. Sasaran mentoring adalah para mahasiswa baru, sedangkan para mentor berasal dari kakak tingkat. Materi yang disampaikan berupa pengajaran tentang agama islam itu sendiri. Pelaksanaannya dibentuk kelompok-kelompok kecil yang dibimbing oleh satu mentor. Kelompok kecil itu kurang lebih terdiri dari 15 orang.
AAI berawal dari gagasan Cholid Mahmud yaitu ketua Jamaah Shalahudin UGM. Dia bekerja sama dengan Lembaga Dakwah Fakultas (LDF) untuk mengajukan gagasan tersebut ke Rektor. Pada tahun 1986 gagasan tersebut disetujui rektor dan AAI resmi dijalankan. Pada tahun itu AAI berbentuk stadium general yang mengumpulkan seluruh mahasiswa beragama islam di Masjid Kampus UGM. Kegiatan tersebut kemudian diteruskan ke tingkat fakultas. AAI sendiri hadir sebagai penyokong bagi mata kuliah agama islam. Awalnya, AAI lebih memfokuskan pada pembenaran bacaan Al-Quran dan praktek shalat. Pada saat itu, AAI juga berpedoman pada instruksi para dosen Agama Islam di setiap Fakultas.
Untuk mengetahui tentang keefektifan AAI dan sejauh mana respon mahasiswa kepada AAI, tim riset Balairung mengadakan penelitian kepada 90 responden. Riset dilakukan secara merata ke 18 Fakultas dan satu Sekolah Vokasi. Hasil polling menunjukan sebanyak 5 responden tidak mengetahui tentang adanya AAI.
Data tersebut dapat menunjukan bahwa ternyata AAI tidak diketahui mahasiswa UGM secara menyeluruh. Hal inilah yang patut digaris bawahi mengingat kegiatan AAI ini sendiri bersifat wajib bagi mahasiswa baru. Walaupun AAI belum menapakkan jejaknya secara menyeluruh, agaknya AAI masih diminati dan dianggap perlu oleh mahasiswa UGM. Hasil penelitian kami menunjukan 67 respoden merasa perlu dengan hadirnya AAI dan 33 responden menganggap AAI bukanlah sebuah kebutuhan.
Mayoritas dari mereka yang menganggap AAI itu perlu mengatakan bahwa AAI berguna untuk menunjang kehidupan spiritual mereka di kampus. Dengan adanya AAI mereka jug bisa menambah wawasan tentang agama islam. Sedangkan di pihak lain yang merasa AAI bukanlah sesuatu yang dirasa perlu, mereka berasalan bahwa agama ada di wilayah privasi manusia. Mereka menambahkan kalau AAI tidak relevan dengan kehidupan intelektual mahasiswa.
Sementara untuk masalah pelaksanaan AAI kedepannya (Tahun Ajaran Baru) sebanyak 60 responden menyatakan setuju dan 30 responden menolak. Ini berarti mengindikasikan bahwa AAI masih dianggap relevan untuk mendidik akhlak dan aqidah Mahasiswa baru. Hal ini juga menerangkan rasa percaya yang besar pada AAI.
Data yang kami peroleh juga menunjukan bahwa AAI tidak mengganggu proses perkuliahan lebih dominan. Sebanyak 57 responden menganggap bahwa AAI sama sekali tidak mengganggu proses belajar dan segala aktivitas perkuliahan. Sedangkan ada 33 responden yang keberatan dengan adanya AAI dan merasa terganggu aktivitas belajarnya.
AAI memang tetap berjalan akan tetapi hanya di beberapa fakultas tertentu. Seperti halnya yang terjadi pada Fakultas Biologi dan Fakultas Kedokteran. Seperti menjadikan kegiatan AAI lebih variatif dan tidak membosankan. Terobosan-terobosan baru juga tak jarang dikembangkan, seperti mengadakan kegiatan outbound. Selain itu penempatan dua orang pembina dalam satu mentoring juga dinilai sangat membantu melancarkan kegiatan. Apalagi hal tersebut juga ditunjang dengan pengaturan struktur kegiatan dan kepengurusan yang tertata rapi.
Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL). Eksistensi AAI semakin terkikis oleh permasalahan yang ada, seperti hilangnya minat mahasiswa pada AAI. Salah satu penyebab adalah tidak adanya waktu pertemuan yang efektif antara mahasiswa dan mentor. Selain itu, struktur kepengurusan yang terbengkalai juga mengakibatkan mekanisme pelaksanaan AAI menjadi carut-marut. Hal inilah yang membuat AAI kurang berkiprah di FISIPOL dan hampir di seluruh kawasan Sosio Humaniora. Meninjau dari kasus tersebut pada akhirnya kebijakan masing-masing fakultas lah yang menentukan urgensi AAI. Lucunya, apa respon rektorat terkait ketimpangan kebijakan AAI di setiap fakultas? Sebenarnya apakah mereka serius dalam menyetujui program ini? Seperti yang telah mereka lakukan 27 tahun lalu [Bagus Zidni I.N, Muhammad Aji M].