“Media komunitas harus dapat meresahkan masyarakat. Mereka harus dibuat resah terhadap keadaan di sekitarnya. Hanya dengan cara demikian, masyarakat akan tetap kritis menyikapi situasi komunitasnya.” Hal tersebut diungkapkan Sholeh U.G, praktisi media komunitas Yogyakarta dalam acara “Deklarasi dan Sarasehan Paguyuban Media Cetak Komunitas DIY” pada Kamis (29/11). Acara ini diselenggarakan di Bangsal Wiyotoprojo, Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, guna mempertemukan para pegiat komunitas media cetak yang ada di DIY. Selain Sholeh, hadir pula Antonius Darmanto, pegiat Masyarakat Peduli Media, sebagai pemateri dan Kusumo Prabowo menjadi moderator.
Mengawali diskusi, Prabowo menyatakan banyak media cetak komunitas di Yogyakarta yang tidak terdengar lagi gaungnya. Media-media tersebut mati karena sebagian besar dari mereka gagal mengelola media komunitasnya. Atas dasar itulah Paguyuban Media Cetak Komunitas DIY (PMCK-DIY) ini didirikan. “Dengan adanya paguyuban ini, diharapkan mampu menjadi wadah komunikasi dan wadah komunitas kepenulisan bagi masyarakat DIY,” ujar Prabowo.
Menanggapi hal ini, Darmanto mengungkapkan bahwa karakteristik pengelolaan media komunitas dengan media publik dan swasta sangat berbeda. Media publik bertujuan menjaga integrasi bangsa dan negara, sedangkan media swasta bergerak berdasarkan permintaan pasar. “Kalau media komunitas jelas tidak punya kepentingan apa-apa, kecuali untuk kepentingan masyarakatnya,” ujarnya.
Lebih lanjut Darmanto mengkritisi perubahan orientasi media-media komunitas saat ini. Menurutnya, banyak diantara media-media tersebut yang lupa memelihara dan mengembangkan komunitasnya. Mereka terbawa isu yang ditampilkan oleh media arus utama(mainstream) sehingga isu yang ada di sekitarnya terabaikan. Misalnya, warga desa lebih mengetahui tentang isu-isu di luar daripada isu yang ada disekitarnya. “Masa berita tentang pernikahan seorang artis lebih diketahui daripada berita-berita di lingkungan sekitarnya,” jelasnya.
Senada dengan pernyataan Darmanto, Sholeh menambahkan bahwa media komunitas berkewajiban untuk mampu membaca masyarakat. Membaca masyarakat berarti memahami kebutuhan masyarakat, bukan sekedar menuruti keinginan saja. “Misalnya pers mahasiswa bisa memahami kegalauan komunitasnya yang lebih takut terhadap aturan kehadiran 75 persen daripada tidak mendapat ilmu saat kuliah,” ungkap Sholeh berapi-api.
Selain mengadakan diskusi, dalam acara ini juga digelar deklarasi paguyuban sekaligus pelantikan pengurus PMCK-DIY periode 2012-2013. Muhammad Khibran dilantik sebagai ketua di tengah-tengah bangsal oleh Hendar Susilowati, S.H., Kepala Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, sebagai perwakilan gubernur. Di sisi selatan bangsal, digelar pameran produk-produk media cetak komunitas Yogyakarta. Produk-produk tersebut dicetak oleh komunitas-komunitas masyarakat secara mandiri. Sebut saja Warta Desa Tamanmartani, Wartapasar,Lentera Buruh, Djoeang Moeda, dan masih banyak lagi.
Kesempatan berkumpulnya pegiat media cetak komunitas ini tidak disia-siakan oleh para peserta. Mereka saling bertukar produk dan berdiskusi menganai cara pengelolaan media masing-masing. Celetukan Prabowo pun mengakhiri acara diskusi dan sarasehan ini. “Mboknama paguyubannya ini nanti diganti ya. Mosok PMCK? Nanti malah dikira Paguyuban Mandi Cuci Kakus,” ujarnya diiringi tawa peserta sarasehan. [M. Ageng Yudhapratama R, Khairul Arifin]