“Sebagai saudara seakidah, umat muslim harus senantiasa berusaha mewujudkan perdamaian di Palestina,” ungkap Jamilatuzzahro, mahasiswa Statistika 2009. Aktivis Jamaah Salahudin (JS) UGM tersebut didaulat menjadi penanggung jawab program acara bertajuk “Caravan from Gaza”, Sabtu (14/4). Acara yang diselenggarakan di Ruang Seminar Timur FISIPOL UGM ini bertujuan untuk mengangkat kembali isu pendudukan Israel atas Palestina.
Dalam seminar ini, hadir empat orang pembicara: Abdurrahman Parmo, M. Fani Rahman, Fakher Nabeel, dan Yakhsyallah Mansur. Keempat pembicara merupakan aktivis peduli Palestina. Mereka memaparkan pengalaman dan sudut pandangnya terkait penderitaan Palestina akibat pendudukan Israel. Dalam kesempatan itu, Aqil Wilda Arif, mahasiswa Teknik Mesin tampil sebagai moderator.
Acara diawali dengan sambutan ketua JS Arif Nurhayanto yang membacakan surat dari Ust. Dzikrullah Wisnu, seorang relawan “Sahabat Al-Aqsha” yang saat ini tengah berada di Gaza. Dalam surat itu Dzikrullah mengingatkan umat muslim untuk senantiasa peduli dengan nasib Palestina yang tengah tertindas di bawah jajahan kaum zionis. “Dalam pembukaan UUD 1945 kita tahu, kemerdekaan adalah hak segala bangsa, maka segala penindasan harus dihapuskan,” ungkapnya.
“Infrastrukstur dan sarana pendidikan hancur akibat invasi Israel,” tutur M. Fani Rahman. Pegiat Pro-U Media ini menyatakan keprihatinannya atas pendidikan anak-anak Palestina. “Padahal, anak-anak Palestina memiliki etos belajar yang tinggi,” terangnya. Ia menyatakan, dalam dua bulan mereka mampu menghapal 30 juz Al-quran.
Menyambung pembicaraan Rahman, Fakher Nabeel Mohammad Khalili, mahasiswa asal Palestina yang sedang menempuh pendidikan doktor di Fakultas Psikologi UGM, angkat bicara. Fakher menyesalkan selama ini media hanya berfokus pada persoalan Gaza. Padahal, kejahatan kemanusiaan oleh Israel berlangsung di seluruh wilayah Palestina. Contohnya di tepi barat, warga Palestina terkurung akibat tembok pembatas yang dibangun Israel. Apalagi dengan adanya ratusan checkpoint yang semakin membatasi aktivitas rakyat Palestina. Senada dengan pemaparan Fakher, Abdurrahman Parmo menceritakan pengalamannya saat tinggal di Palestina. Ia mengurai kejahatan kemanusiaan Israel atas rakyat Palestina yang menjadi tahanan.
“Mengapa kita harus jauh-jauh memikirkan Palestina, padahal Indonesia saja banyak masalah?” pertanyaan tersebut dilontarkan pembicara ketiga, Yakhsyallah Mansur. Setelah membiarkan peserta berpikir sejenak, ustad dari Bogor itu menjelaskan jawabannya. Menurutnya, dari berbagai masalah yang ada di dunia, permasalahan Palestina merupakan problem utama. “Apabila masalah Palestina tuntas, niscaya permasalahan yang lain dapat teratasi,” terangnya.
Melalui seminar ini Ika Ari Setyaningrum, mahasiswa Akuntansi 2008 mengaku mendapat persepsi baru dalam melihat permasalahan Palestina. Ia berharap, kegiatan seperti ini dapat terus diadakan demi mengangkat Palestina menjadi isu utama, terutama di kalangan mahasiswa. “Masih banyak mahasiswa yang acuh, bahkan mencibir,” keluhnya.[Mukhammad Faisol Amir, Khalimatu Nisa]