
©Abby/Bal
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengadakan diskusi bertajuk “Resiliensi Perempuan Jurnalis Menghadapi Serangan dalam Kerja Jurnalistik” melalui media sosial X pada Senin (21-04). Diskusi dalam rangka memperingati Hari Kartini ini menghadirkan beberapa pembicara yakni Febrianti, Jurnalis Tempo dan Anggota AJI Padang; Kartika Anwar, Jurnalis Kita Muda Media dan Anggota AJI Samarinda; dan Gema Gita Persada, Pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers. Diskusi yang berlangsung selama 90 menit ini membahas tantangan-tantangan yang dialami para jurnalis perempuan ketika melakukan kerja jurnalistik.
Diskusi dibuka dengan cerita dari Febrianti. Dirinya mengatakan bahwa ada beberapa kejadian kurang mengenakkan ketika ia meliput kasus spin-off PT Semen Padang. Menurut penuturannya, ia kerap mendapat berbagai bentuk serangan, seperti panggilan telepon tidak dikenal, makian, hingga pelecehan seksual yang dilakukan oleh anggota kepolisian. “Saya dimaki-maki karena saya meliput dan saya menulis tentang itu,” tuturnya.
Pengalaman tak mengenakkan lainnya juga diceritakan oleh Kartika. Ia mengaku pernah mendapat banyak tuduhan tak berdasar dari pihak perusahaan milik adik Prabowo yang mengakuisisi tanah warga di Kalimantan Timur. “Pihak perusahaan justru menyebar framing teman-teman yang menulis itu tidak menjalankan kode etik yang baik,” ucap Kartika.
Menanggapi hal ini, Gema mengatakan bahwa ada pola dalam kekerasan-kekerasan yang dialami jurnalis perempuan. Menurutnya, pola tersebut berupa kecenderungan dari pelaku kekerasan untuk menyasar identitas gender sehingga kekerasan yang kerap didapat adalah kekerasan seksual. Hal ini disebabkan anggota kepolisian kurang mendapatkan pemahaman terhadap sensitivitas gender. Gema juga mengatakan bahwa tidak hanya polisi laki-laki yang tidak mengayomi korban dengan baik, tetapi juga polisi perempuan. “Nggak sedikit juga polisi perempuan di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak tuh yang justru menyalahkan korban,” ucapnya.
Selain itu, Gema menyebutkan bahwa payung hukum yang ada belum mampu melindungi jurnalis perempuan secara utuh. “Instrumen yang dapat kita gunakan sebagai jaring pengaman terhadap jurnalis perempuan itu kita comot dari berbagai regulasi yang tersedia,” lanjutnya. Bagi Gema, hingga kini Indonesia belum memiliki kerangka hukum yang secara spesifik dan komprehensif untuk melindungi kerja-kerja jurnalistik perempuan. Undang-Undang (UU) Pers, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan nota kesepahaman antara Dewan Pers dan aparat penegak hukum masih tidak cukup kuat untuk melindungi jurnalis perempuan.
Tidak hanya peraturan yang lemah, Gema juga menyebut bahwa budaya yang patriarki dan misoginis masih mengakar dalam proses legislasi sampai penegakan hukum. Menurutnya, hal ini berdampak buruk terhadap jurnalis perempuan yang dianggap tidak setara, baik dalam kerja jurnalistik hingga besaran upah yang diterima. “Banyak kesempatan diberikan ke jurnalis laki-laki karena dianggap sebagai kepala keluarga, padahal jurnalis perempuan juga punya beban nafkah,” jelasnya.
Selain intimidasi dan diskriminasi, Gema menyebut sulitnya penanganan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh jurnalis perempuan juga menjadi masalah. Baginya, seharusnya keterangan dari korban sudah bisa menjadi alat bukti untuk membuat laporan kasus kekerasan seksual. Namun, dari kasus-kasus yang ia tangani, aparat penegak hukum justru seolah mempersulit proses penanganan sehingga korban cenderung enggan untuk membuat laporan ke kepolisian. “Beban pembuktiannya susah, harus dihadapi dengan potensi-potensi reviktimisasi,” tuturnya.
Di sisi lain, Kartika mengungkapkan ruwetnya proses penanganan kasus kekerasan seksual untuk membebankan tuntutan pada pelaku. Berbeda dari penuturan Gema, Kartika menyebutkan bahwa pelaku bisa saja sulit dibebankan dengan hukuman dan sanksi karena penyalahgunaan kekuasaan. “Biasanya yang dilaporkan ini punya power lebih untuk mempengaruhi orang-orang disekitarnya,” tutur Kartika.
Menanggapi tantangan-tantangan ini, Gema menekankan pentingnya membangun dukungan kolektif sebagai bentuk perlindungan nyata bagi jurnalis perempuan. Menurutnya, dukungan seharusnya tidak hanya datang dari sesama jurnalis perempuan saja, tetapi juga dari kelompok-kelompok lain yang berpihak pada perempuan guna membangun resiliensi yang kuat dan konsisten. “Jadi, bukan cuma soal banyak-banyakan [orang-red], tetapi resiliensi juga kebertahanan untuk terus berada pada sikap adil,” tegasnya.
Penulis: Dicky Dharma dan Rifky Wildhani
Penyunting: Alfiana Rosyidah
Ilustrator: Nicholas Abby