“Kartini itu ada dalam diri masing-masing, baik perempuan cis, trans, maupun laki-laki yang hadir dan bersedia untuk menjadi ally temen-temen perempuan,” ucap Fiona Wiputri, Manajer Multimedia Konde.co, dalam pembukaan acara bertajuk Kartini’s Day bersama Konde.co: Habis Gelap Terbitlah Zine dan Tulisan. Acara yang ini diselenggarakan oleh Konde.co pada Senin (23-04) secara daring melalui Kanal YouTube Konde.co. Forum diskusi diisi oleh komunitas Girls’ Project dan Konde Fellas bersama dengan Terra Istinara sebagai moderator. Mereka membahas peran zine atau juga biasa disebut terbitan mandiri, sebagai medium alternatif untuk mengangkat isu perempuan.
Sophie Trinita, aktivis dan fasilitator zine, menyebut bahwa zine bisa digunakan untuk menyebarkan ide sosial dan perlawanan. Perlawanan inilah yang dilakukan oleh komunitas punk dan feminis pada era 90-an. Ia menjelaskan bahwa dengan pendekatan seni terhadap realitas kehidupan, zine menjadi tempat keresahan atas kebijakan yang buruk. “Zine bukan hanya media curhat, tapi bisa menjadi gema yang memekik telinga penguasa,” jelas Sophie.
Laksita, salah satu perwakilan Girls’ Project yang memaparkan zine Saatnya Kita Bertanya Tentang Remaja Perempuan Yang Hidupnya Tidak Baik-Baik saja, menyebutkan kalau banyak hal yang dianggap wajar, tetapi ternyata tidak adil bagi perempuan. Ia mencontohkan soal kata terlalu, yang sering digunakan untuk membatasi perempuan, seperti terlalu gemuk, terlalu keras, dan lain-lain. “Rasanya selalu ada celah untuk mengomentari kita [perempuan-red], selalu ada yang salah di mata mereka,” keluhnya
Mengamini Laksita, Candid yang juga memaparkan zine dari Girls’ Project, menyebutkan kalau memang ada peraturan yang ditujukan untuk membatasi perempuan. Contohnya, peraturan berpakaian perempuan yang dinilai sangat membatasi serta peraturan mengenai perempuan yang harus memiliki “badan ideal” untuk mendapatkan pasangan. “Peraturan ini seperti sepele di masyarakat dan dibiarkan begitu saja, keluhan kami [perempuan-red] dianggap tidak terlalu penting,” terangnya
Selanjutnya, Zahra Agustine selaku perwakilan dari Konde Fellas juga turut menyinggung persoalan atas keresahan perempuan di ruang publik, terutama ketika menggunakan transportasi umum. Hal yang ia sorot antara lain trotoar rusak, tempat tunggu bus yang tidak layak, hingga ancaman catcalling dari laki-laki. “Semua masalah itu sering dianggap kecil, padahal berdampak besar,” keluh Zahra.
Ketakutan untuk bersuara atas ketidakadilan bagi perempuan juga disampaikan oleh Sasa, salah satu peserta diskusi. Dalam zinenya, ia menuliskan, korban kekerasaan seksual mengalami intimidasi ketika menuntut keadilan. Kasus-kasus yang pernah ia liput selama menjadi redaktur pelaksana di Pers Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta menemukan bahwa korban mengalami somasi dan diancam ketika membawa ke jalur hukum. “Aku berharap dengan adanya zine ini, perempuan lebih berani untuk melawan,” kata Sasa.
Diskusi ditutup dengan pernyataan oleh Luviana Ariyanti, Pemimpin Redaksi Konde.co, zine dapat menjadi sarana untuk memecah keheningan, mengubah kultur, dan melawan narasi dominan. “Ini menawarkan yang baru bagi aktivis untuk menyebarkan informasi, menumbuhkan kesadaran, dan memobilisasi publik,” ujarnya. Ia melanjutkan, tulisan perempuan bisa menjadi perlawanan karena pengalaman tubuh dan emosi perempuan yang terepresi akan melawan kontrak sosial. Tulisan perempuan bisa menantang stigma, membongkar oposisi biner patriarkal, dan melawan pelabelan perempuan yang baik dan “buruk”.
Penulis: Reyhan Maulana Adityawan
Editor: Gayuh Hana Waskito