
©Rizqi/Bal
KKN harus tetap eksis, begitu kiranya mimpi dari program kampus kerakyatan satu ini. Berbagai jenama UGM telah dicipta. Sayang, guratan lebam KKN tak dapat disamarkan.
Selama 50 hari dari total masa studi, mahasiswa UGM diwajibkan untuk berangkat ke daerah-daerah lain untuk melaksanakan Kuliah Kerja Nyata-Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM). Kewajiban ini sesuai dengan Keputusan Rektor UGM Nomor 119/UN1.P/KVF/HUKOR/2021. Dalam keputusan tersebut, KKN menjadi salah satu prasyarat yang harus diselesaikan oleh mahasiswa yang sudah menempuh beban kredit semester dan praktikum sebanyak 100 Satuan Kredit Semester (SKS), yang pada tahun 2023 diperbarui menjadi 96 SKS. Semua mahasiswa diharuskan untuk mengambil mata kuliah KKN-PPM dengan beban kredit sebanyak 288 jam aktif di lokasi KKN yang mereka pilih dan mendapat konversi sebanyak 10 SKS.Â
Direktorat Pengabdian dan keMasyarakatan (DPkM) sendiri membagi KKN ke dalam empat kloter keberangkatan, periode I–IV, dengan rentang waktu keberangkatan dilaksanakan dalam satu tahun. Keberangkatan kloter atau periode I akan dilaksanakan pada April, periode II pada Juni, periode III pada Oktober, dan periode IV pada Desember. Dari keempat periode ini, periode II menjadi jadwal pemberangkatan mahasiswa terbanyak ke beberapa lokasi di hampir seluruh provinsi di Indonesia.Â
Salah satu bukti jumlah mahasiswa yang diberangkatkan ini dapat dilihat dari kerja keras DPkM yang berhasil mencatatkan UGM ke dalam Museum Rekor Dunia-Indonesia (MURI) 2024. Lewat pemberangkatan sebanyak 7.163 mahasiswa untuk melaksanakan KKN di 35 provinsi Indonesia. Berkat hal ini, UGM bisa mengamankan posisinya sebagai universitas yang mengejar penghargaan. “Kita dapat MURI juga,” ungkap Arie Sujito selaku Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat, dan Alumni.Â
Surplus Peserta, Defisit Anggaran
Walau mendapatkan pencapaian MURI, KKN UGM rupanya masih diselimuti masalah, termasuk saat jumlah mahasiswa baru bertambah. Peningkatan jumlah mahasiswa program sarjana dan sarjana terapan di UGM memengaruhi jumlah peserta KKN. DPkM membuktikannya saat rapat dengan perwakilan mahasiswa, Senin (24-03). “Tahun ini, tahun perdana jumlah mahasiswa peserta KKN UGM itu hampir dua ribu-an tambahannya,” tutur Djarot, Sekretaris DPkM.
Nanung Agus, Kepala Subdirektorat KKN, menyebutkan bahwa jumlah peserta KKN periode II tahun 2025 saja sudah berjumlah lebih dari 8000. Lebih banyak dibandingkan dengan KKN di periode II tahun 2024. “Nah, jumlah mahasiswa kami kemarin itu tujuh ribu sekian,” ujar Nanung.
Naas bagi DPkM, kondisi yang mereka hadapi harus berbanding terbalik dengan realita pemangkasan anggaran yang diterima UGM. Hal ini imbas kebijakan efisiensi melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025. Akibatnya, bantuan Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum Universitas dipangkas sebesar 51%, disampaikan UGM melalui pernyataan tertulis sepanjang dua halaman. Pernyataan itu menjadi jawaban atas surat yang sebelumnya dikirimkan oleh DEMA FISIPOL UGM atas kerisauan mahasiswa terkait kondisi keuangan UGM pascapemangkasan. “Sebenarnya, surat ini menjadi satu bukti, bukan omongan aja, kalau UGM memang terdampak [efisiensi-red] dan dampaknya lumayan besar,” jelas Agil, salah satu Pimpinan DEMA FISIPOL UGM.Â
Beberapa sektor UGM akhirnya harus pasrah terkena efisiensi. Bejo (bukan nama sebenarnya) mengungkapkan bahwa ia sendiri harus melakukan penyesuaian anggaran dalam sebuah acara Direktorat Kemahasiswaan (Ditmawa) mendekati hari pelaksanaan acara. “Dari pihak Ditmawa, istilahnya kayak menenangkan kami, mengayemkan kami, dengan cerita bahwa nggak cuma kalian kok yang terefisiensi,” ungkapnya. Salah satu isi dari teknik diplomatis menenangkan yang diterima, Bejo ikut menyebutkan bahwa KKN sebagai program DPkM juga mendapatkan pemangkasan anggaran.
Arie Sujito sendiri ikut mengamini pemotongan anggaran yang diberikan pemerintah terhadap UGM. “Rezim Prabowo ini kan memotong berapa aspek dan kemudian UGM juga melakukan rasionalisasi,” tegasnya. Namun, efisiensi tidak memusnahkan upaya UGM dalam komitmennya untuk memenuhi kewajibannya sebagai universitas, termasuk KKN.Â
Sayangnya, komitmen UGM untuk melaksanakan KKN tidak cukup, masih harus melakukan penyesuaian. Kondisi ini memaksa DPkM untuk bekerja lebih giat lagi mempersiapkan dana mereka dalam satu tahun ke depan. “Seberapa besar dampak yang muncul itu kan yang menjadi kesiapan kita bersama,” tutur Nanung dengan nada menenangkan.
Kesiapan DPkM rupanya hanya bisa mengajukan anggaran sesuai batas pagu tahunan mereka, Rp25 miliar. Pada November–Desember 2024, saat ingin mengajukan dana tahun 2025 mereka hanya mengajukan Rp25.290.994.733,00, padahal mereka sudah menyerap dana sebesar Rp28.381.701.992,00 selama 2024. “Nah, ini data yang ada bahwa serapan periode KKN tahun 2024 itu 22,476 miliar,” detil Djarot terkait pengeluaran mereka yang cukup besar.Â
Sayang, efisiensi harus memangkas dana yang diajukan DPkM ke universitas, mereka hanya mendapat Rp17.197.876.418,00. Dengan dana yang “cekak”, mereka harus bisa menganggarkan itu untuk semua kegiatan pengabdian mereka; mulai dari operasional kantor, Layanan Pemberdayaan Masyarakat, hibah pengabdian, KKN-PPM, Disaster Response Unit, Regional Centre of Expertise, Bantuan Kebencanaan, dan lain-lain.
DPkM juga menjelaskan dalam pernyataan tertulisnya kepada BALAIRUNG, program KKN menyerap dana yang banyak karena kegiatan ini meliputi bantuan dana transportasi, biaya lokakarya kemitraan sampai administrasi, biaya asuransi, dan pemeriksaan kesehatan mahasiswa. Di lain sisi, sebelum keberangkatan, DPkM juga mengadakan kelengkapan atribut mahasiswa dan Dosen Pembimbing Lapangan (DPL). DPL juga turut dibiayai oleh DPkM selama membimbing unit KKN dan mengadakan monitoring ke lokasi KKN.Â
Dari perhitungan DPkM dengan dana yang tersedia, khusus program KKN, mereka hanya mengalokasikan anggaran sebesar Rp13 miliar dari total dana Rp17 miliar. Namun, demi menjaga asa pelaksanaan KKN, DPkM berhasil mendapat suntikan dana tambahan dari universitas. “Jadi, ada top up sejumlah 6 miliar, tambah 13, jadi 19 (miliar),” terang Nanung.Â
Dana “sekecil” Rp19 miliar untuk program DPkM yang megah nyatanya tidak bisa menyelamatkan tanggung jawab pengabdian di KKN periode II. Lebih banyak dari itu, dana tersebut juga dialokasikan untuk KKN periode I pada April–Mei 2025 dan periode IV tahun 2024, Desember 2024–Februari 2025. “Periode 4 itu kan periode Desember pertengahan. Itu sebagian besar masuk SPJ tahun 2025,” Djarot menjelaskan.
Pengurangan anggaran untuk KKN dan penambahan jumlah mahasiswa yang mengikuti kegiatan KKN, memaksa DPkM harus bekerja lebih ekstra. Pasalnya menurut keterangan Djarot, kenaikan peserta turut berdampak pada penambahan DPL, unit KKN, dan Mitra. “Kita mencoba akan melaksanakan kegiatan KKN hampir sama seperti tahun 2024, hanya tetap ada efisiensi anggaran, tapi tidak potong frontal,” beber Djarot.Â
Sudah jatuh tertimpa tangga pula, DPkM nyatanya masih kebingungan terkait sumber dana untuk pelaksanaan KKN dalam satu tahun ini, khususnya pada periode III dan IV. “Duwit e ono po ra yo mbuh (Uangnya ada atau tidak, nggak tahu) kami nunggu universitas,” pasrah Nanung. Ia juga berujar bahwa kewajiban mencari dana bukan urusan DPkM, melainkan universitas.Â
Persoalan dana juga mengganggu mahasiswa yang akan melaksanakan KKN periode II 2025. Mereka sempat harus khawatir atas pendanaan keberangkatan mahasiswa dengan adanya penundaan pengumuman kelolosan pendanaan. “Kami juga belum bisa apa-apa. Makanya, tanggal 21 (Maret) kemarin kami tunda,” ujar Djarot saat rapat dengan mahasiswa.

Pengumuman penundaan kelolosan pendanaan Tim KKN PPM UGM Periode II tahun 2025.
“Pil Pahit” sejak Awal KKN
Persoalan dana sebagai komitmen kesiapan pelaksanaan KKN-PPM rupanya bukan satu-satunya hambatan, pembekalan KKN juga sudah bermasalah. Dari pengakuan Bejo yang pernah melaksanakan KKN, materi KKN yang bermanfaat hanya bagian administrasi saja. “Kalau yang soal bagaimana terjun ke masyarakat, itu mah formalitas aja yang disampaikan di kelas, tapi yang soal teknik administratif emang berguna banget,” ceritanya.Â
Perkara materi yang berhubungan dengan masyarakat tidak hanya terkesan sebagai formalitas belaka, tetapi tidak menggambarkan kondisi masyarakat. “Kurang relevan sih karena terlalu menggeneralisir kan,” ungkap Bejo. Padahal, menurutnya kondisi lokasi KKN berbeda sehingga konteks masyarakat yang dihadapi tentu berbeda pula.
Rupanya, bukan Bejo seorang yang mengeluhkan materi pembekalan KKN. Dita, salah seorang mahasiswa pembekalan KKN tahun 2025, bahkan tidak tahu perihal konsep materi yang sedang ia ikuti. “Aku agak lupa jujur, aku agak ngantuk sama session-nya,” terangnya menggambarkan kondisi kelas yang membosankan.Â
Namun, rasa kantuk Dita hilang kala salah satu pemateri pembekalan KKN dari DPkM menyampaikan hal yang kurang mengenakkan. Dosen pemateri kala itu, Rini Pujiarti, memaparkan materinya, Etika dan Tata Tertib, berisi etiket berpakaian bagi mahasiswa. “Aku kira awalnya kayak cuman bahas common sense atau mungkin kayak gimana cara berbaur sama unsur masyarakat,” ungkap Dita. Sayangnya, ia kecewa saat materinya harus menyudutkan perempuan atas penampilan mereka.Â
Hal yang dialami Dita rupanya dialami mahasiswa lain. Hal ini terlihat dalam pembekalan materi kepada mahasiswa calon peserta KKN pada Sabtu (22-03). Rini kembali memaparkan materi dengan improvisasi yang mengarah ke dalam pelecehan secara verbal kepada korban kekerasan seksual.
Menurut Kus, salah satu mahasiswa kelas pembekalan, mengatakan dalam satu hari terdapat empat materi pembekalan, salah satunya termasuk Etika dan Tata Tertib. Namun, pemateri tidak hanya sekadar membahas persoalan etiket dalam menjalani KKN. Nyatanya, pemateri menyinggung kekerasan seksual terhadap perempuan akibat penampilan perempuan. “Dengan pakaian-pakaian yang tertutup itu juga merupakan bagian dari kalian [perempuan-red] melindungi diri dari kekerasan seksual,” ingat Kus menirukan Rini.
Tak usai menyebutkan bahwa kekerasan seksual terjadi karena pakaian perempuan, dalam pengakuan Kus, Rini juga mengungkit kekerasan seksual yang pernah terjadi dalam pelaksanaan KKN UGM. Rini mengutarakan hal tersebut saat sesi penyampaian etiket bercengkrama dengan lawan jenis. “Karena dia [korban kekerasan seksual-red] sering main ke pondokan laki-laki, akhirnya dia kena kekerasan seksual di sana,” rangkum Kus dari Rini.Â
Adanya persoalan ini membuat Septiana, DPL yang juga pernah diminta DPkM untuk mengisi materi, turut bereaksi dengan penyampaian materi. Ia yang menjadi dosen mata kuliah Feminisme di Fakultas Filsafat memberitahu bahwa tujuan materi ini adalah mengarahkan mahasiswa untuk beradaptasi saat KKN. Namun, ia bingung saat materi yang disampaikan mengungkit kasus kekerasan seksual. Pasalnya, kasus tersebut sudah lama dan seharusnya tidak lagi dituturkan karena bisa memberikan trauma kepada korban. “Sebetulnya kasus itu sudah selesai,” tegas Septiana.
Walau itu merupakan kasus lama, dalam keterangan Kus, ia dan peserta pembekalan lain sudah mengingatkan Rini melalui kolom komentar zoom meeting. Dalam ingatan Kus, mereka menegur Rini dengan menjelaskan bahwa dalam kasus kekerasan seksual, korban tidak layak dijadikan sebagai contoh buruk. “[Materi-red] itu salah dan harusnya nggak melakukan victim blaming dan sebisa mungkin korban jangan dijadikan sebagai contoh buruk,” paparnya. Sayangnya, Rini tidak menggubris catatan-catatan dari mahasiswa.
Pembekalan yang kian runyam, akhirnya diverifikasi oleh BALAIRUNG dengan menghubungi Rini. Namun, ia menolak untuk memberikan jawaban. “Ngapunten Mbak bisa langsung ke DPkM saja njih, krn dr DPkM yang menugaskan saya,” tulisnya dalam balasan pesan upaya konfirmasi.
Rupanya, jawaban Rini memang menjadi arahan dari DPkM untuk tidak memberikan pernyataan apa pun ke pihak luar. Nanung menyebutkan hal ini dalam rapat DPkM dengan perwakilan mahasiswa, Senin (24-03). “Memang kami cegah. Biar ini nanti secara institusional saja, UGM saja yang akan memberikan klarifikasi terkait dengan itu,” ujar Nanung.
Betul saja, keributan atas pembekalan ini dijadikan DPkM sebagai persoalan institusional semata, pascabanyak kritik dan ketidaksetujuan mahasiswa di sosial media, barulah DPkM memberikan pernyataan resmi. Nanung menekankan bahwa tidak mungkin dosen di kampus sebesar UGM menjatuhkan dan membunuh karakter mahasiswanya. “Tidak mungkin aku mau menjelek-jelekkan kamu, itu jadi kode etik pengajar,” tutur Nanung.
Namun, klaim Nanung bahwa tidak mungkin dosen di kampus sebesar UGM menjatuhkan karakter mahasiswa tidak terlihat dalam upaya mereka menangani teguran mahasiswa. Mereka melanjutkan urusan institusi dalam menghadapi mahasiswa di zoom meeting dengan sempat mematikan kolom komentarnya. Kus sendiri menyebutkan bahwa yang ditutup akses memberikan komentar pertama kali bukanlah semua mahasiswa. “Ternyata nge–mute aku sama temanku [mahasiswa yang vokal-red] itu nggak cukup, orang-orang lain masih ngomong. Masih banyak yang komen macem-macem lah terkait Bu Rini ini, akhirnya sama DPkM komentarnya di nonaktifin sepenuhnya,” keluh Kus.
Dalam pemaparan Nanung dan Djarot, tindakan menonaktifkan kolom komentar diambil karena menganggap situasi sudah memanas. Mereka memilih untuk meredakan situasi dengan menutup kolom komentar. “Dan itu kita matiin dan kita hidupin lagi. Artinya hanya sesaat, bukan untuk membungkam, sama sekali tidak ada maksud untuk membungkam,” tambah Rustamaji selaku Direktur DPkM.Â
Walaupun kolom komentar sempat dinonaktifkan, Kus tetap menyampaikan pendapatnya di akhir materi kala Rini membuka sesi tanya jawab. Ia lagi-lagi menegaskan maksudnya dan mahasiswa lain bahwa menyudutkan perempuan bukanlah hal yang tepat. “Aku rasa ini beneran buat orang-orang merasa nggak nyaman, apalagi buat penyintas kekerasan seksual,” papar Kus.Â
Namun hingga akhir pemberian materi, Kus sangsi Rini tidak merasa ada yang salah dengan hal yang ia ucapkan. “Dan juga dia [Rini-red] sama sekali sampai akhir nggak ada permintaan untuk minta maaf kepada teman-teman yang ada di zoom,” yakin Kus. Lebih lanjut, Kus menyayangkan seleksi pihak DPKM dalam pemilihan narasumber.Â
Nanung menyebutkan DPkM memang memilih narasumber senior dan kompeten. DPkM hanya memberi kebebasan bagi pemateri untuk menyampaikan materi yang sudah disediakan DPkM. “Jadi, kami ndak mungkin sampai apa verbal-verbalnya para pembekal ini kami setting, beliau-beliau ini dosen berpengalaman semua,” sebut Nanung.Â
“Mungkin bahasa Generasi Z dengan kami mungkin beda, itu yang harus kami pahami untuk memperbaiki diri,” kata Djarot. Bagi DPkM, keapesan yang menimpa mereka hanya perbedaan bahasa antar generasi mahasiswa dan pihak mereka. Djarot menyampaikan bahwa masukan yang mereka terima hanyalah penggunaan bahasa dalam penyampaian materi yang tidak menyasar anak-anak muda.
Walau DPkM berdalih ini adalah persoalan bahasa yang dipahami oleh anak muda, rupanya materi pembekalan KKN sudah pernah dikoreksi oleh tim Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Yayi Prabandar, Ketua Satgas PPKS mengungkapkan bahwa sejak tahun lalu, pihaknya sudah memberikan masukan kepada DPKM, tetapi masukan tersebut rupanya tidak diindahkan. “Materi itu muncul lagi dan ditambah dengan pernyataan [Rini-red] jadi itu yang membuat mahasiswa terkadang kaget,” keluh Yayi.Â
Syahdan, Rustamaji merasa kaget dengan respons publik yang akhirnya mengarah pada sentimen yang lebih dahsyat. Namun, ia dan pihak DPkM berterima kasih dengan segala masukan dan kritik konstruktif. “Saya tidak marah. Tidak apa, justru ini untuk kita belajar, sama-sama belajar, bagaimana kita harus bersikap,” kata Rustamaji.

Salah satu slide materi dalam pembekalan “Etika dan Tata Tertib”.
Yayi dan pihaknya juga sudah memberikan teguran melalui Arie Sujito dan DPkM terkait penyampaian materi pembekalan yang menyudutkan korban. Sama seperti Kus, ia menyayangkan tindakan Rini karena tidak seharusnya membicarakan kekerasan seksual jika memang tidak sesuai konteksnya. “Tapi, entah kenapa saya tidak tahu waktu itu yang menjadi konteksnya adalah baju, pada saat ngomong baju, terus nyinggung yang lain,” sesal Yayi.
Yayi menyayangkan perbedaan perspektif antara dosen di UGM. Musababnya, dosen di UGM diberikan sosialisasi mengenai pemahaman terkait kekerasan seksual sehingga pakaian seharusnya tidak menjadi penyebab kekerasan seksual. “Tapi, yang jelas ini yang saya highlight itu beliau bukan anggota satgas dan kami belum pernah diskusi sebelumnya,” tegas Yayi.
Peta Imajinasi Misi Internasionalisasi KKN UGM
Di tengah karut marut kondisi KKN yang sedemikian rupa, UGM masih tetap ingin KKN dilaksanakan. Pasalnya, paradigma empowerment yang digunakan KKN sejak 2006, mengharuskan universitas menjalankan marwahnya di bidang riset. Dalam KKN, mahasiswa diharuskan berkontribusi kepada masyarakat sebagai agen perubahan.
Syahdan, Pasca MURI 2024, DPkM tahun 2025 berencana untuk mendaftarkan program KKN ke dalam UNESCO sebagai sebuah warisan budaya. Hal ini diungkapkan oleh Djarot bahwa pihak DPkM sedang mempersiapkan proses rekognisi dan berkas pengajuan dokumentasi KKN ke UNESCO. “Nasional kan udah, udah tekuk lutut kalau mau dijelaskan tentang KKN,” unjuk Djarot.
Arie Sujito sendiri menyebutkan, rencana ini guna mengamalkan nilai filosofis KKN-PPM. Sebagai pionir program pengabdian mahasiswa kepada masyarakat, UGM ingin menunjukkan gelar kampus kerakyatannya dengan selalu terjun ke masyarakat. “Memang ingin mendekatkan kampus ini terus kepada rakyat supaya tidak tercerabut, supaya pengetahuan buat rakyat, bukan pengetahuan itu sendiri,” papar Arie Sujito.
Arie Sujito yakin bahwa KKN bermanfaat bagi sektor publik dan meminta untuk menanyakan bentuk keberhasilannya ke DPkM. Namun, saat ditanyai keberhasilan manfaat KKN, Djarot kesulitan untuk menjawabnya, pasalnya data yang tersaji harus aktual dan bisa dipertanggungjawabkan. “Karena [lokasi-red] satu dengan yang lain kan berbeda, iki berhasil mengentaskan buta aksara, iki stunting, di sana pemberdayaan ekonomi, itu kan banyak,” tambah Nanung tanpa memberitahu lokasi yang pasti.Â
Meski demikian, tak berhenti di pengakuan dari UNESCO, pengakuan internasional lainnya tetap akan dilanjut di 2026. UGM akan mendaftarkan KKN-PPM ke dalam Penghargaan Nobel kategori Perdamaian dan Perekonomian. Bagi Djarot, hal ini dilakukan karena mahasiswa menjadi agen penyatu masyarakat. “Perdamaian itu tidak harus dalam masa perang. Jadi, menjadi jalan tengah, menjadi pengadem, itu perdamaian,” beber Djarot.
Alih-alih membawa perdamaian bagi masyarakat sekitar, beberapa lokasi KKN hanya dipandang sebagai tempat melepas penat bagi mahasiswa. Pendapat ini diutarakan Kus, menurutnya, KKN di luar Pulau Jawa hanya dijadikan sebagai kedok liburan yang dibiayai UGM. “Seolah-olah masyarakat yang mereka datangi hanya jadi objek KKN yang akan mereka “bantu”,” sesal Kus.
Kekesalan Kus turut muncul karena dana yang dibutuhkan oleh tim KKN di luar Pulau Jawa begitu banyak. Menurut pengamatannya, tim KKN yang berada di luar Pulau Jawa seringkali membutuhkan sponsor yang besar. “Menurutku sendiri, itu kontraproduktif untuk melakukan KKN, dengan biaya operasional yang kayaknya lebih besar dari dampak yang diterima masyarakat sendiri,” sesal Kus.Â
Namun, bagi Arie Sujito, kritik dari mahasiswa semacam ini juga mereka masukkan ke dalam evaluasi program KKN. Harapannya, evaluasi yang dilakukan menjadi bahan agar program KKN menjadi inklusif. “Setiap KKN itu dilakukan, cuman menindaklanjutinya itu harus dikawal dan karena itu universitas harus terus berbenah,” rangkum Arie Sujito.
Kendati demikian, pengalaman beberapa mahasiswa yang sudah melaksanakan KKN menyebutkan bahwa evaluasi hanya dilaksanakan dalam bentuk formulir Google, sedangkan Bejo tidak. Beruntungnya, evaluasi pascakegiatan KKN di unit Bejo masih dilakukan lewat pertemuan antar anggota tim unit KKN untuk saling bertukar informasi. “Kita makan-makan bareng, abis itu DPL-nya kasih sambutan evaluasi gitu,” kata Bejo.
Penulis: Tafrihatu Zaidan Al Akhbari
Penyunting: Ester Veny
Illustrator:Â Muhammad Rizqi Juliantoro