
©Kahfi/Bal
Pada Sabtu (12-04), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali mengadakan diskusi bertajuk “Menghadang Militerisasi Kampus” secara daring melalui platform media sosial X , @LBH Bali. Diskusi ini menghadirkan beberapa narasumber; yakni Made Supriatma, Peneliti dan Anggota Tim Majelis Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI); Rezky Pratiwi, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia-Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI-LBH) Bali; Satria Unggul, Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik; dan Aditya Kusuma Putra, Ketua BEM FH Universitas Udayana. Diskusi ini diselenggarakan sebagai respons terhadap Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Universitas Udayana (Unud) dengan Komando Daerah Militer (Kodam) IX/Udayana.
Kerja sama antara Unud dengan Kodam IX/Udayana tertuang dalam dokumen PKS Nomor B/29/UN14/HK.07.00/2025 yang didasarkan pada Nota Kesepahaman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dan Tentara Nasional Indonesia Nomor 11/X/NK/2023 dan Nomor NK/22/X/TNI. Menurut Adit, Nota Kesepahaman tersebut memiliki payung hukum resmi berupa Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 14 Tahun 2014 tentang Kerja Sama Perguruan Tinggi. “PKS ini juga setelah kita telisik memang ini turunan dari Permendikbud,” ucapnya.
Adit mengaku bahwa adanya PKS tersebut telah menimbulkan kekhawatiran bagi mahasiswa Unud. Salah satu kekhawatiran yang dirasakan Adit adalah perihal tidak jelasnya pelibatan peran mahasiswa dalam kerja sama Unud dan Kodam IX/Udayana. “Kita tidak tahu sejauh mana kita bisa berperan dalam PKS ini, apakah ini suatu kewajiban atau tidak,” ucapnya.
Adit juga menyoroti ambiguitas dalam Pasal 10 PKS tentang Tugas dan Tanggung Jawab Unud dan Kodam IX/Udayana. Menurut Adit, pasal yang berisi pemberian akses pendidikan di Unud bagi keluarga besar Kodam IX/Udayana tidak mencantumkan kejelasan jalur masuk Baginya, hal ini berpotensi mengganggu prinsip keterbukaan yang selama ini dijaga dalam dunia akademik. “Apakah mereka akan masuk melalui jalur seleksi yang sama seperti mahasiswa lain? Kalau tidak, ini jelas mencederai keadilan dan transparansi di kampus,” tegas Adit.
Tak hanya permasalahan ambiguitas pasal, Adit juga khawatir keberadaan PKS akan menimbulkan intervensi militer dalam dunia pendidikan. Pasalnya, intervensi militer di Unud sudah mulai terjadi dalam salah satu ruang diskusi yang diselenggarakan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unud. Ia menambahkan, anggota militer yang tak diundang ikut menyusup ke dalam forum milik mahasiswa. Hadirnya anggota militer yang berseragam lengkap dengan didampingi ajudan telah menciptakan suasana intimidatif bagi mahasiswa. “Kami tak pernah undang mereka, tapi mereka hadir begitu saja, duduk paling depan. Itu bukan lagi simbol kekuasaan, itu intimidasi,” terangnya.
Berkaca dari intimidasi tersebut, Satria berpendapat bahwa pendidikan dan militer mempunyai perbedaan fungsi dan sifat. Menurutnya, pendidikan adalah ruang berpikir yang bebas dan mengedepankan pemikiran kritis, sedangkan militer mengedepankan budaya tunduk pada perintah. “Budaya militeristik tak bisa dipaksakan masuk ke dunia kampus yang otonom dan kritis. Ini dua dunia yang tidak kompatibel,” ungkap Satria.
Kekhawatiran terhadap masuknya budaya militer di dunia kampus membuat mahasiswa Unud mengadakan sidang untuk menuntut PKS antara Unud dan Kodam IX/Udayana. Adit menjelaskan bahwa sidang tersebut adalah upaya mahasiswa untuk menyampaikan keberatan mereka kepada pihak kampus. “Yang kami upayakan adalah pihak Unud mengusulkan pembatalan ke Kodam IX/Udayana,” cakapnya.
Pengusulan pembatalan PKS kemudian disepakati oleh Rektor Unud, Prof. Ir. I Ketut Sudarsana, S. T., Ph. D pada 8 Maret 2025. Kesepakatan ini muncul setelah mahasiswa Unud secara rutin mendesak pihak rektorat untuk berhenti memberikan ruang akademik kepada militer. Namun, adanya pengusulan pembatalan PKS tidak menjadi penanda berakhirnya keberadaan militer di kampus. Hingga saat ini, mahasiswa Unud terus melakukan pengawalan terhadap usulan tersebut. “Pengawalan ini belum goals, belum menang, belum usai,” tegas Adit.
Penulis: Aulia Nafisatun Ramadhani dan Muhammad Athallah Adinata
Penyunting: Aghits Azka Aghnia
Fotografer: Muhammad Al Kahfi