
©Kanza/BAL
Suara itu tak hanya menggema di telinga. Ia turut menjalar ke kulit; merasuki pori-pori; kemudian menjelajahi setiap sudut tubuh. Ia mengalir tak terbatas dan menghadirkan beraneka warna rasa dalam batin.
Konstruksi musik semata sebagai produk dengar merupakan peminggiran terhadap budaya Tuli. Kondisi tuli yang sering ditempatkan sebagai disabilitas utama dalam musik membuat mereka dieksklusikan dari karya seni tersebut. Belum lagi diperparah oleh persepsi The Can’t Syndrome ‘sindrom tidak bisa’ yang dilekatkan masyarakat kepada Tuli. Hal ini menyebabkan Tuli yang ingin berbagi identitas dan berkarya dengan musik dinilai ingin menjadi seperti orang yang bisa mendengar (Best 2015). Pemahaman tersebut jelas diskriminatif dan tidak inklusif.
Tuli dan Musik
Selama ini, persepsi kepada Tuli berangkat dari diskursus, regulasi praktik, dan sikap masyarakat soal pendengaran yang cenderung aural tipikal. Maksudnya, pemahaman yang mempersepsikan bahwa pendengaran hanya pada satu kondisi yang dianggap ideal dan normal. Pemahaman ini tak lepas dari standar medis soal pendengaran, yaitu seseorang yang sehat normal, bebas dari semua gejala penyakit telinga dan dari sesuatu yang menghalangi saluran telinga. Selain itu, ia tidak memiliki riwayat paparan kebisingan yang berlebihan, terkena paparan obat-obatan yang berpotensi ototoksik atau kehilangan pendengaran (Drever dan Hugill 2023).
Dari sini, muncullah studi soal tuli dan budayanya, Deaf Studies, termasuk soal konteks penulisan deaf ‘tuli’ dengan Deaf ‘Tuli’. Istilah Tuli merujuk pada subjek, yaitu orang-orang yang mengalami kehilangan pendengaran; menggunakan bahasa isyarat; dan memiliki budaya yang sama; termasuk dalam bermusik (Darrow 2006). Sementara istilah tuli merujuk pada keadaan fisik pendengaran seseorang. Beberapa Tuli sebenarnya tidak kehilangan pendengaran secara penuh sehingga masih dapat menikmati karya seni musik (Darrow 2006). Namun, pemahaman itu tentu saja rumpang karena masih menghadirkan pendengaran sebagai sorotan utama.
Oleh karena itu, pemahaman soal tuli turut beralih. Menurut Drever dan Hugill (2023), perbedaan tuli dan Tuli terletak pada cara berkomunikasi dan penerapan budaya Tuli. Tuli (dengan huruf T kapital) merupakan komunitas yang menggunakan bahasa isyarat sebagai bentuk komunikasi utama. Sebaliknya, tuli (tanpa huruf T kapital) tidak menggunakan bahasa isyarat sebagai bahasa utama, melainkan bahasa ibu yang biasa dituturkan oleh teman dengar. Selain itu, tuli biasanya menggunakan alat bantu dengar untuk berkomunikasi.
Meski teknologi semakin canggih seperti kehadiran alat bantu dengar, pendengaran jelas saja bukan satu-satunya cara untuk menikmati atau memproduksi musik. Aktivitas suara kreatif tidak hanya bersifat auditori. Karenanya, pendengaran sama sekali tidak mencakup semua pengalaman musik. Ada variasi atau keragaman aural lainnya, seperti melalui getaran, visual, dan perabaan. Hal ini disebut substitusi sensorik atau menggunakan informasi indra sebagai pengganti indra lainnya. Tuli memang memiliki ketajaman secara visual dan sentuhan yang digunakan dalam interaksi budaya Tuli (Holmes 2017).
Setidaknya, ada empat aspek pendengaran tuli. Menurut Joseph Straus (2011) empat aspek itu berupa feeling ‘merasakan’, seeing ‘melihat’, moving ‘bergerak’, dan silent hearing ‘pendengaran batin’. Cara-cara itu disebut juga aktivitas musikal atau pengalaman tubuh yang mengutamakan getaran yang dirasakan dan isyarat visual yang diamati (Jones 2016).
Saat merasakan musik, seluruh tubuh Tuli menjadi membran yang dapat merasakan getaran suara. Hal ini salah satu kunci Tuli untuk menikmatinya secara personal dengan santai. Sementara seeing diartikan sebagai pengalaman visual dan kinestetik dari penggunaan bahasa isyarat. Dalam pertunjukan musik, penonton dapat memiliki pengalaman spasial saat lagu saat lirik dilukis di udara. Lebih lanjut, moving dapat diwujudkan dengan penonton Tuli melambaikan tangan ke depan dan ke belakang mengikuti irama dalam pertunjukan musik. Komponen-komponen ini kemudian dimediasi oleh pemahaman budaya Tuli untuk mengakui signifikansi pengalaman musik Tuli dan bentuk ekspresinya (Jones 2016).
Dari sini, keragaman aural menjadi sangat penting. Orang-orang klinis mencoba mengkategorikan pengalaman aural berdasarkan medis untuk keperluan intervensi dan teknologi. Padahal, pengalaman aural manusia yang lebih luas paling baik diekspresikan sebagai keragaman (Baguley 2023). Namun, perlu disadari hal ini tidak sederhana. Pasalnya, model-model aural tipikal sudah sangat tertanam dalam masyarakat dan ilmu pengetahuan. Meski begitu, fakta bahwa Tuli memiliki pengalaman musik tersendiri sudah sepatutnya diakui dan dihargai (Best 2015).
Salah satu bentuk keragaman aural bagi Tuli berhasil dikemas lewat film dokumenter pendek berjudul Labyrinth. Karya ini dimulai dengan penampilan laki-laki Tuli yang bernyanyi dan menari. Setelahnya, ada sekitar sembilan Tuli secara anonim yang berbagi pengalamannya masing-masing selama mereka mengenal, merasakan, bahkan memproduksi musiknya sendiri.
Dalam Labyrinth, musik menjadi penting sebagai ruang ekspresi dan emosional, seperti yang diutarakan oleh laki-laki berbaju merah. Ia menjelaskan seni ini membantunya meredakan patah hati, menjauhkan diri dari pikiran negatif, memunculkan rasa sukacita, bahkan menjadi soft spot ‘titik lemah’ yang menyentuh. Musik juga memberikan kesempatan mereka menari dengan gerakan dan putaran yang menyenangkan.
Setiap narasumber di Labyrinth memiliki keragaman cara merasakan musik, ada yang melalui getaran lantai kayu dan sound system, tampilan visual dan gerakan, hingga ritme yang dihasilkan musik itu sendiri. Salah dua dari mereka, seorang laki-laki berbaju cokelat, bahkan menunjukkan cara ia menciptakan musik. Diawali dengan menutup satu telinga dan membuat vibrasi dari tenggorokan, ia lalu memasukkan ritme itu ke dalam bahasa isyarat.
Bagi perempuan bersyal dalam video, musik memiliki tempat khusus di hatinya. Penampilan isyarat dari sebuah lagu dirasakan berbeda dengan komunikasi bahasa isyarat sehari-hari. Lagu dengan bahasa isyarat memiliki aspek penting pertunjukan seperti ritme, warna, fluktuasi, dan ekspresi wajah tersendiri yang dapat dinikmati. Namun, ia tetap memerlukan interpretasi supaya memahami lagu secara utuh. Selain itu, diperlukan banyak latihan agar dapat menerjemahkan lagu dalam bahasa isyarat.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa aksesibilitas musik Tuli perlu perhatian serius. Utamanya dalam acara-acara musik seperti festival dan konser agar semua dapat merasakan euforia yang ada. Pemberian visual lirik, menghadirkan Juru Bahasa Isyarat (JBI), atau fasilitas musik yang inklusif lainnya merupakan beberapa cara yang bisa ditempuh.
Perkembangan Musik Tuli
Pengalaman musik bagi Tuli telah menjadi hal umum yang diapresiasi di sejumlah negara. Hal ini, salah satunya, ditandai dengan pesatnya perkembangan industri musik yang dirintis oleh Tuli. Di Amerika Serikat misalnya, Warren Snipes atau dikenal dengan nama panggung Wawa sukses menjalani karier sebagai musisi Tuli. Selain itu, berbekal kemampuan menciptakan ritme tanpa menggunakan kata-kata, MC Baba asal Republik Demokratik Kongo menjadi penyanyi rap bisu dan Tuli pertama dari Afrika yang menarik perhatian pendengar di negaranya. Wawa dan MC Baba pun bersama-sama mengembangkan deaf hop, sebuah genre musik yang memanfaatkan gerak tubuh, ekspresi wajah, dan bahasa isyarat untuk menyampaikan pesan artistik sekaligus mengekspresikan diri sang musisi (Rahmita 2024).
Seiring berjalannya waktu, deaf hop mulai menarik perhatian para seniman dan penikmat musik di seluruh dunia. Namun, genre musik ini tidak lahir dan berkembang begitu saja. Wawa sempat menerima perlakuan stereotipikal ketika mencari agensi yang dapat menaungi produksi musiknya. Saat itu, seorang manajer yang ia datangi tidak percaya bahwa ia dapat bermusik karena menurut si manajer seorang Tuli tidak sepantasnya dapat mendengar, berbicara, apalagi bernyanyi (Best 2015).
Kecewa dengan hal tersebut, Wawa pun memutuskan untuk merintis sendiri sebuah agensi yang dapat membantu para musisi Tuli dalam mempromosikan karya dan membangun karier mereka. Melalui inisiatif tersebut, Wawa juga bermaksud melawan miskonsepsi soal Tuli. Hal ini menegaskan kehadiran deaf hop sebagai bagian integral dari gerakan melawan peminggiran terhadap Tuli sekaligus merepresentasikan upaya mewujudkan inklusivitas dalam industri musik dewasa ini (Best 2015).
Selain Wawa dan MC Baba, sejumlah musisi Tuli dari era sebelumnya pun telah menunjukkan kemampuan untuk bermusik. Komponis legendaris dunia, Ludwig van Beethoven misalnya, sukses melahirkan karya-karya besar, bahkan setelah ia menjadi Tuli sejak usia 40-an. Selain itu, Evelyn Glennie asal Skotlandia juga sukses menjalani karier sebagai pemain perkusi dengan kemampuannya mengenali musik dan membedakan nadanya lewat getaran bunyi (Abdalloh 2018).
Di samping merintis industri musik, pengalaman musik bagi Tuli juga ditandai dengan terbukanya kesempatan bagi mereka untuk turut menikmati musik. Di Amerika Serikat, Tuli telah membangun ruang sosial-budaya mereka untuk kemudian mengintegrasikan diri dengan masyarakat yang lebih luas. Dalam konteks pengalaman musik, kemajuan semacam ini ditandai dengan umumnya fasilitasi JBI untuk berbagai acara musik, mulai dari konser skala nasional, festival besar, dan tur kelas dunia. JBI yang dihadirkan pun tidak asal-asalan, mereka juga memeragakan gestur tambahan yang bervariasi menyesuaikan dengan jenis acara musik agar audiens dari kalangan Tuli dapat lebih mudah menghayati musik (Gibbs 2023).
Beralih ke Jerman, pernah ada sebuah proyek bertajuk “Feel the Music” yang memberi kesempatan bagi anak-anak dengan kehilangan pendengaran untuk dapat menikmati musik melalui getaran dengan meletakkan telapak tangan di bawah papan suara piano yang dimainkan oleh seorang pianis. Mereka pun mengaku merasakan sensasi dari getaran musik yang menjalar ke lengan dan kaki; terasa hangat dan lembut; serta sangat menyenangkan. Selain itu, di negara tetangga, Singapura, penyertaan JBI dalam konser orkestra juga telah diinisiasi. Dalam hal ini, kehadiran JBI tidak serta-merta menafsirkan kata per kata, tetapi juga mengekspresikan makna dari melodinya.
Musik Tuli di Indonesia
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Walaupun telah dipelopori sejumlah musisi, rupanya pengalaman musik bagi Tuli masih minim. Jejaknya baru terekam pada 2016, salah satunya ketika grup musik Endank Soekamti merilis sebuah video untuk lagunya yang berjudul “Sampai Jumpa” dalam versi bahasa isyarat. Video tersebut juga dilengkapi dengan akor untuk memfasilitasi Tuli agar dapat menikmati dan mempelajarinya. Setelahnya, baru pada 2019, Yura Yunita merilis lagu “Merakit” yang tersedia dalam video klip berbahasa isyarat. Ia turut mengajak musisi lainnya untuk mulai peduli terhadap industri musik bagi Tuli (Blessia 2019).
Indonesia juga memiliki Jay Afrisando, seorang promotor pengalaman musik bagi Tuli. Musisi dan peneliti asal Bantul, Yogyakarta tersebut meyakini musik tidak hanya dapat didengar oleh telinga, tetapi juga dinikmati lewat mata, perabaan, dan getaran yang terasa di kulit. Menurutnya, sebagaimana konsep keragaman aural, kondisi pendengaran manusia beragam sehingga setiap orang mendengarkan dengan cara yang berbeda. Oleh karena itu, ia terus berupaya memperkenalkan musik yang inklusif, misalnya dengan menciptakan notasi gambar taktil hitam-putih yang dapat dinikmati lewat sentuhan jari dan bantuan imajinasi (Rahayu 2023).
Meskipun terdapat musisi, grup musik, bahkan peneliti yang memelopori pengalaman musik bagi Tuli, kesadaran mengenai musik inklusif di Indonesia masih menjadi tantangan tersendiri. Menurut Jay Afrisando, masyarakat Indonesia belum memahami konsep keragaman aural, bahkan mengira bahwa orang dengan kondisi pendengaran berbeda tidak dapat menikmati musik sama sekali. Dengan pola pikir demikian, tak heran jika industri musik Indonesia masih jauh dari inklusif. Terlebih, penyediaan JBI dalam acara-acara musik pun masih terbilang jarang (Rahayu 2023).
Padahal, animo Tuli di Indonesia untuk mendengarkan musik sebenarnya cukup besar. Dalam pertunjukan yang bertajuk “Mengudara Bersama Teman Tuli” misalnya, Idgitaf membawakan albumnya, Mengudara, sambil menggunakan bahasa isyarat dan sukses menghadirkan seratus Teman Tuli (sebutan untuk orang dengan kondisi tuli di Indonesia). Antusiasme Teman Tuli juga tampak dalam konser penutupan Pesta Rakyat 2022 oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran yang melibatkan JBI. Pasalnya, panitia penyelenggara menerima berbagai respons positif dari Teman Tuli di media sosial yang mengaku terbantu dengan akses bahasa isyarat tersebut (Prastiwi dan Kasih 2022).
Dengan memahami kondisi pengalaman musik bagi Tuli berkembang di sejumlah negara, Indonesia sepatutnya memberi perhatian terhadap isu ini. Anggapan bahwa Tuli tidak dapat bermusik dan menikmati musik sama sekali perlu diubah. Dalam hal ini, konsep keragaman aural perlu menjadi pemahaman bersama agar pengalaman musik bagi Tuli dapat terfasilitasi demi mewujudkan industri musik yang lebih inklusif.
Penulis: Petra Noor Imanuel Aronds dan Najma Alya Jasmine
Penyunting: Ahmad Arinal Haq
Ilustrator: Kanza Anieq
Daftar Pustaka
Abdalloh, Mildan. 2018. “Empat Orang Tuli Yang Sukses Menjadi Musisi.” Ayo Bandung, 4 Februari 2018. https://www.ayobandung.com/internasional/pr-79628928/empat-orang-tuli-yang-sukses-menjadi-musisi.
Baguley, David M. 2023 “Aural Diversity: A Clinical Perspective.” Dalam Aural Diversity, diedit oleh John L. Drever dan Andrew Hugill. 13-23. Routledge.
Best, Katelyn E. 2015. “‘We Still Have a Dream’: The Deaf Hip Hop Movement and the Struggle against the Socio-Cultural Marginalization of Deaf People.” Lied Und Populäre Kultur/Song and Popular Culture 60/61: 61–86. https://www.jstor.org/stable/26538859.
Blessia, Andrea. 2019. “Lagu Isyarat Dan Teman Tuli.” Gilanada. 28 September 2019. https://www.gilanada.com/lagu-isyarat-dan-Teman-tuli/.
Connolly, Kate. 2012. “Feel the Music Project Teaches Deaf Children a Touch of Beethoven.” The Guardian. 19 November 2012. https://www.theguardian.com/music/2012/nov/19/feel-music-deaf-children-orchestra.
Darrow, AA. 2006. “Sounds in the Silence: Research on Music and Deafness.” Update: Applications of Research in Music Education 25 (1): 5–14. https://doi.org/10.1177/87551233060250010102.
Drever, John L., dan Andrew Hugill. 2023. “Aural diversity: General introduction.” Dalam Aural Diversity, diedit oleh John L. Drever dan Andrew Hugill. 1-12. Routledge.
Gibbs, Alice. 2023. “From Rihanna to Cardi B, Here Are 5 Times ASL Interpreters Stole the Show.” Newsweek. 13 Februari 2023. https://www.newsweek.com/5-times-asl-interpreters-stole-show-rihanna-cardi-b-1780860.
Holmes, Jessica A. 2017. “Expert listening beyond the limits of hearing: Music and deafness.” Journal of the American Musicological Society 70, no. 1 : 171-220. https://doi.org/10.1525/jams.2017.70.1.171
Hopkins, Carl, Saúl Maté-Cid, Robert Fulford, Gary Seiffert, Jane Ginsborg, dan Natalie Barker. 2022. “Deafness and Music: Can Vibration Be Used When Playing Music Together?” Frontiers for Young Minds. 14 Januari 2022. https://kids.frontiersin.org/articles/10.3389/frym.2021.732713.
Jones, Jeanette DiBernardo. 2016. “Imagined Hearing: Music-Making in Deaf Culture.” Dalam The Oxford Handbook of Music and Disability Studies, diedit oleh Blake Howe, Stephanie Jensen-Moulton, Neil Lerner, and Joseph Straus. Oxford, New York: Oxford University Press.
Jannusch, Colton. “Beyond Hearing: How Deaf Individuals Experience Music.” Nagish. 11 Oktober 2023. https://nagish.com/post/how-deaf-people-experience-music.
Lin, Cheryl. 2021. “Music for the Deaf, Theatre for the Blind: How the Arts is Catering to People with Disabilities.” CNA. 30 Desember 2021. https://www.channelnewsasia.com/singapore/music-theatre-arts-catering-deaf-blind-people-disabilities-2378106.
Mosita. 2024. “Idgitaf Menciptakan Ruang Dengar Bersama Teman Tuli.” RRI. 7 Mei 2024. https://www.rri.co.id/hiburan/677171/idgitaf-menciptakan-ruang-dengar-bersama-Teman-tuli.
Papathanasis, Dimitris, Dir. 2020. “Labyrinth (En subs).” https://www.youtube.com/watch?v=g7TyB4pm6Oo
Prastiwi, Mahar, dan Ayunda Pininta Kasih. 2022. “Unpad Gelar Konser Musik Inklusif Teman Tuli, Libatkan Juru Bahasa Isyarat.” Kompas. 31 Oktober 2022. https://edukasi.kompas.com/read/2022/10/31/160000471/unpad-gelar-konser-musik-inklusif-Teman-tuli-libatkan-juru-bahasa-isyarat.
Rahayu, Banny. 2023. “Karya Ditampilkan di AS, Musisi Asal Bantul Ciptakan Medium Musik Inklusif.” VOA Indonesia. 23 Juni 2023. https://www.voaindonesia.com/a/karya-ditampilkan-di-as-musisi-asal-bantul-ciptakan-medium-musik-inklusif/7150583.html.
Rahmita, Ainuni. 2024. “MC Baba Jadi Rapper Bisu Tuli Pertama Dari Afrika.” Viva. 8 Juni 2024. https://www.viva.co.id/berita/dunia/1721323-mc-baba-jadi-rapper-bisu-tuli-pertama-dari-afrika.
Soekamti, Endank. 2016. “Endank Soekamti – Sampai Jumpa (Official Lyric Video with Sign Language).” YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=6OMQsYDbbnI.
Yunita, Yura. 2019. “Yura Yunita – Merakit (Video Lirik & Bahasa Isyarat).” YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=ZawIc-bcmqY.