Teknologi digital hadir sebagai salah satu tanda kemajuan zaman. Ia menjelma instrumen yang dapat diandalkan manusia tiap saat. Namun, kecanggihannya justru diperalat oleh rezim otoriter untuk merepresi warga negaranya.
Pada tanggal 26 Agustus 2021, Luhut Binsar Pandjaitan melayangkan somasi kepada aktivis HAM, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti lantaran mereka telah melanggar Pasal 27 Ayat 3 juncto Pasal 45 Ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) soal pencemaran nama baik. Somasi Luhut berangkat dari aduan asistennya atas unggahan di kanal Youtube bertajuk Ada Lord Luhut Dibalik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada. Somasi ini berujung pada dilaporkannya Haris dan Fatia ke Polda Metro Jaya. Andrea Giorgetta, dari The International Federation for Human Right, menyatakan bahwa kasus yang menimpa mereka berdua merupakan upaya pembungkaman terhadap pembela HAM. Hukum sebagai pengejawantahan teknologi digital dalam UU ITE seharusnya memberikan perlindungan bagi rakyat, tetapi dimanfaatkan penguasa untuk mengkriminalisasi pengkritik sebagai bentuk pembungkaman dan represi.
Kasus Haris dan Fatia merupakan sekelumit dampak dari teknologi digital yang semakin menunjukkan kiprahnya di peradaban sekarang ini. Kehidupan manusia dipengaruhi dan dibentuk oleh teknologi secara masif dan komprehensif (Lengsfeld 2019). Kehadiran teknologi membuat manusia mengandalkannya di segala aspek kehidupan lantaran efektivitas dan efisiensi. Salah satu aspeknya adalah kehidupan bernegara dalam keberlangsungan sebuah pemerintahan terhadap pengendalian rakyat berbasis teknologi digital.
Keleluasaan yang ditawarkan oleh teknologi digital menjadi menarik untuk dilirik sebagai taktik mengontrol warga negara sekaligus menancapkan tonggak kekuasaan agar kian jaya. Tawaran ini berimplikasi pada terciptanya bentuk kekuasaan yang otoriter berbasis digital atau juga dapat disebut sebagai digital authoritarianism (Dragu dan Lupu 2021). Penggunaan teknologi oleh pemerintah otoriter tidak hanya berimplikasi untuk mengendalikan, tetapi juga membentuk perilaku rakyatnya. Melalui pengawasan, penindasan, pemanipulasian, penyensoran, serta penyediaan layanan, pemerintah otoriter bermaksud mempertahankan dan memperluas kendali politik (Khalil 2020).
Makna Otoritarianisme dan Relasi terhadap Demokrasi
Otoritarianisme, sebagai sistem pemerintahan, dinyatakan sebagai sebuah istilah baru yang awalnya diperkenalkan sebagai penjajaran dengan “totalitarianisme” yang merujuk pada jenis kediktatoran modern (Przeworski 2019). Otoritarianisme menjalankan sistem pemerintahannya secara sepihak dengan penekanan atau penindasan terhadap kelompok oposisi. Oleh karena itu, rezim dengan sistem tersebut mengakui adanya superioritas di atas inferioritas untuk meniscayakan adanya hierarki, ketertiban, serta ketakutan terhadap kelompok lain yang tidak sepaham atau segolongan (Glasius 2018). Lantas, otoritarianisme tak hanya berdikari pada pahamnya sendiri, ia dapat merasuk ke semua sistem pemerintahan laksana benalu, seperti menyusupnya otoritarianisme dalam tubuh demokrasi.
Bila otoritarianisme tersemat pada sistem demokrasi, ia akan bersikukuh untuk membantah, menentang, bahkan menggagalkan upaya warga sipil untuk berbunyi. Hal tersebut menghalangi keberlangsungan persyaratan adanya demokrasi yang berperan memperjuangkan kedaulatan rakyat seperti, kebebasan berekspresi, akses terhadap informasi, dan kebebasan berserikat (Dahl 1971). Artinya, praktik otoriter akan mengancam proses demokrasi karena kekuasaan politik tersentral di bawah kepemimpinan yang absolut (Linz 2000). Tak lagi memperjuangkan hak rakyat seperti dalil demokrasi sebagaimana idealnya, demokrasi yang disusupi otoritarianisme justru memprioritaskan rezim melegitimasi kekuasaannya.
Rezim otoriter, pada zaman ini, menguasai teknologi digital dan menjadikannya sebagai instrumen pelanggengan kekuasaan sehingga, secara mendasar, tatanan sosial dan praktik politik berubah (Schlumberger dkk. 2023). Kondisi demikian menandai adanya praktik-praktik pengawasan, pemaksaan, dan pemanipulasian masyarakat yang bertendensi menentang negara (Feldstein 2021).
Macam Upaya dan Transformasi Bentuk Represi Kontrol Warga Negara
Secara teoretis, stabilitas rezim otoriter untuk kian berkuasa dianalisis berdasarkan pilar legitimasi, represi, dan kooptasi (Gerschewski 2013). Pilar-pilar tersebut, dalam penelitian lebih lanjut, memerlukan pengeliminasian berbagai bentuk ancaman. Schlumberger dkk. (2023) berpendapat bahwa ada tiga cara jitu untuk menanggulangi persoalan tersebut. Pertama, to know, yaitu mengumpulkan informasi yang tersebar di jagad media digital mengenai rencana pihak oposisi dan menganalisis potensi ancaman. Kedua, pendisiplinan warga negara untuk meminimalisasi ancaman terhadap rezim yang disebut influence behavior. Ketiga, influence belief, yakni pemanipulasian warga negara dengan propaganda prorezim yang didampingi dengan sensor terhadap narasi-narasi alternatif untuk meninabobokan masyarakat terhadap kenyataan yang sebenarnya.
Rezim, untuk mengaktualisasikan tiga cara jitu yang dijelaskan sebelumnya, perlu melihat dan menerapkannya kepada tujuh aspek kunci sebagai bentuk peralihan represi dari sifat konvensional ke tahap digitalisasi. Pertama, penyusunan aktor dan komposisi rezim dengan menempatkan agen-agen siber untuk memelihara dan mengoperasikan instrumen digital. Kedua, pembangunan dan pembentukan ulang institusi, yaitu dengan melegitimasi kinerjanya dengan “pembangunan institusi yang imitatif” untuk membangun fasad yang tampak demokratis dalam pemilihan. Ketiga, penyamaran relasi antara negara dengan masyarakat sehingga distingsi antara ruang lingkup publik dan privat menjadi bias. Tak ada lagi ruang privat yang ideal bagi warga negara dalam dunia digital karena rezim telah mengintervensi segala ruang yang ada. Keempat, penciptaan koalisi dan kooptasi yang diarahkan kepada semua lini lapisan masyarakat, yaitu pemberlakuan sistem kredit sosial (sistem penghargaan–hukuman) bagi masyarakat secara individual dan menggaet elite untuk menggemukkan koalisi. Hal tersebut dilakukan untuk meminimalisasi ancaman yang tertuju pada koalisi rezim. Kelima, sasaran represi, yaitu dengan mengidentifikasi ancaman dan menerapkan represi melalui pemberlakukan sensor serta melenyapkan konten-konten yang kritis terhadap rezim secara sistematis dan terarah. Keenam, legitimasi manipulasi informasi, yaitu menciptakan warga negara yang tidak mampu mengidentifikasi kebenaran suatu informasi secara struktural karena rezim menyebarluaskan “kebenarannya” sendiri dan membuat disinformasi mengenai pihak oposisi. Terakhir, perluasan kekuasaan politik dengan jangkauan transnasional, yaitu represi jarak jauh dengan mengawasi kritikus rezim yang berada di luar negeri dengan intimidasi (Schlumberger dkk. 2023).
Tujuh aspek kunci tersebut menerangkan, secara sistematis, bahwa rezim langgeng berkuasa dengan memanfaatkan instrumen digital untuk mengendalikan dan membungkam warga negara secara tepat sasaran (Dalmasso dkk. 2018). Dengan perangkat digital dalam genggaman utuh, sebuah rezim dapat dengan mudah mengaburkan kebenaran dan menabur rasa takut kepada warga negara. Pada akhirnya, warga negara makin sulit mengaspirasikan gagasan serta asas demokrasi jadi sulit untuk dicapai.
Pemilihan umum dapat menjadi pemisalan. Petahana yang tergabung dalam koalisi rezim melanggar aturan-aturan standar konvensional demokrasi (Levitsky dan Way 2002). Atribut demokrasi malah dieksploitasi untuk melanggengkan kekuasaan (Linz 2000). Rezim otoriter secara signifikan curang dalam pemilu dengan menolak liputan media, mencuri suara, menggunakan partai untuk memobilisasi pendukung, serta mengintimidasi, baik jurnalis maupun kritikus rezim untuk melemahkan dukungan kepada pihak oposisi (Feldstein 2021).
Nasib Demokrasi Indonesia di Tangan Media Digital
Sejak lebih dari dua dekade yang lalu, pemerintahan otoriter Soeharto dengan gaya kepemimpinan sentral militeristik telah lengser dan digantikan oleh reformasi. Pemerintah Indonesia, nyatanya, justru menyerukan inovasi otoritarianisme untuk mempersempit ruang partisipasi demokrasi (Mietzner 2019). Hal tersebut dilakukan oleh pemerintah Indonesia, selaku rezim otoriter, dengan menerapkan praktik-praktik demokrasi yang diakui secara hukum serta menggunakan istilah “aturan hukum” dan “kehendak rakyat” sebagai cara untuk melegitimasi kekuasaan (Curato dan Fossati 2020). Dengan demikian, hukum dikonstruksi dan diperalat sedemikian rupa untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi rezim otoriter untuk menjalankan kerja-kerja culasnya.
Bentuk penerapan aturan hukum untuk menciptakan fasad yang demokratis bagi rezim adalah penciptaan undang-undang yang efektif terhadap kekuasaan eksekutif (Mechkova, Lührmann, dan Lindberg 2017). Artinya, rezim membuat pembatasan hukum bagi warga negaranya sendiri. Sahaja, kehendak atau suara rakyat hanya angan-angan belaka. Walhasil, pelaksanaan praktik demokrasi yang disusupi paham otoritarianisme tetap berjalan dengan mulus karena persyaratan jalannya sistem pemerintahan demokrasi telah terpenuhi. Demikian bila dikontekstualisasikan pada era digital ini, partisipasi warga negara meningkat dengan adanya transformasi digital sebagai sektor publik (Mergel, Edelmann, dan Haug 2019). Warga negara, di dunia digital, makin rawan dalam menjalankan prinsip demokrasi.
Rezim, dalam memanfaatkan media digital, berperan sangat signifikan dalam menanggapi dan memahami perilaku warga negara, termasuk pelayangan kritik terhadapnya. Di sisi lain, otoritarianisme tidak menghendaki berbagai bentuk ancaman yang mengganggu kestabilan rezim. Meningkatnya represi terhadap lingkungan internet mengindikasikan penguatan praktik otoritarianisme digital. Hal tersebut akan menghambat prospek demokrasi yang dapat dihadirkan oleh aktivisme media digital. Oleh karena itu, seiring dengan terus meluasnya jangkauan penggunaan media sosial, kekuasaan pemerintah kian tangguh dengan warga negara di bawah bayang-bayang rezim otoritarianisme (Sinpeng 2020).
Indonesia, di bawah bayang-bayang otoritarianisme digital, semakin memperlihatkan gelagatnya untuk kian memberikan pandangan suram terhadap nasib demokrasi. Warga negara tidak bebas sepenuhnya dan dipaksa untuk patuh kepada serangkaian hukum yang sebenarnya tidak kompatibel dengan asas demokrasi. Freedom House sebagai media yang melacak kategori kebebasan di dunia, terkhusus pada negara demokrasi, menyatakan skor hak politik dan kebebasan sipil di Indonesia kian menurun dari tahun 2017 hingga 2024. Indonesia masuk dalam kategori negara yang “bebas sebagian” disebabkan oleh pembatasan-pembatasan hak, baik individu maupun kelompok. Kondisi terkini Indonesia makin mengalami regresi demokrasi dengan rezim yang berupaya membatasi ruang-ruang sipil dengan menggunakan berbagai instrumen penindasan digital seperti pengawasan, penutupan internet, perang hukum, serta manipulasi daring dengan bantuan buzzer (Ufen 2024).
Contoh paling kentara adalah ketika kontestasi politik pemilihan presiden Indonesia sejak periode perseteruan Jokowi-Prabowo pada tahun 2014 dan 2019. Pengerahan buzzer secara masif sebagai agen-agen kampanye digital, ditugaskan untuk menciptakan propaganda di berbagai sosial media (Rakhmani, Inaya, dan Saraswati 2021; Sastramidjaja, Yatun, dan Wijayanto 2022). Misal, pernyataan praktisi sosial media, Jimmy Kabarel, bahwa peranan sosial media pada pemilihan presiden tahun 2014 meningkat pesat dibandingkan pada tahun 2009. Dengan bantuan buzzer dan akun robot yang didesain untuk mengangkat isu calon presiden yang didukung, topik trending mencuat tinggi di Twitter sehingga terjadi pencampuran topik yang sebenarnya dan yang by design.
Tidak hanya perihal kontestasi politik, kasus pelanggaran hak digital dengan pemblokiran dan pemutusan koneksi internet di Papua pada 30 April 2021 memiliki ketidakjelasan dan inkonsistensi pihak otoritas dalam memberikan keterangan mengenai penyebab kejadian tersebut. Inkonsistensi ini terletak pada perbedaan pernyataan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang menduga atas dasar faktor alam berupa pergeseran lapisan bumi di bawah laut, sedangkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan tidak ada gempa masif yang terjadi dalam dua bulan terakhir. Lebih-lebih lagi, Kominfo mengklaim bahwa jaringan internet telah pulih. Di sisi lain, Direktur Eksklusif SAFENet, Damar Juniarto, menunjukkan fakta sebaliknya bahwa koneksi internet di Papua belum pulih sepenuhnya. Dengan demikian, tindakan pihak otoritas yang inkonsisten ini justru berakibat pada terhambatnya kebebasan pers dan pemenuhan informasi bagi masyarakat, serta seretnya perekonomian yang menyusahkan warga Papua.
UU ITE menuai banyak kritik karena dijadikan sebagai instrumen pelanggaran digital dan memiliki pendefinisian tindak pidana yang samar. Terlebih pendefinisian mengenai pencemaran nama baik yang multitafsir, menyebabkan pihak otoritas sewenang-wenang untuk menjerat warga negara yang berisik ke dalam tindak pidana yang pelik. Penegak hukum yang bias memudahkan terlapor (baca: orang berkuasa) untuk menuntut pengkritik. Dalam banyak kasus, pelapor malah menjadi korban dan harus menanggung tuntutan yang menghabiskan tenaga, pikiran, waktu, dan pastinya biaya untuk pembelaan hukum yang pada dasarnya karet (Ufen 2024). Dengan demikian, pemanipulasian terhadap warga negara oleh rezim beranjak komprehensif.
Ide demokrasi semakin kabur dan mulai kehilangan esensinya bila, dalam implementasinya, segala bentuk kebebasan dalam mengungkapkan, menyatakan pendapat, atau kritik yang ditujukan kepada rezim, dianggap sebagai suatu ancaman yang menentang negara. Penerapan otoritarianisme digital oleh rezim dalam melaksanakan agenda mempertahankan kekuasaan, membuat rezim kian canggih merasuki tubuh demokrasi sehingga kewaspadaan atas kiat-kiat penyelewengan rezim perlu digalakkan. Demokrasi yang semakin suram, pada akhirnya, melahirkan penyempitan ruang kebebasan bagi masyarakat sipil, maraknya pengkriminalisasian warga negara, serta suara rakyat kian membisu semakin tak terelakkan.
Penulis: Singgih Haryo Sasongko
Penyunting: Nafiis Anshari
Illustrator: Selpha Nur Adinda
Daftar Pustaka
Curato, Nicole, dan Diego Fossati. 2020. “Authoritarian Innovations: Crafting support for a less democratic Southeast Asia.” Democratization 27 (6): 1006-1020.
Dahl, Robert A. 1971. Polyarchy: Participation and Opposition. New Haven: Yale University Press.
Dalmasso, Emanuela, Adele D. Sordi, Marlies Glasius, Nicole Hirt, Marcus Michaelsen, Abdulkader S. Mohammad, dan Dana Moss. 2018. “Intervention: Extraterritorial authoritarian power.” Political Geography 64:95-104.
Dragu, Tiberiu, dan Yonatan Lupu. 2021. “Digital authoritarianism and the future of human rights.” International Organization 75 (4): 991-1017.
Feldstein, Steven. 2021. The Rise of Digital Repression How Technology is Reshaping Power, Politics, and Resistance. N.p.: Oxford University Press.
Freedom House. 2024. “Indonesia: Freedom in the World 2024 Country Report.” Freedom House. https://freedomhouse.org/country/indonesia/freedom-world/2024.
Gerschewski, J. 2013. “The Three Pillars of Stability: Legitimation, Repression, and Co-Optation in Autocratic Regimes.” Democratization 20 (1): 13-38.
Glasius, Marlies. 2018. “What authoritarianism is… and is not: a practice perspective.” International affairs 94 (3): 515-533.
Khalil, Lydia. 2020. “Digital Authoritarianism, China and C0VID.” Lowy Institute for International Policy.
Kompas.com. 2014. “Fenomena “Buzzer” dan Akun Robot di Musim Pilpres.” https://nasional.kompas.com/read/2014/06/21/1315401/Fenomena.Buzzer.dan.Akun.Robot.di.Musim.Pilpres.
Lengsfeld, Jörn. 2019. Digital era framework. Bad Waldsee: Jörn Lengsfeld.
Levitsky, Steven, dan Lacan A. Way. 2002. “Elections without Democracy: The Rise of Competitive Authoritarianism.” Journal of Democracy 13 (2): 52.
Linz, Juan J. 2000. Totalitarian and Authoritarian Regimes. Boulder: Lynne Rienner Publishers.
Mechkova, Valeriya, Anna Lührmann, dan Staffan I. Lindberg. 2017. “How Much Democratic Backsliding?” Journal of Democracy 28 (4): 162-169.
Mergel, Ines, Noella Edelmann, dan Nathalie Haug. 2019. “Defining digital transformation: Results from expert interviews.” Government Information Quarterly 36 (4).
Mietzner, Marcus. 2019. “Authoritarian innovations in Indonesia: electoral narrowing, identity politics and executive illiberalism.” Democratization, 1-16.
Przeworski, Adam. 2019. “A Conceptual History of Political Regimes: Democracy, Dictatorship, and Authoritarianism.” In New Authoritarianism: Challenges to Democracy in the 21st Century, edited by Jerzy J. Wiatr, 17-36. N.p.: Verlag Barbara Budrich.
Rakhmani, Inaya, and Muninggar S. Saraswati. 2021. “Authoritarian Populism in Indonesia: The Role of the Political Campaign Industry in Engineering Consent and Coercion.” Journal of Current Southeast Asian Affairs 40 (3): 436-460.
Sastramidjaja, Yatun, and Wijayanto. 2022. “Cyber Troops, Online Manipulation of Public Opinion and Co-optation of Indonesia’s Cybersphere.” Trends in Southeast Asia 7.
Schlumberger, Oliver, Mirjam Edel, Ahmed Maati, and Koray Saglam. 2023. “How Authoritarianism Transforms: A Framework for the Study of Digital Dictatorship.” Government and Opposition, 1-23.
Sinpeng, Aim. 2020. “Digital media, political authoritarianism, and Internet controls in Southeast Asia.” Media, Culture & Society 42 (1): 25-39.
Tempo.co. 2024. “Perjalanan Kasus Lord Luhut hingga Haris Azhar dan Fatia Divonis Bebas | tempo.co.” Tempo.co. https://www.tempo.co/arsip/perjalanan-kasus-lord-luhut-hingga-haris-azhar-dan-fatia-divonis-bebas-99837.
Ufen, Andreas. 2024. “The Rise of Digital Repression in Indonesia under Joko Widodo.” GIGA Focus | ASIEN 1.
“UU No. 11 Tahun 2008.” t.t. Database Peraturan | JDIH BPK. Diakses 28 November 2024. https://peraturan.bpk.go.id/Download/26683/UU%20Nomor%2011%20Tahun%202008.pdf.
VOA Indonesia. 2021. “Jaringan Internet di Papua Putus, Kebebasan Pers dan Akses Informasi Terhambat.” https://www.voaindonesia.com/a/putusnya-jaringan-internet-di-jayapura-hambat-kebebasan-pers-hak-atas-informasi-/5901792.html.