Memiliki anak sesudah menikah telah dianggap sebagai suatu keharusan bagi perempuan. Ketika perempuan memutuskan untuk tidak memiliki anak, pandangan tersebut menjadi kontroversial dan memicu berbagai perdebatan. Namun, sudahkah kita melihat lebih jauh tentang penyebab perempuan memilih tidak memiliki anak?
Ada yang berubah di dunia perempuan belakangan ini. Semenjak tahun 1971, tingkat kelahiran total (Total Fertility Rate [TFR]) di Indonesia mulai mengarah pada titik rendahnya. Data tersebut menakrifkan pergeseran mendalam mengenai berkembangnya pola pikir dan pilihan hidup perempuan. Survei Sosial Ekonomi Nasional pada tahun 2022 menegaskan bahwa sekitar 8% perempuan berusia 15-49 tahun yang pernah menikah bertendensi memilih untuk tak memiliki anak. Artinya sekitar 71 ribu dari mereka, dengan segala macam bentuk latar belakang, menolak untuk hidup di dalam bayang-bayang peran ibu. Pendidikan yang kian tinggi dan diskursus perihal ekonomi pun andil menjadi dua faktor paling tajam yang mengilhami pilihan tersebut.Â
Gita Savitri, seorang influencer, turut hadir sebagai satu dari sedikit suara yang membuka diskusi baru perihal keputusan untuk tak memiliki anak. Dari ia-lah isu tersebut mulai memperoleh gema dan interpretasi segar di kalangan perempuan Indonesia. Suaranya telah memecah masyarakat menjadi dua kepala dengan penerimaan yang berbeda: sebagian tak setuju dan sebagiannya lagi cenderung terbuka (Pramesthi dan Dharma 2024). Pilihan atas childfree kemudian menjelma dari sesuatu yang pada awalnya sebuah keterasinganâkeputusan personal yang terpinggirkanâmenjadi sebuah isu pelik yang tak hanya menyoal tentang âpilihanâ.Â
Childfree dalam Makna
Istilah childfree, pada mulanya, muncul dan menyeruak pada awal tahun 1970-an, utamanya di Eropa Barat Laut. Fenomena tersebut lambat laun mulai berkembang, lantas tampil sebagai sebuah tren lantaran maraknya penggunaan alat kontrasepsi, gerakan feminisme gelombang kedua, dan pendidikan tinggi pada perempuan yang menjadikan mereka terdorong untuk berkarir. Istilah ini kemudian meluas dari Eropa dan menemukan esensinya di benua-benua lain. Di beberapa negara Asia seperti Jepang, childfree sudah ada sejak 20 tahun terakhir, sedangkan di Indonesia, childfree mulai merebak pada tahun 2020. Rilis awal studi mengenai childfree mulanya mencoba membingkai istilah tersebut sebagai sebuah bentuk penyimpangan. Namun, seusai studi lain tentang kebebasan berkembang dan muncul jurnal ilmiah di berbagai bidang, topik ini kemudian menjadi cukup komprehensif dan mulai didiskusikan oleh publik (Ramdani dan Kurniawan 2023).
 Pembahasan mengenai awal mula keputusan childfree sejatinya tak lepas dari perjalanan perempuan dalam memandang tubuhnya sebagai hak yang penuh. Oleh sebabnya, pilihan untuk tak memiliki anak kemudian muncul sebagai sebuah preferensi baru di kalangan perempuanâterutama mereka yang telah merasai kebebasan dan kesempatan. Keputusan ini adalah sesuatu yang baru dalam bentang panjang sejarah manusia. Ketika perempuan memiliki kendali atas hidup dan keuangan mereka, desakan untuk melanjutkan keturunan kini menjelma dalam bentuk yang justru lebih luas. Alih-alih berinvestasi pada keluarga dan anak, mereka yang hidup di tengah peluang modernitas memilih untuk melabuhkan jejak mereka melalui hal-hal yang tak hanya biologis (Aarssen dan Altman 2006). Semenjak adanya kesadaran mengenai konflik struktural ketika menggabungkan antara peran ibu dengan pilihan untuk bekerja, perempuan mendapati bahwa jalan hidup menuju kebahagiaan ternyata tak digambarkan dengan menggenapi harapan sebagai ibu. Justru, ia hadir pada kebebasan untuk mengisi diriâtempat pendidikan, karir, dan cita-cita pribadi muncul sebagai pilihan-pilihan yang sama sahnya (Lee dan Gramotnev 2006).
Kendati fenomena tersebut semakin berkembang, pilihan untuk childfree cenderung masih sulit diterima dalam kalangan masyarakat Indonesia. Berdasarkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Indonesia mengalami tren penurunan TFR, berada di level 2,14 pada tahun 2023. Meskipun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Indonesia menargetkan penurunan TFR di angka 2,1âangka ideal untuk Penduduk Tumbuh Seimbangâpada tahun 2024, kecenderungan atas pilihan childfree lambat laun tentunya akan memengaruhi demografi negara. Stereotip kemudian berkembang di dalam tubuh masyarakat mengenai childfree sebagai bentuk keegoisan dan penolakan perempuan atas kodrat merekaâpencipta generasi (Ramdani dan Kurniawan 2023). Olehnya, keputusan untuk childfree tak lagi hanya ditilik sebagai sebuah konversasi atas kapabilitas untuk âmemilihâ, melainkan sebuah masalah pelik; yang salah duanya terbangun dari budaya dan negara yang mengatur peran reproduktif perempuan.Â
Ibuisme sebagai Alat Kontrol Negara
Di tengah wacana childfree yang menawarkan kebebasan perempuan atas tubuh dan pilihan hidupnya, ideologi ibuisme negara hadir sebagai konstruksi sosial yang justru membatasi ruang gerak perempuan dalam mendefinisikan peran mereka sendiri. Di Indonesia, ibuisme negara merupakan konsep yang mengkonstruksikan peran perempuan sebagai ibu dan istri yang ideal oleh negara. Selama masa Orde Baru, ideologi ini muncul dalam bentuk kebijakan sosial yang menempatkan perempuan di peran reproduktif dan domestik yang erat kaitannya dengan pengasuhan anak dan pengelolaan rumah tangga (Suryakusuma 1988). Negara mendorong perempuan untuk menjalankan peran-peran ini melalui beragam kebijakan yang memperkuat nilai-nilai keluarga tradisional dan, secara tidak langsung, mengekang kebebasan perempuan dalam membuat keputusan terkait tubuh dan hidup mereka sendiri.
Cikal bakal ibuisme negara ini berasal dari istilah housewifization yang dikemukakan oleh Maria Mies. Ia mengaitkan hubungan produksi dengan ideologi gender serta gagasan tentang kerja produktif dan reproduksi. Mies mendefinisikan housewifization sebagai sebuah proses tempat perempuan secara sosial dianggap sebagai ibu rumah tangga yang bergantung pada pendapatan suami, terlepas mereka menjadi ibu rumah tangga atau tidak (Suryakusuma 1988). Pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan di dalam rumah dianggap âgratisâ, padahal sebenarnya pekerjaan yang mereka lakukan sangat penting bagi proses kapitalisme. Laki-laki bebas menjual tenaga kerjanya sebagai akibat dari ketidakbebasan ibu rumah tangga. Dengan demikian, masuknya laki-laki ke dalam sistem kerja upahan didasarkan pada housewifization perempuan (Mies 1986). Konsep ini, ketika diadopsi dalam kebijakan negara, menegaskan bahwa seorang perempuan ideal adalah seorang istri sekaligus ibu yang bertanggung jawab atas kebutuhan keluarga dan negaranya.
Negara menggunakan ideologi ini untuk membatasi peran perempuan di bidang sosial, politik, dan ekonomi dengan mendefinisikan mereka sebagai âistriâ. Kondisi ini menciptakan budaya âikut suamiâ yang terorganisir secara nyata dalam organisasi istri pegawai negeri sipil, yaitu Dharma Wanita (Suryakusuma 1988). Sebelumnya, peran perempuan tidak dipahami secara sempit dalam tugas domestik belaka, melainkan mencakup dalam ranah bangsa, negara, dan masyarakat. Seiring berjalannya waktu, peran tersebut didefinisikan ulang, baik oleh pemerintah maupun organisasi-organisasi perempuan (Amini 2021). Peranan perempuan kini tidak hanya ditujukan untuk bangsa dan negara, melainkan juga difokuskan pada urusan domestik dalam rumah tangga.
Dalam ibuisme negara, perempuan berperan sebagai inti keluarga sekaligus pengemban norma-norma masyarakat sehingga konsep ini mengakui adanya âperan gandaâ yang ditujukan kepada perempuan (Suryakusuma 1988). Hal ini menunjukkan bahwa negara tidak hanya mengatur peran perempuan di ranah domestik, tetapi juga menjadikannya alat pendukung dalam agenda pembangunan nasional. Dukungan terhadap gagasan tersebut terlihat dalam satu kebijakan negara yang mengatur reproduksi sosial masyarakat, yaitu program Keluarga Berencana (KB). Dalam UU No.52 tahun 2009 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga, program KB adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas.
Kebijakan seperti program KB sebenarnya adalah alat kontrol negara dalam menentukan jumlah anak dan peran perempuan dalam reproduksi. Perempuan diorientasikan untuk melahirkan dan merawat generasi yang âidealâ sesuai dengan kebutuhan negara (Suryakusuma 1988). Kebijakan yang menguatkan peran perempuan sebagai ibu secara implisit menciptakan stigma terhadap perempuan yang memilih untuk tidak memiliki anak atau childfree. Perempuan yang memilih childfree dianggap tidak memenuhi kodratnya dan tidak berperan dalam kemajuan bangsa. Dalam konteks ini, ibuisme negara tidak hanya menjadi kerangka yang mengatur fungsi reproduksi perempuan, tetapi juga membentuk nilai-nilai sosial yang mendiskriminasi pilihan hidup yang berbeda.
Perempuan yang Dipandang Sebelah Mata
Di samping itu, nyatanya, keputusan perempuan untuk memilih childfree merupakan konsekuensi dari kondisi sosial-politik kontemporer yang eksploitatif. Selain norma dan ideologi negara yang merasuk dalam akal sadar masyarakat, sistem kapitalisme pun turut menunjang keberlanjutan dari penindasan terhadap perempuan (Malik 2024). Perempuan turut dibebani oleh kondisi yang memaksanya andil dalam produksi ekonomi, selain tuntutan untuk memenuhi tanggungan reproduksi sosial.Â
Nancy Fraser dalam Contradictions of Capital and Care (2016) mengonstruksi relasi antara reproduksi sosial dan produksi ekonomi. Pada relasi ini, kapitalisme yang membutuhkan keberlanjutan produksi ekonomi justru menghadirkan kontradiksi pada praktiknya dengan tidak menjamin kesejahteraan sosial. Perempuan diposisikan sebagai objek yang melanggengkan reproduksi sosial.
Apabila ditinjau secara historis, peran perempuan dalam kaitannya dengan kapitalisme bukanlah sesuatu yang baru. Fraser (2016) mengkategorisasi relasi reproduksi sosial dan ekonomi dalam tiga babak: liberal competitive capitalism; state-managed capitalism; dan globalizing financialized capitalism. Ketiga tahap kapitalisme ini dimulai pada abad ke-19, kemudian berlanjut pada abad ke-20, dan berlangsung pada saat ini di abad ke-21.
Ketiga babak kapitalisme berdampak berbeda bagi perempuan secara ekonomi dan sosial. Pertama, liberal competitive capitalism merupakan tahap kapitalisme pada abad ke-19, ketika perempuan dikondisikan untuk berada pada ranah privatâmengurusi pekerjaan domestik seperti reproduksi sosialâsehingga menciptakan keterasingan terhadap ranah publik yang berurusan dengan produksi ekonomi. Hasilnya, terjadi kecemasan dan kekhawatiran bagi perempuan yang mengalami kesulitan ekonomi maupun menghadapi sentimen status sosial karena keterbatasan akses untuk memenuhi kesejahteraan hidup. Kedua, state-managed capitalism menjadi tahap kedua kapitalisme, tepatnya pada abad ke-20 ketika negara dan perusahaan berkonsolidasi untuk menyediakan program jaminan sosial. Nyatanya, terjadi peningkatan konsumsi demi menunjang produktivitas dan profit. Beberapa komoditas menjadi sulit diakses. Kondisi ini membuat perempuan mengalami transisi peran: sebagai ibu yang merangkap pekerja, sekaligus membuat mereka mengalami krisis kesejahteraan. Imbasnya, terdapat gejolak pertentangan dari pergerakan emansipasi dan terjadi stagflasi. Akhirnya, pada abad ke-21 ini, globalizing financialized capitalism sebagai kelanjutan dari tahap kapitalisme sebelumnya menjadi alternatif terhadap arus globalisasi dengan diusungnya ekonomi neoliberal. Tak jauh berbeda, perempuan pada tahap ini berhadapan dengan keadaan ekonomi yang mengutamakan persaingan pasar; mengutamakan profit dengan upah yang kurang layak terhadap pekerja (Fraser 2016). Pada masa kini, kapitalisme telah menciptakan stigmatisasi tentang âreproduksi yang mahalâ.
Bagi Fraser (1998), ketidakadilan terhadap perempuan berkaitan pula dengan distribusi dan pengakuan. Ketidakadilan gender terbentuk karena dua faktor: distribusi yang terkait dengan aspek ekonomi dan pengakuan yang dibentuk oleh aspek sosial-kultural. Pada perspektif distribusi, gender adalah prinsip dasar struktur ekonomi masyarakat. Latar belakang gender membuat hierarki di masyarakat berdasarkan tingkat penghasilan. Pada masyarakat patriarkis, karena identitas gendernya, perempuan mendapat biaya upah yang lebih rendah dari laki-laki dan kesulitan akses ekonomi untuk meningkatkan kapasitas dirinya agar mampu setara dengan laki-laki. Struktur ekonomi berdasarkan gender menentukan spesifikasi tingkat penghasilan yang diterima oleh individu; distribusi ekonomi berorientasi kepada identitas gender.Â
Di sisi lain, adanya pengakuan yang diterima individu karena diferensiasi status oleh kondisi sosial-kultural menyebabkan ketidakadilan gender. Sebab utamanya adalah androsentrisme, yaitu konstruksi norma yang memberi privilese pada nilai maskulin dan mendegradasi nilai feminin. Ketika terinstitusionalisasi dalam norma masyarakat, stereotipe androsentrisme membuat pengakuan terhadap identitas gender bergantung kepada norma sosial kemasyarakatan yang direkognisi oleh perbedaan status gender (Fraser 1998).Â
Kontekstualisasi relasi antara kapitalisme dengan childfree terlihat jelas. Untuk meningkatkan produksi ekonomi, kapitalisme membutuhkan reproduksi sosial yang diemban oleh perempuan. Tetapi, seiring kapitalisme berkembang pesat, kesejahteraan sosial khususnya kepada perempuan tidak turut terpenuhi. Status perempuan teralienasi secara ekonomi dan kultural. Atas dasar tersebut, perempuan terpinggirkan karena tidak mendapat akses terhadap distribusi ekonomi dan pengakuan sosial yang adil dan setara (Fraser 1998). Perempuan mengalami kesulitan untuk mendapat distribusi ekonomi yang layak melalui penghasilannya sebagai pekerja dan pengakuan sosial dari masyarakat yang didominasi oleh androsentrisme. Keadaan ini mendorong perempuan untuk turut bekerja sembari bereproduksi, sedangkan institusi dan struktur yang adaânegara, masyarakat, perusahaanâtidak memberikan jaminan sosial serta akses yang adil dan setara terhadap perempuan.Â
Di tengah kekangan tersebut, bagi perempuan, childfree menjadi keputusan otonom untuk menentukan pilihan hidupnya. Keputusan untuk childfree, apabila dilihat secara lebih luas, dipengaruhi oleh berbagai kondisi struktural yang terjadi. Dengan demikian, pengambilan keputusan childfree oleh perempuan menjadi salah satu respons nyata atas keadaan yang menimpa mereka.
Penulis: Zahwa Amallia, Regita Syalwa, dan Ilham P. Lazuardhi (Magang)
Penyunting: Giovanni Ramadhani
Ilustrator: Nico Setiawan (Magang)
Daftar Pustaka
Aarssen, Leonni W., dan Altman Stephanie T. 2006. âExplaining Below-Replacement Fertility and Increasing Childlessness in Wealthy Countries: Legacy Drive and the âTransmission Competitionâ Hypothesis.â Evolutionarily Psychology 4 (1): 290-302.
Amini, Mutiah. 2021. Sejarah Organisasi Perempuan Indonesia: 1928-1998. UGM PRESS.
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan. 2024. Laporan Kependudukan Indonesia. Jakarta: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.
Direktorat Analisis dan Pengembangan Statistik. 2023. DATAin: Menelusuri Jejak Childfree di Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Fraser, Nancy. 1998. Social justice in the age of identity politics: Redistribution, recognition, participation. WZB Discussion Paper, No. FS I 98-108. Wissenschaftszentrum Berlin fĂŒr Sozialforschung (WZB), Berlin. https://ideas.repec.org/p/zbw/wzboem/fsi98108.htmlÂ
Fraser, Nancy. 2016. Contradictions of Capital and Care. New Left Review, no. 100. https://newleftreview.org/issues/ii100/articles/nancy-fraser-contradictions-of-capital-and-care.Â
Lee, Christina, dan Helen Gramotnev. 2006. âMotherhood Plans among Young Australian Women: Who Wants Children These Days?â Journal of Health Psychology 11 (1): 5-20. 10.1177/1359105306058838
Pramesti, Sonia Indah., Dharma, Ferry Adhi. âGita Savitri and Childfree Movement on Social Media: New Study of the Instagram Account @Gitasav.â Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. http://dx.doi.org/10.21070/ups.5507Â
Malik, Nesrine. 2024. The rightâs obsession with childless women isnât just about ideology: itâs essential to the capitalist machine. The Guardian. https://www.theguardian.com/commentisfree/article/2024/sep/02/jd-vance-childless-women-kamala-harrisÂ
Mies, Maria. 1986. Patriarchy and Accumulation on a World Scale: Women in the International Division of Labour. Zed Books.
Ramdani, Rizki., Kurniawan, Rahmad Risqi. 2023. âFenomena Childfree di Tengah Masyarakat.â Ulumul Qurâan: Jurnal Ilmu Al-Quran dan Tafsir. https://osf.io/b89w3/download
Suryakusuma, Julia I. (1988) 2011. Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru. Komunitas Bambu.
Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.