Pada Jumat (29-11), Indonesian Institute of Journalism (IIJ) bekerjasama dengan Envmission, perusahaan rintisan bidang mitigasi perubahan iklim, mengadakan diskusi daring melalui media Zoom yang bertajuk “Food Waste, Inisiatif Pelaku Usaha dan Program Makan Bergizi Gratis”. Diskusi ini membahas lebih dalam mengenai pengelolaan limbah makanan termasuk dari sudut pandang pelaku usaha dan regulasinya yang juga disiarkan di kanal Youtube IIJ. Diskusi ini menghadirkan tiga narasumber, yakni Pegita Yuni Adittya sebagai pelaku usaha Kopi Tuku, Gusti Raganata sebagai aktivis lingkungan Envmission, dan Maulana Yusran sebagai perwakilan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI).
Diskusi dimulai dengan pemaparan dari Gusti Raganata, direktur operasional Envmission, mengenai urgensi penanganan food waste di Indonesia. Ia memaparkan data dari SeaAsia dan GoodStats Indonesia, Indonesia menyumbang hampir 20 juta ton per tahun limbah makanan dengan proporsi 40% dari total limbah yang masuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Menurut Gusti, penanganan limbah makanan juga dinilai belum memadai dibanding jenis sampah yang lain. “Nah, ini sisa makanan kemana? Ini yang selalu jadi pertanyaan untuk sampah organik sehingga belum banyak sebenarnya masyarakat yang mengelola limbah organik,” ujar Gusti.
Selanjutnya, Gusti memaparkan mengenai jumlah pangan yang terbuang di Indonesia, pada tahun 2019 ada 54 juta ton yang terbuang dan terproyeksikan akan meningkat sebesar 88,6% pada tahun 2030. Peningkatan sampah organik ini akan berdampak pada peningkatan gas rumah kaca yang mengakibatkan perubahan iklim. Bahkan, Gusti menegaskan bahwa saat ini sektor limbah menjadi penyumbang emisi metana terbesar di Indonesia, melebihi sektor industri dan energi. “Jadi, kalau masih ada yang suka buang-buang makanan dan sering mengeluh hari ini semakin panas, ya sebenarnya penyebabnya bisa jadi kita sendiri,” terang Gusti.
Sekretaris Jenderal PHRI, Maulana Yusran ikut menambahkan penjelasan atas perkembangan industri pariwisata dan peningkatan sampah organik. Ia menuturkan bahwa peningkatan aktivitas hotel dan restoran dalam pariwisata berimplikasi pada pertambahan volume sampah organik di destinasi wisata. Sejauh ini, PHRI Kota Semarang sudah melakukan pengolahan limbah makanan di sektor pariwisata dengan mendonasikan kelebihan sarapan di perhotelan kepada masyarakat yang membutuhkan. “Ini [pengolahan limbah makanan-red] menjadi nilai ekonomi yang baru, jadi enggak akan rugi mereka para pelaku usaha hotel dan restoran,” tegas Yusran.
Tak luput, Yusran juga mengkritisi pemerintah yang belum menyediakan infrastruktur pengelolaan sampah makanan yang memadai pada bidang pariwisata. Ia menyoroti pemerintah yang minim inovasi dalam pengelolaan tempat pembuangan akhir. Ia menekankan andil pemerintah dalam melakukan pengelolaan sampah. “Pemerintah sebagai regulator wajib menyediakan fasilitas pelayanan [pengelolaan sampah makanan-red],” ungkap Yusran.
Terakhir, Yusran menyampaikan terkait peran pemerintah pusat agar bisa mendorong pemerintah daerah yang memiliki keterbatasan pengelolaan TPA. Ia menyarankan melalui pemanfaatan teknologi sehingga sampah dapat diubah menjadi nilai ekonomi dan bahan yang tidak berbahaya bagi lingkungan. Yusran menyadari bahwa regulasi dari pemerintah pusat seharusnya tegas agar tidak terjadi pemberian tip ganda ataupun pungutan liar kedepannya. “Itu yang lucunya itu double tipping, Mbak, yang jadi high-cost economy,” tegasnya sebelum menutup pembicaraan.
Sayangnya, Dadan Hindayana, selaku kepala Badan Gizi Nasional tidak menghadiri diskusi daring ini, sehingga kesiapan pemerintah untuk mengelola limbah makanan dari program makan bergizi gratis patut dipertanyakan. Padahal, menurut pemaparan Gusti, program makan bergizi gratis ini berpotensi memberikan dampak kenaikan limbah makanan sebesar 10-25%. Data ini diambil dari beberapa negara yang sudah melaksanakan program serupa seperti Amerika Serikat, India, dan Uni Eropa. “Nah, ini sangat penting untuk mencegah kenaikan yang signifikan, karena [lonjakan limbah makanan-red] sudah pasti tidak bisa dihindari,” sesal Gusti saat memberi tanggapan atas program makan bergizi gratis di Indonesia.
Penulis: Sulthan Zidan, Syahla Nurkhaifa, Falinkha Varally (Magang)
Penyunting: Muhammad Fariz Ardan
Ilustrator: Navia Shofinaim (Magang)