Akademi Prestasi bersama Himpunan Mahasiswa Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga mengadakan diskusi bedah buku secara daring pada Sabtu (16-11). Diskusi yang dilaksanakan melalui Zoom ini membahas novel Dari Dalam Kubur karya Soe Tjen Marching. Menghadirkan langsung penulis novel, acara ini juga mengajak peserta untuk mendiskusikan fakta-fakta tersembunyi seputar peristiwa Gerakan 30 September (G30S) dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) sebagai latar cerita dalam novel.
Diskusi diawali dengan penjelasan Soe Tjen mengenai banyaknya fakta sejarah yang keliru. Ia menyebutkan bahwa sejarah pembunuhan para jenderal dalam G30S versi Orde Baru (Orba) lekat dengan tragedi penyiksaan. Menurut Soe Tjen, sejarah versi Orba membuat narasi para jenderal yang disiksa hingga dipotong kemaluannya oleh anggota Gerwani. “Visum dokter menyatakan tidak ada penyiksaan sama sekali sebab para jenderal ini dibunuh dengan ditembak dari belakang. Hingga kini masih belum diketahui siapa sebenarnya yang membunuh mereka,” jelasnya.
Lebih lanjut, Soe Tjen menyatakan bahwa pemerintah Orba menutupi fakta dibalik peristiwa G30S karena mereka merupakan bagian dari rencana yang diatur oleh Badan Intelijen Pusat (CIA) Amerika, bekerja sama dengan Inggris dan Australia. Ia menyebutkan bahwa fakta ini muncul ketika sistem deklasifikasi Amerika pada tahun 2015 menuntut negara tersebut membuka dokumen rahasia berusia 50 tahun yang terhitung sejak 1965. “Tiga ribu dokumentasi dibuka dan diketahui dari situ bahwa ada surat-menyurat antara CIA dan TNI untuk merencanakan dengan jelas keterlibatan dalam genosida 65,” jelas Soe Tjen.
Tak hanya itu, ketika dokumen rahasia dibuka, Soe Tjen tidak menemukan surat perintah yang ditandatangani Soeharto untuk menumpas PKI. Padahal, menurutnya, seharusnya ada penjelasan dan pertanggungjawaban jika ada dokumen yang hilang. “Surat perintah yang sangat penting ini hilang tanpa penjelasan atau tanggung jawab,” ungkap Soe Tjen.
Bayang-bayang atas ancaman penutupan informasi oleh pemerintah saat itu membuat pihak-pihak yang dituduhkan tidak berani bersuara. Soe Tjen turut bercerita bahwa inspirasinya dalam menulis Dari Dalam Kubur datang dari kisah nyata seorang perempuan yang dituduh sebagai anggota Gerwani. Meskipun peristiwa tersebut sudah tertinggal lama, tetapi korban masih merasa malu dan tidak aman untuk membeberkan kisahnya sehingga meminta agar identitasnya disamarkan. “Seharusnya dia nggak perlu merasa malu. Yang seharusnya malu itu mereka yang berbuat jahat, bukan dia. Tapi kenyataannya justru kebalikannya,” sesal Soe Tjen.
Bersamaan dengan itu, Soe Tjen menganggap bahwa cerita fiksi yang dibalut dengan gaya sastra dapat membantu dalam menjelaskan fakta sejarah yang tidak didapatkan dalam buku pelajaran sekolah. Baginya, pihak yang dirugikan dapat bercerita lebih jujur dalam karya fiksi karena identitasnya tidak diketahui. “Inilah pentingnya karya fiksi, hal-hal yang sulit diungkap dalam kenyataan bisa ditemukan dalam cerita fiksi,” jelas Soe Tjen.
Penulis: Hanel Aulia Afro dan Muhammad Iqbal (Magang)
Penyunting: Rajwa Aqilah
Ilustrator: Kalangwan Inggil Jati (Magang)