Sterilisasi kawasan Bong Suwung oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daop 6 Yogyakarta masih menimbulkan persoalan yang tak kunjung rampung. “Untuk meratakan dan mensterilisasikan lokasi tersebut ternyata banyak hal yang belum selesai, termasuk kelompok rentan. Hanya beberapa yang difasilitasi oleh pemerintah dan masih banyak yang belum ter-backup,” ucap Joko Hadi Purnomo, Direktur Yayasan Vesta Indonesia. Hal tersebut ia ungkapkan dalam audiensi yang mempertemukan Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Aliansi Bong Suwung, pihak advokasi, dan berbagai LSM di Ingkung Grobog pada Jumat (04-10). Audiensi ini diharapkan dapat menjadi titik diskusi dan kolaborasi dalam pemberdayaan serta perlindungan kelompok rentan yang terdampak sterilisasi kawasan Bong Suwung.
Dalam diskusi ini, Restu selaku kuasa hukum Aliansi Bong Suwung menyampaikan keprihatinannya terkait kondisi terkini warga Bong Suwung dan kesulitan para aktivis dalam mengawal kelompok rentan yang terdampak. Hingga saat ini, masih banyak warga yang tidak punya tempat tinggal dan kehilangan mata pencaharian mereka. Berbagai LSM seperti PKBI, Yayasan Vesta, dan sejumlah lainnya sudah memperjuangkan mulai dari pengawalan di lapangan, mitigasi risiko, penyediaan shelter dan logistik, hingga penggalangan dana untuk warga Bong Suwung. Namun, solusi yang pasti dan merata dari pemerintah tidak kunjung datang. “Sebelumnya kami sudah menempuh untuk mencari solusi bersama, memitigasi risiko dan segala macam, tetapi sampai sekarang belum ada tindakan konkret dari pemerintah,” ucap Restu.
Angga, salah satu anggota Aliansi Bong Suwung, mempertanyakan kinerja Pemerintah Kota Yogyakarta yang terkesan sembrono dalam merencanakan sterilisasi kawasan Bong Suwung. Meskipun telah menginisiasi audiensi berkali-kali, ia menyebutkan bahwa warga yang terdampak tak kunjung mendapatkan tindakan konkret dari pemerintah. Padahal, menurut Angga, persoalan sterilisasi Bong Suwung sudah direncanakan sedari tahun 2010. Namun, kesiapan pemerintah dalam memitigasi dampak sterilisasi masih belum tampak hilalnya. “Bukan waktu yang sebentar untuk pemerintah merumuskan rencana dan identifikasi masalah yang akan lahir dari rencana [sterilisasi-red] tersebut, tapi sampai hari ini gak ketemu. Bahkan ini baru mau asesmen,” ujar Angga.
Menanggapi Angga, Agus Salim selaku Kepala Bidang Pemerintahan dan Pembangunan Manusia Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Yogyakarta mengatakan bahwa skema mitigasi untuk persoalan sterilisasi Bong Suwung sudah direncanakan. Akan tetapi, prosesnya panjang karena terkendala urusan-urusan administrasi. “Kita punya skema intervensi rumah layak huni, mekanismenya melalui asesmen tadi. Kita bekerja berdasarkan rule of the game, sehingga ada syarat secara regulasi,” jelas Agus. Ia menambahkan bahwa hanya korban yang memiliki KTP Yogyakarta saja yang dapat dibantu dengan anggaran pemerintah daerah. Sementara itu, korban dengan KTP luar Yogyakarta akan dicarikan bantuan dari pihak lain.
Salah satu masalah yang sangat mendesak saat ini adalah pekerja seks setempat yang dilaporkan reaktif HIV/AIDS dan kini terpencar di berbagai titik. Menurut laporan dari Yayasan Victory Plus Yogyakarta, terdapat 84 pekerja seks langsung dan 76 pekerja seks tidak langsung yang sudah terinfeksi HIV di wilayah Yogyakarta. Namun, karena intervensi yang lamban saat ini, penyebarannya sudah tidak bisa dikontrol oleh dinas kesehatan. “Sebenarnya kami juga mendata mereka ada di mana, tetapi kami tidak bisa memastikan satu per satu apakah mereka sudah rutin untuk mengambil obat dan lain sebagainya,” keluh Ana, anggota Aliansi Bong Suwung. Ia juga menambahkan bahwa para pekerja seks ini belum menerima pertanggungjawaban apapun dari PT KAI.
Lebih lanjut, Agus juga memberikan jawaban terkait intervensi pemerintah terhadap pekerja seks yang kehilangan akses ke ruang kerjanya. Ia menyebutkan skema pemberdayaan menjadi salah satu opsi untuk menanggulangi permasalahan tersebut. Akan tetapi, menurutnya skema tersebut tidak dapat diberikan pada semua orang. “Tidak bisa semua orang diberikan modal, tidak bisa semua orang dilatih,” ucap Agus.
Masalah yang terjadi tidak berhenti di situ. Joko menyatakan bahwa masih banyak pihak rentan yang tidak disorot dalam penggusuran ini, terutama oleh dinas sosial. Mulai dari populasi Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial hingga anak-anak yang putus sekolah. Warga yang menerima ganti rugi hanya mereka yang memiliki bangunan, sementara warga tidak tetap seperti penghuni kos dan pekerja seks tidak diakomodasi PT KAI. Mereka yang terlibat dalam mengusahakan kebutuhan warga bahkan tidak difasilitasi aktivitasnya. “PT KAI ini hanya melirik ganti rugi bangunan dan jalan,” ucap Joko.
Penulis: Anggita Septiana dan Nasywa Aulia Syah Raudhatul Jannah
Penyunting: Cahya Saputra
Ilustrator: Nabillah Faisal