Bedah buku Mozaik Rupa Agraria, Reforma Agraria Inklusif, dan Reforma Agraria Ekologis yang dilaksanakan oleh Sekolah Tinggi Pertanahan Negara dan Institute for Research and Empowerment (IRE) mengangkat tajuk “Inklusi Agraria: Mendekatkan Pengetahuan, Meningkatkan Pemenuhan Hak Kelompok Rentan”. Acara yang diselenggarakan di Joglo Winasis, Rabu (31-07), ini menghadirkan Muhammad ‘Nanang’ Haryanto, salah satu penulis dalam buku Mozaik Rupa Agraria; Purwanti, perwakilan Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel; Ro’fah, peneliti dari Pusat Studi Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga; serta Dinda Ahlul Latifah, peneliti dari IRE Yogyakarta. Diskusi ini mengupas reformasi agraria melalui pembaruan penataan aset dan akses sumber-sumber agraria untuk kesejahteraan rakyat yang tidak berpihak pada kelompok rentan dan aspek ekologis.
Nanang mengawali diskusi dengan memaparkan realita yang dihadapi para penyandang disabilitas dalam memperoleh haknya atas kepemilikan tanah. Sebagai disabilitas netra, ia menyayangkan belum adanya kematangan pemenuhan aksesibilitas sertifikat tanah bagi para disabilitas netra. “Harapnya sertifikat tanah bentuk digital dapat tersusun dengan baik agar mesin pembaca layar dapat membacanya dengan runtut,” ungkapnya. Nanang menceritakan bahwa tabel dan gambar dalam sertifikat digital tidak dapat terbaca oleh mesin pembaca sehingga ia tak dapat sepenuhnya memahami sertifikat tersebut. Ia menegaskan bahwa negara harus memfasilitasi penyandang disabilitas intelektual dan disabilitas ganda dalam mendapatkan perlindungan serta pendampingan atas hak tanahnya.
Ro’fah menceritakan perebutan hak tanah salah satu disabilitas asal Lombok. Ia kehilangan hak atas aset dan tanahnya setelah suaminya meninggal. Hal ini dikarenakan tidak adanya pendampingan dan perlindungan dari pemerintah. “Dia tidak punya status hukum, akta rumahnya itu atas nama suaminya sehingga ia tidak punya hak atas rumah,” tegas Ro’fah.
Melanjutkan Ro’fah, Purwanti menyebutkan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak memperoleh aset atas tanah yang secara sah diakui dalam banyak perundang-undangan. Walau begitu, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tetap menganggap penyandang disabilitas sebagai individu yang tidak memiliki kecakapan hukum sehingga harus mendapatkan pengampuan keluarga. Bagi Purwanti, hal ini menjadi salah satu faktor penyebab mereka sering kali kehilangan hak atas kepemilikan aset. “[Mereka-red] tidak bisa mengambil keputusan apa pun, tidak bisa menyatakan apa pun karena hak diberikan kepada pengampunya,” jelas Purwanti.
Sepakat dengan Purwanti, Ro’fah mengungkapkan bahwa ia sering menemui kasus terkait hak kepemilikan aset dan tanah yang belum berpihak pada penyandang disabilitas. Menurutnya ada dua hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah hal tersebut. “Pertama, memastikan aksesibilitas program pemanfaatan lahan, yang kedua adalah menargetkan disabilitas secara spesifik,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Ro’fah menegaskan perguruan tinggi memiliki peran dalam pengembangan pemahaman akan inklusivitas. Misalnya, menjadikan isu disabilitas sebagai tema riset atau memberikan kesempatan kepada anak disabilitas untuk ikut berbaur dan belajar bersama dengan kurikulum yang memadai. “Nah coba dilihat, apakah sekolah-sekolah sudah ada? Penting untuk memasukan isu disabilitas” tegas Ro’fah.
Menyinggung dari sudut pandang ekologi, Ahlul menjelaskan bahwa upaya reformasi agraria masih belum memperhatikan kelompok rentan seperti komunitas masyarakat desa. Ia melanjutkan, pemberdayaan penataan akses masih berorientasi pada pemberdayaan ekonomi alih-alih fokus terhadap sosial budaya. Masyarakat desa sering ditempatkan sebagai penerima manfaat saja, bukan subjek aktif yang memiliki suara. “Pembangunan berkelanjutan masih isu gimmick semata, tapi tidak dicek kembali relasi masyarakat sebagai subjek,” tutur Ahlul.
Penulis: Anggita Septiana
Penyunting: Siti Fatria Pelu
Fotografer: Alfiana Rosyidah