Pada Kamis (25-07), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengadakan konferensi pers terkait kriminalisasi Meila Nurul sebagai pendamping 30 korban kekerasan seksual. Konferensi pers ini bertempat di Gedung YLBHI, Jakarta Pusat, dan disiarkan langsung melalui kanal YouTube YLBHI. Sejumlah lembaga, mulai dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Forum Pengada Layanan bagi Perempuan Korban Kekerasan (FPL), Amnesty Internasional, hingga Jaringan Perempuan Yogyakarta turut menyumbang perwakilan sebagai pembicara dalam konferensi ini.
Julian Duwi, Direktur LBH Yogyakarta, mengungkap kilas balik kasus ini. Pada tahun 2020, Meila dilaporkan atas tindakan pencemaran nama baik ke Kepolisian Daerah (Polda) Provinsi Yogyakarta oleh Ibrahim Malik, terduga pelaku tindak kekerasan seksual dari 30 korban. Julian lalu menyebutkan bahwa dalam prosesnya, lembaganya telah mengonfirmasi kepada kepolisian terkait adanya tindakan kekerasan seksual. Kendati demikian, LBH Yogyakarta tidak menyanggupi ketika kepolisian tiga kali menagih data identitas korban. “Kami tidak bisa memberikan karena harus menjaga kerahasiaan data korban,” papar Julian. Namun, pada Rabu (24-06), Meila justru ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Provinsi Yogyakarta.
“Kepolisian tidak berpihak pada korban dan melecehkan profesi advokat,” sebut Dimas Bagus, Koordinator KontraS. Menurutnya hal ini berakar dari problem institusional dalam tubuh kepolisian, mulai dari pengetahuan terhadap kekerasan seksual hingga budaya patriarki. Dimas berpendapat bahwa kepolisian seharusnya mengakui hak impunitas Meila sebagai pembela hukum serta memiliki sensitivitas kasus yang terkait kekerasan seksual.
Siti Mazumah, perwakilan FPL, juga menyayangkan kejadian ini. Ia berpandangan bahwa negara seharusnya mengapresiasi posisi Meila sebagai pendamping hukum korban, alih-alih membuatnya menjadi seorang kriminal. “Tragedi Meila semakin menegaskan bahwa tidak ada upaya serius dari aparat penegak hukum [dalam kasus kekerasan seksual-red],” seru Siti.
Nurina Savitri, perwakilan Amnesty Internasional, menegaskan bahwa kasus kriminalisasi Meila bukanlah risiko kerja, melainkan pembungkaman terhadap kerja-kerja pembela HAM. “Ada narasi yang bilang kalau ini sudah risiko kerja, [ketika-red] kita mengkritik harus siap saja dilaporkan,” tuturnya. Lebih lanjut, Nurina mengatakan banyaknya kasus kriminalisasi pekerja HAM menunjukkan kurangnya pemahaman aparat penegak hukum mengenai kerja-kerja pembela HAM.
Menanggapi kasus Meila, Ika Ayu, perwakilan Jaringan Perempuan Yogyakarta mengutuk tindakan kepolisian yang mengabaikan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Menurutnya, UU TPKS telah jelas mengatur bahwa pendamping korban kekerasan seksual tidak dapat dipidana, baik pendamping hukum maupun pendamping berbasis masyarakat. Penerusan proses tuduhan pencemaran nama baik Meila nantinya akan menjadi ancaman bagi para pendamping korban kekerasan seksual lainnya. “Pendamping hukum korban saja bisa dikriminalisasi, apalagi pendamping berbasis masyarakat,” ujarnya.
Berkaitan dengan hak Meila sebagai pekerja HAM, Ketua Dewan Pembina YLBHI, Nursyahbani Katjasungkana, menjelaskan bahwa perlu adanya perjuangan mewujudkan undang-undang perlindungan pekerja HAM yang telah dideklarasikan oleh PBB sejak 1998. Ia menyebutkan bahwa rencana mengenai undang-undang perlindungan pekerja HAM telah diusung oleh jaringan masyarakat sipil kepada Komisi III. Namun, mereka belum juga menemukan titik terang. Nursyahbani mengungkapkan bahwa terdapat rencana untuk memasukkan RUU ke sidang pertama DPR sebagai Program Legislasi Nasional Prioritas. “Kita siapkan dan kita lobikan nanti di bulan Oktober setelah pelantikan anggota DPR,” jelasnya.
Konferensi pers ditutup dengan pembacaan pernyataan sikap oleh Koalisi Lembaga Masyarakat Sipil. Pernyataan sikap ini ditandatangani oleh 122 organisasi yang berdiri bersama dan mendukung Meila. Pernyataan sikap tersebut berisi desakan kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk mengevaluasi dan meminta Kepala Polda Provinsi Yogyakarta untuk menghentikan proses kriminalisasi Meila. Selain itu, koalisi juga meminta Komisi Kepolisian Nasional, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan untuk mengawasi dan mengevaluasi proses ini secara menyeluruh. “Kriminalisasi ini adalah langkah mundur dalam melindungi korban kekerasan seksual dan komitmen untuk melawan segala bentuk kekerasan seksual,” tutup Ika selaku pemimpin pembacaan sikap.
Penulis: Defindra Hafara & Rajwa Aqilah
Penyunting: Alfiana Rosyidah
Ilustrator: Faturrahman Al Ramadhani