Pada Senin (3-6), Lembaga Pers Mahasiswa Poros menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Menelisik Perampasan Ruang Hidup dalam Proyek Nasional.” Bertempat di Hall Kampus IV Universitas Ahmad Dahlan, diskusi tersebut merupakan salah satu bagian dari rangkaian Poros Festival 2024. Dalam diskusi tersebut turut hadir Dhanil Al Ghifari dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Antonella dari Law and Social Justice Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, dan Wisnu Utomo dari Center of Economic and Law Studies.
Di muka forum, Antonella membuka pemaparannya dengan definisi Proyek Strategis Nasional (PSN) sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional. Dalam penjelasannya, Antonella menyoroti bahaya dari aturan tersebut yang memberi jalan pintas untuk seluruh kepentingan PSN dapat tercapai. Dalam urusan kepemilikan tanah misalnya, menurutnya tak ada bentuk yang dapat menghalangi ketika sudah bersinggungan dengan kepentingan PSN. “PSN itu kayak kartu sakti, apapun yang sudah ada label itu, lolos [izinnya-red] semuanya,” ujar Antonella.
Bahaya lain yang juga disoroti Antonella adalah masuknya kepentingan swasta dalam PSN. Seperti dalam definisinya, ia menunjukkan bahwa PSN dapat juga melibatkan badan usaha melalui skema pembiayaan atau pelaksanaan. Hal ini tentu menjadi bermasalah ketika dikaitkan dengan definisi kepentingan umum yang diutamakan dalam PSN. “Salah satu yang harus diperhatikan kepentingan umum itu artinya proyek itu nonprofit. Gimana kita bisa berharap perusahaan bener-bener nonprofit, gitu kan?” tambah Antonella.
Senada dengan Antonella, Dhanil menjelaskan masalah dari mekanisme konseptual PSN. Menurutnya, PSN mula-mula berbasis di wilayah terpilih yang kemudian wilayah di sekitarnya dijadikan kawasan pendukung. Hal ini baginya dapat dilihat dari kawasan Candi Borobudur dengan kawasan Menoreh sebagai kawasan pendukung. Masalah yang muncul dari pengembangan PSN di kawasan tersebut adalah adanya penggusuran pedagang di sekitar dan luar area kawasan Candi Borobudur. “Jadi hari ini udah ngga ada lagi pedagang-pedagang di area Borobudur, sekarang sudah bersih semua,” tegas Dhanil.
Nyatanya bagi Dhanil, Borobudur hanya satu contoh kecil dari banyaknya PSN yang ada. Adapun ketika terdapat perlawanan dari para pedagang yang tergusur dari berbagai PSN, ia hanya mendapati respons tak jelas dari pemerintah berwenang. Tak pernah ada suatu solusi bagi para pedagang yang terdampak. “Tindakan pemerintah nggak rasional. Mana yang katanya pembangunan yang menyejahterakan?” Dhanil mempertanyakan.
Ketidaksejahteraan yang disebutkan oleh Dhanil juga tampak pada temuan Wisnu. Ia menyebutkan adanya peraturan Mahkamah Agung yang dapat meloloskan tanah dengan menitipkan uang ganti rugi di pengadilan. Walau peraturan sudah direvisi pada tahun 2021, hal ini tetap berimplikasi terhadap pemilik tanah yang menolak ataupun tidak peduli, tanah tersebut tetap dapat diambil. “Dasarnya tetap UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, itu zaman [Presiden-red] SBY,” ujarnya.
Penggusuran tanah membuat perubahan dalam kehidupan para warga. Mereka yang tidak memiliki tanah lagi, menurut temuan Wisnu, menjadi pedagang di kompleks perumahan yang baru. Ia mencontohkan penduduk dari desa Palihan yang awalnya akur dan guyub saat menjadi petani, menjadi bersaing dan tidak saling bicara. “Sehingga pranata sosialnya itu hancur lebur juga. Bukan cuma tanah dan ekonominya, tapi nilai-nilai dan sejarah juga hilang,” jelas Wisnu.
Penulis: Aghli Maula Hasby dan Muhammad Nabeel Fayyaz
Penyunting: Cahya Saputra
Fotografer: Vigo Joshua