Hari Buruh telah berada tepat di depan mata. Bersamaan dengan itu, tindakan-tindakan yang bersifat menindas masih kerap dilayangkan kepada para buruh. Oleh karena itu, pada momentum yang tepat ini, BALAIRUNG menerbitkan ulang artikel yang menyuarakan betapa tercelanya sistem perburuhan yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan melalui para mandornya. Artikel yang termuat dalam Mini BALAIRUNG Edisi 1/Th. 1/1994 ini menilik betapa sengsaranya nasib para buruh anak yang menjadi korban zalimnya sistem dengan memainkan peran sebagai buruh di usia anak, mendapatkan upah yang sangat minim, tidak memperoleh jaminan keselamatan yang layak, hingga mengalami pelecehan seksual.
Senja sudah mulai beranjak malam ketika pintu mes itu terbuka. Seraut wajah kecil terlihat di balik pintu, tampak lelah, tetapi masih bisa tersenyum meskipun tipis dan samar.
“Kok pulangnya sampai malam, Tik?”
“lya, Mbak, disuruh lembur sama mandornya lagi.”
“Ngapain kamu lembur segala, kalau nggak dikasih tambahan upah,” kata gadis yang dipanggil mbak tadi dengan suara yang keras.
“Saya nggak berani nolak, Mbak. Saya takut diberhentikan,” kata gadis kecil itu pelan, dengan wajah lelah.
Titik nama gadis kecil itu, ia baru berusia 13 tahun dan bekerja sebagai buruh harian di pabrik plastik tali rafia, di daerah Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Dengan upah Rp 1.700/hari, Titik harus bekerja mulai jam tujuh pagi sampai jam lima sore, dan istirahat hanya setengah jam saat makan siang. Sering kali jam kerjanya molor beberapa jam bila ada pekerjaan yang menumpuk.
Meskipun upah yang diterimanya minim, Titik harus mengerjakan semua pekerjaan yang ada di pabrik itu, tanpa pembagian pekerjaan yang jelas. Mulai dari mengangkat gulungan plastik, menjemurnya, memilah-milah plastik, bahkan sampai di bagian mesin, semua pernah ia lakukan.
Sementara itu, jaminan kecelakaan kerja yang diberikan pabrik sangat tidak sesuai dengan beratnya pekerjaan yang harus dilakukan. Pernah seorang temannya tertimpa gulungan plastik yang beratnya berkilo-kilo sampai pingsan. Pemilik pabrik hanya memberi ongkos pengobatan, kemudian buruh tersebut di-PHK dalam keadaan sakit tanpa mendapat pesangon. PHK sepihak ini sering kali terjadi bila buruh tidak masuk kerja, meskipun karena sakit.
Mandor di pabrik sering menyuruhnya lembur, tetapi upahnya tidak pernah bertambah. Bahkan, upah yang sedikit itu masih harus dikurangi untuk makannya. Untunglah pabrik menyediakan mes, tempat Titik dan buruh perempuan lainnya dapat tinggal tanpa dipungut biaya.
Keadaan mes yang cukup jauh dari kata layak itu, tidak menjadi masalah bagi Titik dan teman-temannya. Kerasnya dipan yang hanya beralas tikar dan gigitan nyamuk-nyamuk di malam hari, seakan tak pernah mengusik kelelapan tidur mereka. Bagi mereka, mess hanyalah tempat untuk membaringkan badan; tempat mereka dapat beristirahat sejenak untuk menghimpun tenaga.
Keberadaan Titik dan beberapa temannya di pabrik itu sering kali dianggap wajar, meskipun usia mereka relatif masih sangat muda. Walaupun baru setahun lalu Titik lulus SD, Ia harus melepaskan keinginannya untuk melanjutkan sekolah karena keadaan ekonomi keluarganya yang tidak memungkinkan. “Adik saya banyak, ada tiga orang dan emak hanya seorang janda. Saya nggak tega melihat emak bekerja keras memberi makan kami.”
Sejak kematian bapaknya sembilan bulan yang lalu karena kecelakaan, maka otomatis emak-nyalah yang harus menjadi tiang penyangga keluarga. Bapaknya yang bekerja sebagai buruh bangunan, praktis tidak meninggalkan apapun bagi keluarga mereka. “Karena kasihan sama emak, maka saya terima ajakan teman untuk kerja di pabrik, saya ingin membantu emak.” tuturnya lebih lanjut.
Kehadiran anak-anak di pabrik-pabrik itu kebanyakan berawal dari tekanan ekonomi dalam keluarganya. Mereka tidak punya pilihan lain selain bekerja. Sebagian menganggap bahwa kerja di pabrik juga merupakan sesuatu yang menyenangkan. Mereka jadi punya banyak teman, punya banyak uang untuk dibelanjakan sesuai dengan keinginan mereka. Hal yang selama ini sulit sekali dipenuhi oleh orang tua mereka. “Dari upah yang saya terima setiap minggu, biasanya saya kumpulkan kemudian saya belikan baju-baju, alat kosmetik ataupun perhiasan, seperti cincin ini,” kata seorang buruh sambil memperlihatkan cincin yang dipakainya, kelihatan kalau masih baru. Narti nama buruh itu, usianya lebih tua dari Titik setahun dan berasal dari daerah yang sama, Wonogiri.
Orang tua Narti yang bekerja sebagai buruh tani, sudah lama tidak sanggup membiayai sekolahnya lagi. Oleh karena itu, meskipun belum tamat SD, Narti sudah keluar. Kemudian, ia mulai ikut kerja membantu orang tuanya sebagai buruh tani. Sampai kemudian ia dan Titik diajak kerja di pabrik ini.
Kalau saja kita mau meluangkan waktu sejenak untuk memperhatikan di sekeliling kita saat berkunjung di kota-kota lain. Akan banyak sekali kita jumpai Titik dan Narti lain yang berada di pabrik-pabrik ataupun perkebunan-perkebunan. Meskipun tempat mereka berbeda dan terpisah, tetapi ada satu hal sama pada mereka. Mereka adalah anak-anak yang menyandang predikat “buruh”. Keadaan ekonomi keluarga, membuat mereka harus tercerabut dari masa yang seharusnya mereka alami. Masa anak-anak yang seharusnya sedang mereka tapaki hanya menjadi sebentuk impian saja.
“Sebenarnya saya masih pingin sekolah, tapi gimana lagi saya harus kerja seperti teman-teman lain yang di sini,” kata Eriawati dengan nada kepasrahan yang kental. Gadis yang berumur kira-kira 16 tahun itu nasibnya tidak sebaik Titik dan Narti, meskipun mereka sama-sama bekerja sebagai buruh.
Beda dengan mereka, Eriawati kerja sebagai buruh di perkebunan tembakau. Dia tinggal di Desa Balung Kidul, 25 km sebelah selatan Jember. Jam kerjanya dimulai dari jam enam pagi, di bawah bentakan mandor-mandor, sampai jam empat sore. Pekerjaan ini ia lakukan dalam sistem borongan. Dengan sistem ini, jam kerja menjadi tidak begitu jelas. Upah dibayarkan secara pukul rata Rp 1.600/hari.
Kehidupan Eriawati dan teman-temannya sangat terasing dari dunia luar, dan keadaan itu sepertinya disengaja oleh para pemilik modal di perkebunan. Pekerjaan Eriawati, seperti halnya anak-anak lain di perkebunan, hanya berkisar dalam gudang pengolahan tembakau itu. Mereka mengabdi di perkebunan itu seumur hidup seperti halnya orang tua mereka. Hal ini dapat dipahami apabila kita melihat latar belakang mereka.
Keberadaan para buruh perkebunan itu sudah ada sejak zaman kolonialisme Belanda. Kebutuhan akan tenaga kerja yang murah mendorong pemerintah Belanda untuk mendatangkan tenaga kerja dari Jawa dengan janji-janji bahwa kehidupan mereka akan lebih baik di sana. Namun, toh sampai di perkebunan, nasib orang-orang miskin dari Jawa itu tidak bertambah baik. Hingga saat ini, keadaan membuat mereka tidak punya pilihan lain selain bekerja di perkebunan itu. Mereka dijauhkan dari segala bentuk informasi peradaban modern dari dunia luar. Pernah terjadi ketika sebuah TV swasta akan meliput perkebunan itu, anak-anak yang bekerja di sana digiring ke kali dan disuruh bersembunyi agar tidak diketahui orang-orang TV yang datang. Hal ini menunjukkan betapa memang ada sesuatu yang tidak semestinya terjadi pada anak-anak dalam perkebunan itu.
Pemberontakan mereka seringkali disebabkan oleh perlakuan mandor yang sewenang-wenang. Bentakan, pukulan, dan tamparan membuat mereka sangat membenci mandor-mandor. Beberapa di antara mereka bahkan juga menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh para mandor. Ketakutan akan kehilangan pekerjaan membuat anak-anak itu sering kali harus menahan keinginan mereka untuk memberontak.
Sukar dibayangkan memang, betapa buruknya nasib yang harus dialami anak-anak buruh perkebunan itu. Dari tangan-tangan kecil mereka, suplai tembakau di pasaran internasional terpenuhi. Namun, nasib mereka tidak pernah berubah dari zaman ke zaman.
Puluhan buruh anak-anak yang ada di pabrik-pabrik ataupun perkebunan-perkebunan sering kali tidak bisa menunjukkan keberadaan mereka. Mereka ada tetapi tidak ada. Itulah yang sering kali terjadi. Berbagai pekerjaan yang telah mereka lakukan menunjukkan bahwa mereka ada, tetapi, di sisi lain, keinginan dan tuntutan mereka yang tidak pernah terucap menunjukkan kalau mereka tidak pernah ada.
Bagi para pemodal, adanya buruh anak adalah sebuah keuntungan sebab para pemodal bisa mendapatkan tenaga kerja dengan upah rendah tanpa mengkhawatirkan adanya tuntutan. Akan tetapi, bagaimana bagi anak-anak itu sendiri? Keberadaan mereka sebagai buruh seringkali karena keterpaksaan, karena tekanan, karena berbagai alasan lain, yang jelas bukan karena murni keinginan sendiri.
Situasi yang mereka alami menunjukkan betapa besar “kemandirian” mereka. Pada usia yang masih sangat muda, mereka telah merelakan masanya untuk terjun sebagai sosok pekerja. Tuntutan kebutuhan hidupnya mereka coba untuk penuhi sendiri dengan pekerjaannya yang penuh risiko bagi manusia kecil. Sebagai bayarannya, mereka mendapatkan upah dan kemampuan mengatur keuangan untuk meringankan beban ekonomi keluarga mereka.
Sebuah potret kemiskinan anak-anak di tengah-tengah pembangunan dan sebuah suara kaum miskin yang terekam ada di sana, di berbagai tempat. Di sana juga terungkap seonggok derita anak-anak kaum miskin yang gigih berjuang menyambung hidupnya. Di belakang mereka ada lilitan kemiskinan yang memaksa untuk terjun dalam arus perjuangan mencari rupiah. Masih belum jelas apakah perjuangan dan kemandirian mereka “pernah” dan “akan” mengusik kita. [Lisa dan Dirmawan]
Ditulis dengan penyuntingan ulang oleh Fransicus Xaferius Christnaldi Ramadani.