Ketika bahala hadir menimpa warga, informasi menjadi hal yang sangat berharga. Berhadapan dengan disinformasi dan intrik politik, Jalin Merapi membangun ketangguhan warga. Bersama-sama warga di lingkaran Merapi berdaya. Hidup nyaman meski bersama ancaman.
Sirine bersahut-sahutan tiada hentinya. Warga berhamburan keluar rumah, tergopoh-gopoh menuju Selatan. Di sisi Utara, Merapi sedang mengeluarkan isi perutnya dan siap meluluhlantakkan siapa saja yang berada di jalurnya.
Erupsi Merapi masih menyisakan kesan bagi masyarakat di sekitarnya. Ingatan akan ambrolnya bukit kecil hingga terjangan wedhus gembel tak lekang oleh waktu. Sukiman, ketua Jaringan Informasi Lintas (Jalin) Merapi, mencoba untuk mengembalikan ingatannya masa itu.
Ingatannya tak hanya berkisah mengenai erupsi, tapi juga birokrasi yang rumit. “Dulu enggak ada informasi apa-apa tiba-tiba meletus, ada orang punya hajat di situ. 66 orang meninggal,” ujar Sukiman menceritakan erupsi 1994.
Memang, birokrasi yang dicanangkan pemerintah untuk menyalakan sirine begitu sulit saat itu. “Meletus jam 09.00 WIB, sirinenya baru nyala jam 11.00 WIB,” sambungnya.
Berangkat dari pengalaman buruk atas rumitnya birokrasi dan mitigasi bencana yang amburadul, muncul-lah sekelompok relawan tanggap bencana. Namanya Pasak Merapi. Menurut Sukiman, Pasak Merapi berfokus pada keahlian relawan dalam membantu evakuasi saat meletusnya Merapi. “Pasak Merapi isinya lebih dari 3.600 orang terlatih, dan bahkan 600 di antaranya itu sudah memiliki SNI sebagai wajib latih fasilitator,” terangnya.
Kendati Pasak Merapi telah ada, nyatanya kebutuhan informasi mengenai Merapi belum terjamah. Masyarakat masih sulit mendapat akses atas informasi terkini mengenai aktivitas Merapi. “Orang bawah mungkin tau tentang aktivitas merapi, tapi kita yang di atas malah sulit untuk mengakses informasi tersebut,” resah Sukiman.
Keresahan itulah yang memantik Sukiman dan masyarakat sekitar Merapi pada 2006 untuk mendirikan media yang secara khusus menghimpun informasi seputar Gunung Merapi, yakni Jalin Merapi. Media ini berguna untuk menanggapi kebutuhan informasi masyarakat rentan yang berhadapan langsung dengan Gunung Merapi. “Jalin Merapi lahir sebagai konvergensi pengetahuan supaya masyarakat mengakses informasi melalui penjelasan ilmiah dan kearifan lokal,” jelasnya.
Jalin Merapi lahir bersamaan dengan erupsi 2006. Sukiman pun kembali bercerita terkait buruknya informasi yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat sekitaran Gunung Merapi saat itu. “2006 itu status masih waspada, kita sudah dipaksa mengungsi,” ucapnya.
Dalam ingatan Sukiman, saat itu, warga sempat berdiam diri di tenda pengungsian lebih dari tiga bulan. Tanpa kejelasan, mereka terpaksa dibuat menunggu waktu Merapi memuntahkan laharnya. Padahal, status waspada sendiri dapat diartikan “aktif normal dan waspada siaga”. Dengan demikian, bagi Sukiman, saat itu belum waktunya bagi warga untuk mengungsi. “Lama-lama warga kecapekan energi juga. Jadi mereka bolak-balik untuk ngasih makan ternak,” jelasnya.
Atas situasi yang penuh dengan ketidakjelasan itu, Jalin Merapi mengambil peran untuk menjelaskan kondisi terkini kepada masyarakat sekitar. Tak jarang, relawan Jalin Merapi tersebar di pos-pos penjagaan untuk memantau Merapi. Dengan menggunakan HT (handheld transceivers), mereka saling bersaut untuk bertukar informasi. “Alat komunikasi kita dulu HT dan Yahoo! Messenger untuk mengirim informasi ke warga bawah,” ucapnya.
Berbagai radio komunitas yang tergabung dalam Jalin Merapi pun turut mendukung kebutuhan informasi tersebut. Secara serentak, mereka mewartakan Merapi untuk empat kabupaten, yakni Sleman, Klaten, Magelang, dan Boyolali. “Jadi ketika kita ngomong lewat HT, orang-orang bisa mendengarkan lewat radio,” jelas Sukiman.
Yang Modern dan Yang Lokal
Di Indonesia, konsepsi bencana alam yang dilekatkan dengan unsur mistik masih banyak ditemui. Namun, konsepsi tentang mistik tidak boleh ditelan mentah. Dengan kehadiran teknologi, masalah kebencanaan mestinya harus tetap tertangani. “Sebenarnya, dari awal Pasak Merapi terus ke Jalin Merapi, itu tetap mempertahankan kebudayaan juga. Tapi kita juga realistis, ada ilmu pengetahuan, ada ilmu-ilmu geologi gitu,” tegas Sukiman.
Ia menerangkan, “Sebenarnya mistis itu kan bagian dari teknologi zaman dulu.” Bagi Sukiman, walaupun kemajuan teknologi menjadi andalan utama penanganan bencana, Jalin Merapi tidak berusaha merombak cara berpikir warga tempatan di lingkar Merapi. Sebaliknya, ia lebih menekankan jika budaya dan pengetahuan harus bisa hidup berdampingan.
Sukiman menceritakan bahwa kepercayaan mistis lokal sebenarnya sangat berguna untuk mendeteksi tanda-tanda awal datangnya bencana. Pada 2009, misalnya, burung jalak terus turun ke arah pemukiman warga. “Bagi sebagian orang, fenomena itu tampak mistis. Namun bagi Jalin Merapi, fenomena itu menandakan bencana Merapi yang akan panjang,” terang Sukiman.
Hal ini terjadi karena burung jalak amatlah peka dengan getaran menurut Sukiman. “Ketika seismograf belum ada, burung jalak bisa menggantikannya,” jelas Sukiman sambil bergurau. Selain itu, menurut Sukiman, dengan tetap memperhatikan kearifan lokal, penyebaran informasi kebencanaan akan lebih diterima warga.
Tak berhenti di sana, Sukiman menceritakan kisah Alm. Mbah Marijan, seorang juru kunci Gunung Merapi, yang meninggal pada tahun 2010. “Buktinya Mbah Marijan yang religius banget juga meninggal di sana. Nah, yang kamu baca cuma meninggalnya, kamu enggak membaca protesnya Mbah Marijan soal kandang evakuasi ternak yang enggak disediakan,” jelas Sukiman.
Bagi Sukiman, kemajuan teknologi yang tidak dibarengi unsur kearifan lokal belum tentu bermanfaat bagi masyarakat. “Yang penting bagi warga kan ternak atau asetnya itu dibawa itu dulu,” tambanya.
Berkaca dari letusan 2010, Jalin Merapi menambah kembali instrumen ketahanan bencana. Saat ini, mereka telah mendigitalisasi seluruh data kebutuhan evakuasi. “Yang di data itu, kalau dari pemerintah, pasti orangnya [dan-red] berapa rumahnya. Kalau di kita enggak, yang didata itu aset dan seluruh kebutuhan per keluarga,” ujar Sukiman.
Media Ingkar Janji
Waktu berlalu, tetapi Merapi tak pernah ingkar janji. Ia tetap memuntahkan laharnya dalam kurun waktu empat tahun sekali. Namun, berbeda dengan erupsi sebelumnya, Jalin Merapi sudah sangat siap menghadapi muntahan lahar. “Erupsi 2010, kita tinggal tekan tombol (menjalankan evakuasi) saja, karena alatnya sudah ada dan alurnya sudah jelas,” ucap Mart Widarto, bendahara Jalin Merapi.
Pada 2010, Jalin Merapi tidak hanya bergerak untuk mengedukasi dan memberikan informasi kepada masyarakat, tetapi juga melawan narasi media yang provokatif. Pasalnya, pemberitaan mengenai bencana tak ubahnya oasis di tengah hamparan gurun pasir. Media massa berbondong-bondong unjuk diri demi pemberitaan. Sayangnya, pemberitaan yang tak terverifikasi pun menjadi buahnya.
“Kami dulu kami memboikot TVOne,” celetuk Mart.
Boikot ini bukan tanpa sebab. Menurut Mart, saat itu, wartawan TVOne justru mengada-adakan berita. Wartawan TVOne yang saat itu melaporkan dari perempatan Jalan Kaliurang menyebut terjadi hujan abu. Padahal, salah seorang kru mereka sedang menaburi abu di belakang kamera. “Kami boikot karena permainan media mereka,” jelas Mart.
Mart juga menyoroti soal media arus utama yang hanya berfokus di Sleman. Tiga kabupaten lainnya, menurutnya, tak disentuh oleh media. Bagi Mart, Merapi bukan hanya milik Sleman. “Kami sampai ngetweet, ‘stop bantuan untuk Sleman’,” ucapnya.
Jalin Merapi sebagai media komunitas juga berperan mengimbangi narasi media arus utama guna menyuplai informasi mengenai kebutuhan penyintas di tiga kabupaten. Pasalnya, media saat itu hanya menyoroti soal narasi-narasi kesedihan dan ratapan. “Good news is bad news,” ucap Mart mendeskripsikan media saat itu.
Tak jarang, berbagai media pun berlomba-lomba menggalang donasi. Mart cukup terganggu dengan praktik penggalangan donasi ini. Menurutnya, media menjaring donasi dari masyarakat dan mengeklaimnya sebagai corporate social responsibility (CSR). Padahal, mereka tak menyisihkan keuntungan medianya guna membantu masyarakat. “Jadinya apa? Mereka enggak rugi,” sambungnya.
Ia juga tergelitik dengan pertanyaan-pertanyaan trivial media. “Sedih enggak anaknya terkena erupsi?” ucap Mart menirukan pertanyaan media kepada penyintas erupsi. Baginya, pertanyaan semacam itu tidak etis, lagi pula siapa pun sudah tahu jawabannya.
Media Komunitas Harus Kolektif
Jalan panjang dan berliku telah dilalui oleh Jalin Merapi. Saat ini, tantangan baru kian menanti bagi Jalin Merapi. Akhmad Nasir, salah satu pegiat awal Jalin Merapi, menceritakan bahwa kesulitan terbesar hadir ketika media ditujukan untuk hal-hal yang individualis. “Sekarang itu, yang namanya isu bersama atau kepentingan bersama yang diperbincangkan secara intens melalui media, malah jadi rebutan panggung,” tuturnya.
Bagi Nasir, media komunitas seharusnya mampu menjadi wadah pemberitaan yang berimbang. Ia pun menceritakan pengalamannya saat mengorganisasikan bantuan di suatu posko bantuan. Sesampainya di posko bantuan, Nasir dikejutkan dengan kondisi di sana yang penuh hiasan partai. “Kalau ada bencana itu biasanya ada daerah yang bantuannya banyak, bahkan surplus, terus ada yang enggak dapet ya karena pusat ‘panggungnya’ di situ,” terangnya agak berang.
Nasir menjelaskan bahwa banyak intervensi dari pihak luar daerah bencana. Namun, warga yang merasakan bencana secara langsung justru menjadi objek kepentingan. “Waktu itu, kami jadinya mem-posting ulang daerah mana saja yang belum ter-cover karena yang banyak dibantu itu cuman Sleman,” jelas Nasir. Menurut Nasir, hal-hal yang berbau kepentingan kelompok tertentu harus dihindari saat sedang menanggulangi bencana.
Merapi Kini dan Nanti
Bagi Nasir, infrastruktur teknologi informasi penanggulangan bencana sudah sangat mumpuni saat ini di Merapi. “Tinggal bagaimana kita mengolahnya aja. Jangan sampai malah memecah-belah,” terang Nasir. Menurutnya, ancaman disinformasi dan misinformasi begitu kental di era sekarang. Hal itulah yang membuat Jalin Merapi selalu berusaha mengabarkan kondisi terkini terkait Merapi via akun media sosial mereka.
Hal serupa juga disetujui oleh Sukiman. Informasi yang melimpah bisa saja menjadi bumerang bagi penanggulangan bencana. “Saat ini, informasi sudah mulai enggak terkendali, orang males kumpul, orang juga mudah share informasi yang belum tentu benar,” tegas Sukiman memaparkan tantangan Jalin Merapi saat ini. Sama halnya dengan Nasir, Sukiman menilai bahwa penting adanya kontrol dan sikap kolektif dari warga untuk terus memantau bencana dan mempertahankan nilai keberdayaan warga.
“Sekarang itu kalau ada erupsi lagi kita udah enggak ngungsi, tapi refreshing. Karena, kita hidup nyaman bersama ancaman,” pungkas Sukiman.
Reporter: Adjit Royan Mustafa, Michelle Gabriela, Titik Nurmalasari, dan Vigo Joshua
Penulis: Michelle Gabriela, Titik Nurmalasari, dan Vigo Joshua
Penyunting: Fauzi Ramadhan
Fotografer: Parama Bisatya dan Nicholas Abby Oktavian
Ilustrator: Parama Bisatya