Muhammad Said Al Hariri, mahasiswa Universitas Trilogi, menceritakan kedatangan mendadak sekitar lima belas orang preman yang menginterupsi Konsolidasi “Pemilu Curang dan Pemakzulan Presiden Joko Widodo” pada Sabtu (03-02). Konsolidasi yang direncanakan untuk dilaksanakan di Universitas Trilogi terpaksa pindah ke Balai Warga setelah pihak kampus tiba-tiba melarang pelaksanaan kegiatan ini. “Bubarkan acara ini, isinya tidak substantif,” ucap Said menirukan salah satu preman yang melakukan intimidasi malam itu.
Bukan sekadar pembubaran paksa yang dilakukan, tetapi kekerasan fisik juga sempat terjadi. Budi (bukan nama sebenarnya), salah satu mahasiswa dari Universitas Trilogi, menuturkan bahwa mereka juga mendapatkan ancaman dan kekerasan. Saat ia berjaga di pintu masuk dan meminta identitas diri dari para “pihak luar”, seorang preman membenturkan kepala Budi ke dinding. “Kami juga diancam, ‘Kalau nanti demonstrasi masih tetap dilakukan, kami [pihak preman-red] akan mengacak-acaknya’, gitu,” ucap Budi.
Intimidasi dan kekerasan yang dirasakan oleh para mahasiswa ini diceritakan pada Konferensi Pers, Minggu (04-02). Konferensi ini mengangkat tajuk “Konsolidasi Mahasiswa untuk Demokrasi, Rezim Kirim Preman untuk Represi”. Konferensi yang diadakan secara daring ini diinisiasi oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Nasional. Selain dihadiri Said dan korban intimidasi, konferensi juga mengundang beberapa pembicara, yaitu Annisa Azzahra, PBHI Nasional; Iqbal Ramadhan, Lokataru Foundation; Fadhil Afathan, LBH Jakarta; dan Al Araf, Centra Initiative.
“Kami resah karena kebebasan berpendapat kami dibatasi,” keluh Said. Ia menceritakan bahwa tindakan intimidasi ini dimulai dari pihak mahasiswa yang melarang pihak luar masuk ke ruangan konsol. Selain tidak menunjukkan kartu identitas, pihak yang diduga sebagai preman juga mengambil gambar tanpa izin. “Kami [mahasiswa trilogi-red] sempat beradu argumen, sampai akhirnya kami mendapat kekerasan,” ujar Said.
Iqbal yang juga hadir dalam kegiatan konsolidasi itu menguatkan pernyataan Said. Ia mengatakan bahwa preman-preman ini turut memberikan ancaman. Para preman membawa narasi bahwa isu yang dibawakan di konsol ini akan merugikan salah satu pasangan calon (paslon) presiden di Pemilu 2024. Pihaknya bahkan menemukan bukti keterlibatan preman sebagai pendukung salah satu paslon. “Legitimasi yang makin merosot membuat rezim melakukan apapun untuk mempertahankan kekuasaannya,” tegasnya.
Menyinggung soal perampasan hak berserikat dan berkumpul, Fadhil menjelaskan bahwa intimidasi dan kekerasan ini bukan tindakan kriminal pada umumnya. Premanisme itu tidak bebas nilai. Baginya tindakan ini selalu terikat dengan keperluan orang lain. Bukan hal yang mengejutkan jika tindakan ini disebut sebagai “order-an” atas kebutuhan suatu kekuasaan. “Di sini telah terjadi hilirisasi represi,” tegasnya.
Fadhil juga menyinggung bahwa tindakan yang dilakukan oleh para aktor bukan negara ini melanggar aturan yang ada di Undang Undang Dasar. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) harus melakukan pengusutan terkait kasus ini. “Jika Polri tidak mampu melakukan tugasnya, maka mereka telah melanjutkan pelanggaran HAM berikutnya,” terang Fadhil.
Di lain sisi, Annisa menyadari bahwa tindakan ini semakin marak saat mendekati masa pemilu. Ia membandingkan keadaan saat ini dengan Orde Baru. Satu ciri yang tampak jelas ialah pelarangan gerakan-gerakan yang dianggap berseberangan dengan keinginan pemerintah. Contohnya seperti konsolidasi, demonstrasi, dan diskusi di kalangan mahasiswa. “Pola ini [intimidasi dan kekerasan-red] seperti menjadi ‘Orde Terbarukan’. Bukan hanya soal KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme), tapi juga politik premanisme,” tutur Annisa.
Selaras dengan Annisa, Fadhil menyoroti bahwa semenjak adanya isu Jokowi tiga periode, gerakan pemakzulan Jokowi turut muncul ke permukaan. Seiring dengan pergerakan ini, intimidasi dan ancaman ikut menghantui setiap diskusi, pertemuan, dan konsolidasi. Fadhil memperingatkan bahwa tindakan ini akan meningkatkan rasa tidak percaya masyarakat kepada pemerintah. “Dugaan keberpihakan negara pada paslon tertentu akan semakin meluas,” ujarnya.
Rangkaian tindakan intimidasi ini sudah dirasakan oleh banyak pihak. Al Araf menuturkan, deklarasi yang dilakukan oleh para guru besar juga mendapatkan ancaman untuk dihentikan. Ia menilai bahwa suara-suara moral yang datang dari kampus-kampus membuat rezim kekuasaan merasa panik. “Tindakan intimidasi ini tidak membuat mahasiswa takut, tapi [menjadi-red] pembangkit semangat setiap pergerakan,” pungkas Al Araf.
Penulis: Ester Veny
Penyunting: Sidney Alvionita Saputra
Ilustrator: Farrel Baswara