Sudah dua tahun semenjak relokasi pedagang kaki lima (PKL) dari sepanjang Jalan Malioboro. Relokasi terjadi akibat penataan kawasan yang dilewati sumbu filosofi. Kini, sumbu filosofi telah diresmikan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO dan para PKL sedang menjalani proses relokasi tahap kedua. Namun, langkah menuju relokasi kedua kerap mengesampingkan suara-suara PKL yang senantiasa memperjuangkan jaminan atas kesejahteraan mereka.
“Janjinya pemerintah itu mau naik kelas. Nah, saya juga bingung yang dimaksud naik kelas yang bagaimana? Nyatanya, dari segi ekonomi anjlok,” ujar Upik Supriyati, perwakilan dari PKL Malioboro paguyuban Tridharma. Upik merupakan salah satu pembicara dalam diskusi dua tahun relokasi PKL Malioboro yang bertajuk “Merebut Kedaulatan di Tengah Pembangunan dan Penataan Kawasan Sumbu Filosofi” pada Jumat (02-02). Selain Upik, turut hadir Rakha Ramadhan, perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta untuk memaparkan pra-rilis hasil riset LBH berjudul “Merebut Kedaulatan Ditengah Arus Pembangunan” di LBH Yogyakarta.
Menurut Upik, “naik kelas” hanya dapat dicapai oleh para pedagang yang ditempatkan pada lokasi strategis Teras Malioboro. Sementara itu, ia menyebutkan bahwa pendapatan mayoritas PKL di Teras Malioboro 2 mengalami “terjun bebas”. “Saya juga bingung mau mencontohkan relokasi yang berhasil itu yang seperti apa, sedangkan kami sendiri dalam masa ini katanya mau dipindah lagi,” tutur Upik.
Berdasarkan hasil riset LBH Yogyakarta, Rakha mengatakan bahwa terdapat 2.000 PKL yang direlokasi tanpa partisipasi publik dan minim transparansi. Menurutnya, hal tersebut ditandai dengan penerbitan peraturan walikota yang mencabut dasar hukum PKL pada Peraturan Walikota Kota Yogyakarta Nomor 37 Tahun 2010. “Mereka dinyatakan sebagai entitas ilegal yang berada di sepanjang jalan [Malioboro-red] dan bisa dipindahkan setelah terbit surat edaran [pemberitahuan relokasi-red],” ujar Rakha
Rakha pun menilai surat edaran yang terbit setelah penerbitan peraturan walikota menimbulkan ketidakpastian hukum bagi PKL. Lantaran, tanggal relokasi yang tercantum pada surat tersebut adalah 31 Februari 2022. “Di mana kalender masehi ada 31 Februari? Mentok-mentok 28 Februari,” ucap Rakha.
Tidak berhenti sampai di situ, Upik menyebutkan dirinya dan para PKL sempat tidak diterima ketika melakukan demonstrasi di balai kota Yogyakarta untuk meminta kejelasan terkait relokasi kedua. Bahkan, ia menambahkan bahwa proses validasi data dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh pihak Unit Pelaksana Teknis Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya Malioboro. “Mekanisme relokasinya saja sudah nggak benar dari datanya. Awal relokasi itu kami modal sendiri, padahal sebelumnya kami dua tahun nggak jualan,” ujar Upik.
Menanggapi Upik, Rakha menuturkan justru kehadiran PKL dapat memperkuat sumbu filosofi sebagai warisan budaya. Sebab, budaya jual-beli yang dihadirkan PKL merupakan sebuah kearifan lokal. Rakha mengatakan hal tersebut telah diatur dalam Konvensi untuk Perlindungan Budaya Tak Benda. “Di dalam pasalnya melihat bahwa tetap harus ada peran komunitas lokal, peran masyarakat di dalam konteks perlindungan warisan budaya tersebut,” ucapnya.
Tidak hanya sumbu filosofi, Rakha mengatakan bahwa kebijakan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional juga mengambil andil terhadap penggusuran yang kerap terjadi di sekitar Yogyakarta. Salah satu yang Rakha sebutkan adalah penggusuran pedagang asongan di kawasan Candi Borobudur. Menurut Rakha, penggusuran itu dilakukan untuk membangun Integrated Tourism Master Plan yang akan mengintegrasikan Borobudur dengan Yogyakarta dan Prambanan. “Di desa Borobudur, beberapa masyarakat yang masih memegang kepercayaan semakin sulit aksesnya ke [Candi-red] Borobudur karena sudah menjadi sebuah kawasan pariwisata dengan pengelolaan-pengelolaan tertentu,” tambah Rakha.
Lebih lanjut, Rakha berpendapat bahwa kedua kebijakan tersebut berdampak pada kemiskinan struktural serta penyingkiran rakyat terhadap akses ekonomi, politik, dan budaya. Hal tersebut dibuktikan melalui pendapatan yang semakin merosot, pelibatan masyarakat yang minim dalam perumusan kebijakan, hingga informasi yang tumpang tindih dan hanya diperoleh dari media sosial. “Harusnya ada kepastian hukum di situ. Agar semuanya bisa jelas, clear, dan sesuai dengan kaidah yang berlaku,” ujar Rakha.
BALAIRUNG melakukan wawancara dengan Upik setelah diskusi selesai. Upik mengatakan bahwa PKL Malioboro masih mencari cara agar dapat berkomunikasi dua arah dengan pemerintah. Ia mengaku mereka hanya mendapatkan isu simpang siur terkait relokasi tanpa adanya ajakan diskusi dari pihak pemerintah. Selanjutnya, Upik menyebutkan bahwa pihaknya akan mencoba untuk melakukan audiensi dengan Pj walikota untuk mendapatkan kepastian akan relokasi kedua. “Kayak ada tembok tinggi gitu lho untuk kita bisa bicara dengan Pj Walikota,” tukasnya.
Penulis: Catharina Maida
Penyunting: Cahya Saputra
Fotografer: Bayu Tirta Hanggara
1 komentar
Yang menyebabkan kemacetan itu justru kendaraan pribadi, bukan PKL yang dari masyarakat kecil. Ketimbang bangun jalan aspal sana sini mengikuti kemauan cagers arogan dan sogokan industri otomotif, perintah mestinya bangun lapak bagi mereka setelah di relokasi serta proses pedestrianisasi jalanan kecil sehingga bebas motor dan mobil. Lihat konsep-konsep kota di luar negeri dong, yang memprioritaskan pejalan kaki lalu lalang sekitar usaha mikro, sehingga baik bagi ekonom i
#fuckcars