Aliansi Jurnalis Independen (AJI) meluncurkan Laporan Situasi Kebebasan Pers 2023 pada Rabu (31-01). Acara peluncuran itu dirangkum dalam sebuah webinar dan diskusi dengan tajuk “Bagaimana Menjaga Resiliensi Media dan Jurnalis Independen di Tahun 2024?”. Dalam laporannya, AJI menegaskan pentingnya peran media independen di Indonesia terutama dalam kemerosotan demokrasi dan krisis iklim saat ini. Webinar diisi oleh empat narasumber utama, yaitu Masduki, Ketua PR2Media; Citra Maudy, Penulis buku Kondisi, Posisi, dan Strategi Buruh Digital Muda di Indonesia; Ika Idris, Monash University; dan Sasmito, Ketua Umum AJI Indonesia.
Webinar dimulai dengan Ika Ningtyas, Sekretaris Jenderal AJI Indonesia, menyampaikan gambaran umum terkait situasi kebebasan pers di Indonesia pada satu tahun ke belakang. Ika Ningtyas menjabarkan, di dalam laporan yang dirilis AJI, Indonesia menghadapi dua isu. Pertama, penurunan demokrasi di Indonesia yang ditandai dengan berbagai dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang berpotensi merusak integritas pada Pemilu 2024. Kedua, memburuknya krisis iklim yang diperparah dengan menyusutnya demokrasi sehingga menghambat berbagai langkah strategis untuk mengatasi krisis iklim tersebut.
Menanggapi Ika Ningtyas, Masduki menganggap, kebebasan pers dan kebebasan politik saat ini memang sedang terancam. Menurutnya, kondisi kebebasan pers saat ini mengalami represi dan berkelindan dengan situasi politik yang sedang mengalami regresi. Masduki menambahkan, selama 20 tahun terakhir kita membangun soal kebebasan berekspresi dan kebebasan pers, tetapi dalam hitungan satu tahun ini mengalami kerontokan. “Panasnya 2023 berujung menggugurkan banyak sekali pilar-pilar demokrasi, jurnalisme berkualitas, dan kebebasan pers kita,” ujarnya.
Masduki menilai bahwa demokrasi pasar bebas di Indonesia menciptakan fenomena yang membuat setiap orang merasa memiliki media sendiri. Baginya, ini membuat adanya disrupsi digital yang masif. Salah satu contohnya adalah banyaknya buzzer dan influencer yang melakukan disinformasi digital sebagai kerja-kerja utama yang merusak jurnalisme. “Mereka [buzzer dan influencer-red] mempunyai modal yang lebih besar daripada jurnalisme yang masih mempertahankan idealismenya,” kata Masduki.
Selanjutnya, Ika Idris menyoroti pembahasan mengenai bisnis model media yang mengandalkan iklan digital. Ia menuturkan bahwa bisnis model ini sangat mengandalkan metode periklanan yang menghasilkan keuntungan dari banyaknya penekanan tautan iklan pada suatu situs. Hal ini mendorong peningkatan produksi konten di luar batas wajar. “Sejak tahun 2019, bisnis model media ini dalam prakteknya telah jauh dari ideal,” ujar Ika Idris.
“Ketika media membuat unit bisnis baru yang berfokus pada konten kreator atau sharing economy, maka akan memiliki beberapa konsekuensi,” ujar Ika Idris. Lebih jauh, Ika Idris menjabarkan ada tiga konsekuensi dari bisnis model media seperti itu. Pertama, media seperti ini akan mendorong produksi informasi yang tidak di verifikasi. Kedua, mendorong eksploitasi karena pendapatan penulis hanya ditentukan dari banyaknya jumlah klik pada tulisan mereka. Ketiga, menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat akibat persaingan bebas.
Tidak luput, Citra Maudy menjelaskan penyebab kondisi kerja jurnalis yang menanggung beban dan jam kerja yang tidak ideal. Pertama, informalisasi sektor kerja yang membuat banyak jurnalis dipekerjakan tanpa kontrak dan hak yang tidak dipenuhi. Kedua, fleksibilitas yang bukan menyoal tempat dan waktu kerja saja, tetapi juga kemudahan perusahaan media untuk memecat pekerja jurnalis akibat sistem kerja yang lentur. Ketiga, masalah surplus pekerja yang tidak dibarengi dengan kesempatan kesempatan kerja yang lebih luas. “Seolah, bagi pemuda, [beban kerja-red] tersebut tidak bermasalah daripada tidak bekerja sama sekali,” ujar Citra.
Sasmito, mengutip data dari Reporters Without Borders, menjelaskan bahwa kemerdekaan pers di Indonesia masih berada dalam kategori buruk, stagnan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Pada 2023 survei Indeks Kebebasan Pers (IKP) yang dilakukan Dewan Pers senilai 71,57 turun 6,30 poin jika dibandingkan 2022. “Dalam enam tahun terakhir, ini menjadi penurunan yang pertama,” ungkap Sasmito
Sasmito menyoroti kasus kekerasan yang dialami jurnalis sebagai salah satu indeks kemerdekaan pers. Berdasarkan laporan AJI, terdapat 89 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang tahun 2023 yang dialami oleh 83 jurnalis, 5 kelompok jurnalis, dan 15 media. AJI menyoroti kekerasan yang didominasi oleh 36 aktor negara seperti polisi, tentara, dan aparatur pemerintah. Sedangkan 24 kasus dilakukan oleh pihak yang tidak dapat diidentifikasi, terutama pada kasus serangan digital. “Dalam lima tahun terakhir, yang menjadi pelaku dominan itu polisi,” tambah Sasmito.
Sasmito mendorong adanya regulasi yang dapat menaungi serikat lintas perusahaan media. Selain itu, ia mengharapkan adanya upaya dari negara untuk menjamin keamanan jurnalis seperti yang telah banyak digagas beberapa negara di Eropa. “Perlu adanya mekanisme nasional perlindungan bagi jurnalis,” pungkasnya.
Penulis : Galih Winata dan Resha Allen (Magang)
Editor : Gayuh Hana Waskito
Ilustrator : Nabillah Faisal