Setelah Forum Cik Di Tiro mengadakan forum bertajuk “Netizen Briefing: Bedah Fakta Penegakan HAM dan Keadilan Agraria Rezim Oligarki” pada Kamis (18-01), forum kembali dibuka pada hari kedua, Jumat (19-01). Forum dilakukan melalui Zoom dan dihadiri oleh beberapa pembicara, yakni Damairia Pakpahan, perwakilan Komunitas Pemberi Kerja; Masduki, jurnalis dan salah satu penggagas Forum Cik Di Tiro; Aprila Wayar, Jurnalis The Papua Journal; serta Bambang Muryanto sebagai moderator. Topik pembahasan pada hari kedua mengusung perihal persoalan hak asasi manusia (HAM) dan konflik-konflik yang terjadi pada masyarakat di bawah rezim Jokowi.
Damairia membuka diskusi dengan pembahasan mengenai kondisi perempuan dan HAM selama sembilan tahun kepemimpinan rezim Jokowi. Damairia mengatakan bahwa sebelumnya Jokowi telah membebaskan Eva Bande pada 2014 dan Baiq Nuril pada 2019. Namun, setelah rezim Jokowi berjalan, terdapat tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) yang tidak diselesaikan, yaitu RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Perlindungan Masyarakat Adat, dan RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender. “Kalau yang Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender ini malah bener-bener dilupakan,” jelas Damairia.
Selain adanya permasalahan undang-undang, rezim Jokowi juga meninggalkan berbagai kasus kekerasan terhadap para Perempuan Pembela HAM. Damairia menyebutkan bahwa berdasarkan data Komnas Perempuan terdapat 101 kasus kekerasan terhadap Perempuan Pembela HAM sejak 2013. “101 itu sudah dari wilayah Aceh hingga Papua,” lanjutnya. Menurutnya, ketiadaan regulasi telah menyebabkan kekerasan terhadap para perempuan dan pembela HAM terjadi terus-menerus.
Melihat rancangan undang-undang yang tak kunjung selesai dan banyaknya kekerasan terhadap pembela HAM, Damairia menyebutkan bahwa Jokowi selama ini telah terungkap kedoknya. “Jadi kita mengingatnya dia orang baik pada awalnya, hampir kita semua tertipu ini,” ujar Damairia. Ia juga menambahkan kekecewaannya terhadap Jokowi melalui pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang secepat kilat.
Masduki turut menambahkan kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi pada rezim Jokowi. Ia menjelaskan bahwa berkembangnya zaman digital tidak membawa situasi yang baik bagi jurnalis, mereka justru makin mengalami represi. Masduki menceritakan situs berita Floresa.co yang menulis berita investigasi proyek lalu berbuntut pada penyerangan digital. Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa penyerangan digital tersebut tidak hanya dilakukan pada artikel berita, tetapi juga pada para jurnalis. “Hal ini mengindikasikan bahwa Jokowi melanjutkan pola pikir Orde Baru dalam menekan pers selama sepuluh tahun berkuasa,” jelasnya.
Kemudian, Masduki mengatakan bahwa kekerasan secara digital tidak hanya terjadi pada jurnalis, tetapi juga aktivis sosial. Ia menyebutkan bahwa aktivis sosial mengalami perundungan, pengasingan, dan alienasi sosial dari percakapan-percakapan digital. “Bukan hanya soal dikomentari secara sadis, tetapi juga hacking website dan media sosial,” tambahnya.
Bambang Muryanto, sebagai moderator forum dan jurnalis, menanggapi pernyataan Masduki. Menurutnya, dalam beberapa tahun terakhir, kemerdekaan pers memang semakin menurun seiring dengan menguatnya oligarki. Bambang juga menambahkan bahwa pada masa kini bisnis media berubah dan mempengaruhi peran media sebagai kontrol sosial. “Sebagian besar media massa saat ini bergantung pada iklan-iklan dari pemerintah dan itu jumlahnya sangat besar,” ucapnya.
Aprila menambahkan pembahasan tentang perlindungan HAM di Papua. Menurut Aprila, perkembangan HAM di Papua tidak banyak berubah dari rezim ke rezim. Situasi HAM di Papua selalu tidak baik-baik saja. Aprila melihat bahwa dialog penyelesaian antara Indonesia dengan Papua masih terus didengungkan, tetapi tidak menemukan jalan keluar karena adanya perbedaan persepsi antara Indonesia dan Papua. “Indonesia tidak menganggap penduduk Papua sebagai masyarakat sipil, tetapi dianggap teroris, sedangkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) merasa menjadi pahlawan bagi negara Papua Barat,” lanjut Aprila.
Masih dalam pembahasan HAM di Papua, Aprila merasa warga Papua kerap mengalami diskriminasi hingga saat ini. Aprila kemudian menceritakan pengalamannya ketika ia berjumpa dengan seseorang di stasiun dan mereka terkejut melihat orang Papua seperti dirinya dapat menjadi jurnalis. “Itu, kan, menyinggung perasaan saya,” tambahnya.
Bambang Muryanto berharap pembahasan dari pembicara dapat memberikan masukan kepada publik. “Oleh karena itu, kita bisa membangun gerakan sosial yang lebih maju dan membawa cita-cita untuk Indonesia yang lebih adil dan makmur,” pungkasnya.
Penulis: Alfiana Rosyidah
Penyunting: Tiefany Ruwaida Nasukha
Ilustrator: Faturrahman Al Ramadhani