Rob berkunjung ke Timbulsloko. Ia menyapa warga dengan air selutut orang dewasa. Tak dihiraukannya mereka bersekolah atau bekerja. Warga dilarang memasang muka masam, itu memang sudah kebiasaan. Walau basah-kering dibuatnya, tak ada pilihan untuk tak menetap sembari menunggu sayup-sayup bantuan.
Kaki-kaki saling beradu sore itu di tanah berumput gundul. Dua tim memamerkan kemampuan ala kadarnya dalam mengolah si kulit bundar. Panas pesisir tak menghalangi semangat warga Dukuh Timbulsloko, Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, kala bermain bola guna melepas penat. Magrib menjadi peluit tanda pertandingan usai. Namun, mulai sekitar tahun 2018 akhir, magrib menjadi salah satu tanda bahwa banjir rob sedang naik-naiknya dan mereka harus segera bersiap.
Gito kini berusia pertengahan dua puluh. Sudah sejak kecil ia tinggal di Dukuh Timbulsloko, atau Mbuloko sebutan bagi warga setempat. Sekarang, ia menyayangkan hilangnya kesempatan anak-anak bermain bola secara leluasa sejak masuknya rob. Dahulu selepas letihnya menjalani hari, Gito selalu bergegas menuju lapangan belakang dukuh. “Setelah rob mulai sampai ke lapangan, kami masih bisa pindah main bola di depan rumah. Sekarang, depan rumah pun sudah air semua,” ujarnya.
Apa-Apa Susah
Permasalahan yang dialami warga Timbulsloko tak berhenti di sebatas sudah tidak bisa bermain bola. Rob benar-benar membuat pola mobilitas warga menjadi runyam. Kini, air rob sudah menggenangi lantai rumah mereka. “Ya Allah Gusti, kelep kabeh. Rumah langsung kocar-kacir, ambruk kabeh terkena dorongan air laut sama angin besar,” ingat Sunhaji, ketua RT 05 RW 07 Dukuh Timbulsloko, yang hari-harinya juga menjadi takmir masjid. Peristiwa mengerikan itu masih terpatri tajam di benak Sunhaji.
Menurut Eka Handriana, penulis buku Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung, rob mulai masuk daerah Timbulsloko sekitar tahun 2012. Di samping tuturannya, hasil penelitian Eka juga mengungkapkan bahwa awalnya air yang menggenangi rumah warga Timbulsloko berasal dari luapan Kali Tengah yang berada di tengah-tengah dukuh. “Mereka tidak berpikir luapan sungai itu akan menjadi seperti sekarang,” terang Eka.
Desa lain di Kecamatan Sayung yang terletak di barat daya justru merasakan air rob masuk lebih dulu. Tambak Sari, Rejo Sari, dan Mondoliko menjadi desa pertama terdampak rob. Pembangunan yang terus-menerus di kawasan pesisir Semarang-Demak menyebabkan permukaan rob kian meninggi. “Nah, ini warga menandainya gini. ‘Kok air tambah tinggi ini berbarengan dengan pembangunan?’ pasti begitu menandainya,” lanjut Eka. Salah satu proyek terakhir yang berada di sekitar kawasan pesisir tersebut adalah pembangunan Jalan Tol Semarang-Demak yang terintegrasi dengan Tanggul Laut Kota Semarang (Tol Tanggul Laut Semarang-Demak).
Setelah masuknya rob, pola kehidupan warga berubah drastis. Dahulu, warga Timbulsloko tak ambil pusing jika ingin bepergian ke luar dukuh. Jalanan masih berbentuk tanah dan tidak ada air yang menggenang. “Pada 2014 lalu, warga bikin jalan darurat geladak kayu. Itu untuk jalannya anak sekolah. Kalau tidak begitu, kasihan anak sekolah jalan ke sana,” ujar Sunhaji. Setelah itu, akses jalan sedikit lancar untuk sementara.
Permasalahan tak hanya soal akses untuk anak sekolah. Dengan akses mobilitas yang terbatas, kerja-kerja sosial juga terhambat. Salah satu contoh adalah ketika ada warga Timbulsloko yang meninggal. “Kuburan tenggelam semua. Kalau sudah darurat, ya, harus dimakamkan di Kudus atau Semarang. Bayar lima juta,” terang Sunhaji. Saat rob sedang besar-besarnya, pemakaman warga yang meninggal harus ditunda sampai rob perlahan menyurut.
Akses dalam maupun luar desa sama saja susahnya. Gito adalah salah satu warga yang memiliki pekerjaan di luar desa. Namun, menurutnya, bekerja di luar desa bukanlah satu-satunya solusi. Ketika rob sedang naik, keluar dukuh saja ia harus membawa celana ganti. Satu celana ia gunakan untuk menyeberangi rob, satunya lagi ia pakai untuk bekerja.
Begitu pula saat pulang dari bekerja, celana basah yang tadi Gito gunakan menempel lagi di badannya. “Itu dulu sebelum ada jembatan kayu,” kenang Gito. Walau akses intradesa cukup terbantu setelah adanya jembatan kayu, akses keluar desa untuk menghubungkan desa dengan jalan raya utama masih sulit. Untuk mengakses jalan raya tersebut, warga mengandalkan satu-satunya jalan timbunan tanah (urukan-red) yang kadang juga tenggelam bila rob sedang tinggi-tingginya.
Warga Timbulsloko harus naik perahu jika ingin keluar desa bila jalan urukan tersebut tenggelam. Perahu pun tak gratis, lima ribu rupiah untuk sekali perjalanan. Tak heran, Nursaleh, teman satu dukuh Gito, sempat berkelakar bahwa biaya hidup warga Timbulsloko bisa menyaingi biaya hidup ibu kota. “Bayangin, tiap mau kerja harus naik perahu pulang-pergi. Belum kalau mau beli gas atau keperluan lain, harus keluar uang lagi,” keluh Nursaleh.
Tak hanya Gito seorang, hampir semua masyarakat Timbulsloko terpaksa bekerja di luar desa meski terhalang akses mobilitas yang sulit. Hal ini merupakan imbas dari hilangnya lahan pertanian dan pertambakan akibat ganasnya rob. “Dulu, di sini segala bidang enak. Contohnya pertanian padi, bahkan saya bisa panen 3–4 ton,” terang Sunhaji.
Mulai tahun 2012, lahan tani milik Sunhaji tak seproduktif sebelumnya. Bahkan, lambat laun, lahan tersebut tak lagi bisa ditanami. Lahannya rusak karena bercampur dengan asinnya air laut imbas rob. Mau tidak mau, para petani mulai memikirkan opsi mata pencaharian lain. “Karena kalau situasi ini ditunggu terus, yo awak dewe sing ‘rusak’,” terang Sunhaji.
Selain sulitnya akses jalan, kesulitan lain yang menggelayuti saban hari adalah ketersediaan air bersih. Betapa berharganya air bersih bagi para warga dapat tergambar dalam cerita Rusika. Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-harinya berjualan di teras rumahnya.
Sulitnya mengakses air bersih mengharuskan warga untuk memutar otak. Rusika bersama warga lainnya harus bahu-membahu memompa air sumur dengan pompa hasil swadaya. “Air [dari pompa-red] ini kan lumayan, ya bisa membantu walau asin, tetapi malah sering mati,” ucap Rusika sambil menunjuk lokasi pompa swadaya yang ada di tengah dukuh.
Ketika BALAIRUNG berkunjung ke Timbulsloko (03-06) pun, akses air bersih dari pompa swadaya masyarakat tidak berfungsi. Masyarakat membutuhkan waktu dua hingga tiga hari untuk mampu memperbaiki masalah tersebut. Selama masa itu, mereka harus bertahan dan hanya bisa mengandalkan akses air yang hanya tersedia di masjid dukuh. Akses air dari masjid seakan menjadi oasis bagi masyarakat di tengah kepungan air asin yang ada di bawah kaki mereka.
Secercah harapan muncul ketika sebuah organisasi lingkungan bernama Greenpeace datang. Keperluan vital masyarakat seperti akses terhadap air dimaksimalkan oleh Greenpeace. Pembangunan pompa air berbasis tenaga surya yang mereka inisiasi diharapkan mampu mengembalikan hak warga atas air. Selain itu, penerangan berbasis tenaga surya juga turut dibangun guna menekan tagihan listrik.
Swadaya agar Berdaya
Warga menghimpun segala yang mereka punya guna mempertahankan kehidupan di dukuh. Anggaran desa yang tak seberapa juga turut dikerahkan. Pasalnya, bantuan dari pemerintah daerah hanya sebatas papan-papan kayu dan tripleks. Itu pun pada akhirnya harus mereka olah dan kerjakan sendiri. “Tetep masih habis [uang-red] banyak, Mas. Soalnya hanya sebatas material,” keluh Rusika.
Lebih lanjut, upaya untuk mempertahankan rumah dari air yang menerjang gencar dilakukan warga Timbulsloko. Bangunan rumah yang ditinggikan adalah contoh konkretnya. Dengan bahan material seadanya, mereka secara mandiri berusaha untuk memperbesar jarak antara kaki-kaki mereka dengan air laut yang kian naik. “Pertama 2019, kemudian pada 2022 tenggelam kembali saat Tanjung Mas jebol. Padahal sudah saya naikkan 95 senti loh,” tutur Rusika.
Bak maling di malam hari, air laut kerap menerjang ketika warga terlelap dalam tidurnya. Meski rumah tersebut sudah ditinggikan, beberapa warga tetap harus berjaga guna mengantisipasi pasangnya air laut yang tak terduga. “Tidurnya warga itu jarang-jarang, Mas. Kalau kebanyakan tidur, takutnya pas ada ombak besar tidak bisa dibangunkan. Setiap hari harus ada yang jaga,” jelas Sunhaji.
Alih-alih hanya bertahan dari gempuran rob, warga mulai coba memperbaiki hulu dari segala penderitaan ini. Gerakan penanaman sejuta mangrove pun dilakukan melalui Forum Masyarakat Desa Timbulsloko. Penanaman diharapkan dapat menanggulangi air yang masuk. Tak hanya itu, mangrove yang mereka tanam diharapkan mampu memecah gelombang air sehingga meminimalisasi abrasi yang menerjang kawasan pemukiman.
Berutang atau Tenggelam
Meski banjir rob sangat serius menghambat kehidupan di dukuh, warga Timbulsloko tetap bertahan dan berusaha menjalani kehidupan senormal mungkin. Alasan jalan itu dipilih, menurut Nursaleh, adalah karena tingginya biaya pindah untuk mendirikan rumah di luar desa. “Kemampuan biaya dan materi untuk pindah atau beli tanah itu enggak ada,” tutur Nursaleh. Jangankan untuk pindah ke luar desa, biaya untuk mencukupi kebutuhan harian saja bisa dua kali lipat dibanding desa lainnya.
Alasan lain yang membuat mereka tidak bisa pindah adalah harga jual tanah dan tambak untuk pembangunan rumah yang rendah. Maklum saja, tertutupnya tanah dengan air membuat siapa pun berpikir dua kali untuk membeli. Faktor seperti akses masuknya material, biaya operasional, dan tenaga kerja yang minim turut menjadi sengkarut lainnya. “Makanya pada bertahan di sini, hanya dibikin rumah panggung udah bagus, yang penting enggak bocor,” ungkap Nursaleh.
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melalui Pemerintah Kabupaten Demak setempat sebenarnya sudah menawarkan bantuan untuk mempermudah kepindahan. Bantuan tersebut dalam implementasinya menggandeng pihak pengembang dan bank. Syarat wajib bagi warga agar dapat diberi bantuan material senilai 50 juta rupiah adalah memiliki tanah di luar dukuh.
Bila tidak punya tanah, warga diberi opsi untuk mengangsur. Menurut Sunhaji, hal ini justru membebankan warga dengan penghasilan yang tak seberapa. “Lah, kita ini sudah tua-tua suruh mengangsur bagaimana? Nanti kalau yang tua mati, yang mengangsur anak-anaknya, malah bikin beban buat keturunannya,” tuturnya.
Warga dibikin bingung dengan banyaknya syarat yang susah dipenuhi. Alhasil, bantuan hanya dirasakan oleh segelintir warga. Nursaleh mengaku hanya orang-orang terdekat perangkat desa-lah yang menikmati program tersebut. “Masyarakat tak meminta tempat mewah, melainkan hanya relokasi serentak dari pemerintah ke tempat yang lebih layak,” terang Nursaleh.
Kunjungan berbagai pihak merupakan fenomena sehari-hari bagi warga Timbulsloko. Mulai dari pemerintah daerah, mahasiswa, hingga peneliti mancanegara yang ingin mengetahui keadaan Timbulsloko secara langsung. Namun, menurut Nursaleh, kadang mereka hanya fokus mencari data, tanpa berbaur dengan warga.
Terkadang Nursaleh merasa warga tidak mendapat apa-apa dari beberapa kunjungan tersebut. Sepengalamannya, tidak pernah ada komunikasi yang serius dari pemerintah. Proposal-proposal permohonan bantuan relokasi pun acapkali hanya dibalas janji-janji oleh pemerintah setempat. “Pak camat, Polda, Polres semua sudah pernah ke sini, kecuali yang rambut putih itu [Ganjar Pranowo-red]. Hahaha,” ucap Nursaleh sambil terkekeh.
Warga yang diombang-ambing dengan banyaknya syarat serta minim perhatian dari pihak pemangku kebijakan tak kunjung menemukan titik terang. “Kayak ayam dilepas enggak ada rumah, gampangnya kan ibaratnya begitu. Yang beruntung, ya dapat. Yang tidak, mbok sampe ambruk yo ndak dapet,” pungkas Rusika memecah keheningan suasana di tengah kesunyian malam.
Reporter: Ananda Ridho, Bayu Tirta Hanggara, Cahya Saputra, Catharina Maida, Muhammad Fariz Ardan, M. Ihsan Nurhidayah, Ryzal Catur, dan Surya Intan Safitri
Penulis: Ananda Ridho dan Muhammad Fariz Ardan
Penyunting: M. Fahrul Muharman
Fotografer: Bayu Tirta Hanggara dan Ryzal Catur