Dangdut senantiasa berada pada jerat-jerat kuasa. Belum selesai dengan rezim Rhoma, kali ini dangdut dihadapkan pada bayang-bayang rezim warisan. Alih-alih lestari, keberlangsungan dangdut justru kian rawan dengan dikuasainya dangdut dengan ragam kepentingan di baliknya Â
Kuasa rezim Rhoma masih berlanjut dan kian mencengkram dengan pengajuan dangdut sebagai warisan budaya tak benda (intangible cultural heritage) UNESCO. Usulan yang diinisiasi oleh sang âRaja Dangdutâ lewat Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Artis Musik Melayu-Dangdut Indonesia (DPP-PAMMI) sejak 2010-an ini lantas diseriusi oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Uno. Dilansir dari detiknews, tujuan utama pengajuan ini adalah untuk menyatakan kepemilikan negara atas dangdut dan mencatatkan dangdut ke dalam daftar inventaris warisan budaya tak benda UNESCO.Â
Berkedok inisiasi penyelamatan dangdut, Menparekraf justru berpotensi merenggut praktik budaya dangdut dari rakyat (baca: pemilik budaya sebenarnya). Sebabnya, penyelamatan budaya melalui penginventarisan UNESCO bukanlah jawaban tepat dalam upaya melanjutkan keberlangsungan budaya. Sebaliknya, rencana ini justru akan mengubah suatu bentuk budaya (Throtha 2011). Dangdut yang lahir dan tumbuh besar dari rakyat akan kian terpinggirkan karena dikuasai oleh segelintir pihak saja (Raditya 2021; Weintraub 2006).
Saling Ribut Berebut Warisan BudayaÂ
Gagasan penyelamatan warisan budaya tak benda pertama kali dicetuskan oleh UNESCO dalam Konvensi Penyelamatan Warisan Budaya Tak Benda pada 2003. Konvensi tersebut menghasilkan beberapa pakem terkait kepantasan budaya tak benda yang bisa dilestarikan (UNESCO 2003). UNESCO mengeklaim bahwa upaya penyelamatan ini ditujukan untuk memelihara keberlanjutan budaya melalui legitimasi kepemilikan budaya. Namun dalam praktiknya, legitimasi yang diberikan kepada negara tidak serta-merta sejalan lurus dengan program penyelamatan budaya. Sebaliknya, dengan adanya peran negara, kearifan budaya yang dilestarikan warga hilang secara perlahan; bentuknya berubah dan tujuannya bergeser (Kozymka 2014; Eichler 2020).
Sebelum mendapatkan legitimasi, negara-negara harus mengajukan dan melewati proses seleksi bertingkat, mulai dari tingkat lokal, regional, hingga global. Proses ini berpotensi memarjinalkan peninggalan dan memori sejarah tertentu. Pasalnya, tak semua warisan budaya sesuai dengan pakem yang telah ditentukan oleh UNESCO. Maka, muncul diskursus yang berkembang mengenai proses âwarisanisasiâ. Warisanisasi merupakan bentuk penyeleksian terhadap layak tidaknya penyematan âgelarâ warisan budaya atas sesuatu. Hasilnya, hanya sebagian budaya saja yang pantas untuk dilestarikan (Bendix 2009).
Warisan budaya kemudian dipandang mempunyai nilai sosial tinggi. Selain itu, dianggap mampu mendorong identifikasi positif bagi pendaku warisan, dalam hal ini negara-negara peserta PBB (Bendix 2009). Pada gilirannya, eksistensi warisan budaya ini mengalami kontradiksi. Warisan budaya diperlihatkan sebagai hasil suatu konteks budaya tertentu; ada aktor-aktor yang diklaim berhak atas âhak asuhâ warisan budaya tersebut. Namun, di lain sisi, adanya sertifikasi ini menandakan bahwa seluruh masyarakat global bisa berbagi nilai dalam budaya serta praktiknya.
Penobatan warisan budaya tak benda oleh UNESCO berpotensi besar menghilangkan keunikan budaya lokal karena persaingan idealisme serta kepentingan politis dan ekonomis antar pendaku warisan (Bendix 2019; Throat 2011). Selain itu, masyarakat lokal turut ditundukkan oleh tekanan berupa globalisasi, homogenisasi, serta promosi budaya massa yang pada akhirnya akan melemahkan ekspresi budaya mereka.
Musik dalam Genggaman Rezim Budaya
Proyek pelestarian warisan budaya tak benda banyak menyasar praktik budaya bermusik masyarakat. Setidaknya terdapat dua per tiga budaya jenis musik dari ratusan daftar warisan budaya tak benda UNESCO. Musababnya, musik dalam ragam budaya di seluruh dunia, memiliki keterkaitan erat dengan acara-acara masyarakat, seperti penggunaannya dalam perayaan, ritual adat dan keagamaan, serta bahasa (Broclain, Haug, dan Patrix 2019).
Praktik budaya bermusik berhasil membuat rezim warisan meliriknya sebagai komoditas yang berpotensi meraup kuasa dan menambah pundi-pundi ekonomi. Untuk melihat permasalahan ini mari sejenak kita sambangi dua tradisi musik yang tergerus identitasnya akibat jerat rezim warisan. Di antaranya adalah samba de roda dari Brasil dan cante dari Portugal.
Samba de roda merupakan rangkaian perayaan yang melingkupi tarian, nyanyian, dan pembacaan puisi yang menjadi tradisi masyarakat pesisir Bahia, Brasil. Sekilas penampilan ini mirip dengan penampilan samba yang umum dijumpai di Brasil, bedanya, samba de roda dilakukan secara kolektif sebagai bentuk ritual keagamaan masyarakat Bahia (Sandroni 2010). Sejarah panjang tarian samba memang bermula dari samba de roda sebagai jenis samba yang dibawa dari Afrika dan dilestarikan sebagai bentuk perlawanan terhadap perbudakan oleh masyarakat Bahia.
Samba de roda pertama kali diajukan ke UNESCO oleh pemerintah Brasil pada 2004. Pada awalnya, pemerintah Brasil condong memilih tari samba, secara umum, ketimbang samba de roda. Namun, mengingat tari samba telah dikenal secara luas di mata dunia, maka akan sangat potensial secara ekonomi untuk mengusung samba de roda yang masih minim ekspos media. Ironisnya, alasan ini menjadi yang pertimbangan utama pemerintah Brasil ketimbang mempertimbangkan keberlangsungan baianidade âidentitas Bahianâ itu sendiri (Sandroni 2010).
Sejatinya, gagasan warisan budaya tak benda pada samba de roda tidaklah muncul dari masyarakat Bahia. Bahkan, pasca-penetapan oleh UNESCO pada 2005, masih banyak masyarakat yang tidak tahu-menahu dengan penetapan ini (Sandroni 2010). Untuk mendorong sosialisasi samba de roda, pemerintah Brasil mendirikan asosiasi penari samba de roda (ASSEBA). Upaya ini merupakan perangkap negara agar bisa melepas tangan dengan memaksa ASSEBA untuk menghidupi dirinya secara mandiri.
Dalam praktiknya, kemunculan ASSEBA malah menciptakan konflik horizontal antara orang-orang asosiasi dengan para penari samba de roda. Akibatnya, pertentangan yang terjadi kian menjauhkan agenda penyelamatan dan pemberdayaan masyarakatnya, bahkan berujung pada pelanggengan dominasi atas samba de roda (Sandroni 2010).Setelah menyimak kisah eksklusi budaya di Amerika Latin, mari beralih ke belahan dunia lainnya, tepatnya di Alentejo, Portugal. Wilayah ini terkenal dengan keragaman budayanya, mulai dari tarian, nyanyian, hingga festival kebudayaan. Salah satunya adalah cante. Penampilan cante sendiri dipertunjukkan dalam format akapela. Para pelantun cante ini menjadi pendongeng, lirik mereka melukiskan potret kehidupan pedesaan yang hidup. Dengan teknik polifonik, mereka melantunkan nyanyian perjuangan dan kehidupan petani di masa lampau (Turino 2008).
Cante ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda UNESCO pada 2014 setelah melalui proses pengajuan pada 2011 dan 2012 oleh pemerintah kota Serpa (kota di Alentejo). Pada mulanya, maksud dari pemerintah Serpa adalah untuk mempromosikan daerahnya, tetapi mereka melihat bahwa cante beserta kerajinan lokal lainnya sebagai komoditas bernilai yang dapat meningkatkan konsumsi wisatawan. Upaya ini dibarengi dengan perbaikan infrastruktur kota dan pengadaan acara-acara berbasis industri kreatif.Â
Tak berhenti di situ, pemerintah dan Dewan Pariwisata Serpa menggaet perusahaan swasta untuk memasarkan pencatatan cante serta mengumpulkan dukungan politik dari para elit budaya. Upaya ini pada awalnya gagal karena dalam pengaplikasiannya tidak melibatkan masyarakat sipil. Namun, pemerintah Serpa tidak menyerah. Kali ini, pemerintah mendirikan Casa do Cante ârumah canteâ sebagai bentuk penyelamatan dan promosi budaya. Penetapan cante oleh UNESCO disambut gembira oleh masyarakat portugal hingga Parlemen Portugal turut menekankan cante untuk dijadikan âidentitas masyarakat yang kuatâ (Castello-Branco 2023).
Namun, penetapan cante sebagai warisan budaya tak benda UNESCO tidak semata-mata memberikan manfaat bagi rakyat Alentejo yang benar-benar tekun menjaga budaya ini. Pasalnya, cante sejak awal telah dipandang sebagai budaya yang berpotensi meningkatkan nilai jual lewat pengemasan budaya demi penguatan sektor pariwisata. Padahal keberadaan cante begitu erat kaitannya dengan nilai-nilai kebersamaan dan persahabatan masyarakat Alentejo. Pementasan cante ditujukan sebagai bentuk sarana sosial dan kesepakatan politis dengan menekankan aspek emosional yang melahirkan memori kolektif antar sesama masyarakat Alentejo.Â
Kehadiran rezim warisan berpotensi mengancam nilai yang telah terjaga ini. Ancaman yang diberikan berupa pemakeman budaya demi pembentukan citra internasional dan melestarikan industri wisata. Untuk mencapai tujuan rezim warisan akan cenderung mengubah praktik cante beserta sejarahnya yang berkaitan dengan nilai estetika pada tembang cante (Castello-Branco 2023).Â
Selain itu, para praktisi cante serta masyarakat Alentejo secara keseluruhan masih banyak yang merasa tidak diikutsertakan dalam program pelestarian seperti yang dicanangkan oleh UNESCO. Lebih-lebih, legitimasi cante dikuasai sebagai budaya milik pemerintah kota Serpa saja. Dampaknya, keragaman cante yang berakar dari sejarah musikal dan masyarakat di wilayah Alentejo menghilang lantaran penyeragaman yang ditujukan demi sertifikasi rezim budaya serta pembentukan citra internasional (Castello-Branco 2023).
Praktik penetapan warisan budaya tak benda samba de roda dan cante telah menampakkan cengkeraman rezim budaya dalam merebut budaya dari masyarakat setempat. Dominasi atas kepemilikan budaya berdampak pada terciptanya konflik antar masyarakat sipil dan sering kali menyingkirkan keberlangsungan budaya itu sendiri (De Cesari 2012). Pada akhirnya, rakyat sebagai pemilik sah kebudayaan akan selalu terpinggirkan di bawah kuasa rezim budaya.
Dangdut Tak Butuh Juruselamat
Penyelamatan budaya melalui jalur UNESCO bukan jalan yang tepat karena rawan mendatangkan permasalahan yang justru akan bertolak belakang dengan tujuannya. Sama halnya samba de roda dan cante, dangdut berpotensi bernasib serupa. Identitas dangdut sebagai musik yang cair dan berkembang secara dinamis rentan berkurang. Akibatnya, dangdut bisa jadi tidak lagi utuh sebagai budaya rakyat. Ada pula potensi eksklusivitas budaya yang mengambil jarak terhadap partisipasi masyarakat (Raditya 2013; Raditya 2021). Keberlangsungan dangdut tak akan lagi berada pada tangan rakyat melainkan berada pada cengkeraman kuasa rezim warisan global.
Selain masalah yang muncul pada tataran global, pemerintah Indonesia juga tak bisa semata-mata diberikan kepercayaan untuk mengontrol dangdut. Dalam perkembangannya, pemerintah Indonesia justru tidak menganggap keberadaan dangdut sebagai bentuk ekspresi dan kebudayaan bangsa. Khususnya, di awal era kepemimpinan Soehartoâyang seperangkat media massanya dikuasai oleh pemerintahâdangdut justru disudutkan dengan anggapan musik kampungan (Weintraub 2006).
Eksistensi dangdut lantas diakui bukan sebagai budaya, melainkan karena bisnis dangdut berjalan lancar. Hal ini berdampak pada pemasukan negara berkat penjualan kaset dangdut yang menempati puncak tangga musik Indonesia. Hal ini pun masih belum cukup memberikan ruang ideal bagi dangdut. Pasalnya, industri dangdut hanya dikuasai oleh rezim Rhoma (Joshua 2023).
Upaya pemerintah dalam melestarikan dangdut hanya omong-kosong belaka. Pasalnya dengan mengakui dangdut sebagai budaya nasionalâdan sedang dalam proses dijadikan budaya globalâakan merenggut dangdut sebagai musik rakyat. Dangdut tidak lagi dikenal karena goyangannya atau gaya bermusik yang khas pada setiap daerah. Melainkan dikenal sebagai budaya bermusik yang telah terstandarisasi oleh kepentingan ekonomi dan politik rezim-rezim yang menguasai. Pada akhirnya, rakyat tidak lagi leluasa berekspresikan diri dan berdendang ria dengan dangdut yang menjadi miliknya.
Penulis: Nafiis Anshaari dan Najma Alya Jasmine
Penyunting: Vigo Joshua
Ilustrator: M. Rafi Pahrezi
Daftar Pustaka
ASSEBA. https://asseba.com/
Bendix, Regina, âHeritage between economy and politics An assessment from the perspective of cultural anthropologyâ dalam Key Issues in Cultural Heritage: Series editors: William Logan and Laurajane Smith, diedit oleh William Logan dan Laurajane Smith, 253-267. Oxon: Routledge. Â
Broclain, Elsa, BenoĂźt Haug, dan PĂ©nĂ©lope Patrix. 2019 “Introduction. Music: Intangible Heritage?” Transposition. Musique et Sciences Sociales 8. https://doi.org/10.4000/transposition.4201
Castelo-branco, Salwa El-shawan. 2023. âMusic and the Making of Portugal and Spain.â Music and the Making of Portugal and Spain: Nationalism and Identity Politics in the Iberian Peninsula. Disunting oleh Matthew Machin-Autenrieth, Salwa El-Shawan Castelo-Branco, Samuel Llano. 247â266. Illinois: University of Illinois Press.
De Cesari, Chiara. 2012. “Thinking through heritage regimes.” Heritage regimes and the state 6: 399-413.
Eichler, Jessika. 2020. Intangible Cultural Heritage under Pressure? Examining Vulnerabilities in ICH Regimes-Minorities, Indigenous Peoples and Refugees. DEU.
Hefele, Anna-Maria. âPolyphonic Overtone Singing – by Anna-Maria Hefeleâ. Anna-Maria Hefele. Youtube. 1 Oktober 2014. Â
Joshua, Vigo. 2023. âDendang Dangdut Koplo Menggoyang Status Quo.â Balairungpress. https://www.balairungpress.com/2023/12/dendang-dangdut-koplo-menggoyang-status-quo/.
Kozymka, Irena. 2014. The Diplomacy of Culture: The Role of UNESCO in Sustaining Cultural Diversity. New York: Palgrave Macmillan.
Puspitasari, Devi. 2022. âAjukan Dangdut Jadi Warisan Budaya Tak Benda, Sandiaga Temui Rhoma Irama.â Detiknews. 7 Desember 2022. https://news.detik.com/berita/d-6449003/ajukan-dangdut-jadi-warisan-budaya-tak-benda-sandiaga-temui-rhoma-iramaÂ
PAMMI. https://pammi.co.id
Raditya, Michael HB. “Dangdut Koplo: Selera Lokal Menjadi Selera Nasional.” Jurnal Seni Musik 2, no. 2 (2013).
Raditya, Michael HB. 2021. Yang Perlu Diperhatikan Sebelum Dangdut Didaftarkan ke UNESCO. Dangdut Studies. 22 Februari 2021. https://dangdutstudies.com/yang-perlu-diperhatikan-sebelum-dangdut-didaftarkan-ke-unesco/Â
Robertson-von Trotha, Caroline Y. 2011. âCultural Heritage: Dilemmas of Preservation in the Midst of Changeâ. SUSTAINABLE DEVELOPMENT: Relationships to Culture, Knowledge and Ethics. Disunting oleh Oliver Parodi, Ignacio Ayestaran, dan Gerhard Banse. 175â186. Karlsruhe: KIT Scientific Publishing.
Sandroni, Carlos. 2010. “Samba de roda, supernal heritage of humanity.” Estudos Avançados 24: 373-388.
Turino, Thomas. 2008. Music as social life: The politics of participation. University of Chicago Press.
UNESCO. âWhat is Intangible Cultural Heritage?â. https://ich.unesco.org/en/what-is-intangible-heritage-00003
UNESCO. âText of the Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage.â https://ich.unesco.org/en/convention
Weintraub, Andrew N. 2010. Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music. N.p.: OUP USA.
Weintraub, Andrew N. 2007. “Dangdut soul: Who are âthe peopleâin Indonesian popular music?.” In Entertainment media in Indonesia, pp. 76-96. Routledge. https://journals.openedition.org/transposition/docannexe/image/4201/img-1.pngÂ