“Ketika berbicara tentang musik, tidak ada telinga yang tidak tahu apa pun,”
(Gracyk 2007, 99).
Sering kali, penilaian keindahan terhadap musik masih terbagi dalam kategori musik yang luhur dengan musik rendahan. Musik yang luhur merupakan musik-musik yang memiliki aransemen rumit ataupun memberikan keindahan yang tidak dapat dijelaskan (je ne sais quoi) kepada pendengar (Gracyk 2022a, 7). Karakteristik musik seperti itu yang sering dimaknai sebagai “musik” di dalam diskursus estetika daripada musik-musik yang sering kita dengarkan di radio, televisi, atau platform streaming.
Musik yang terlampau populer di masyarakat dianggap tidak mampu memiliki sifat-sifat estetika apa pun. Alasannya, musik populer terlalu sederhana secara struktur musik yang seragam dengan musik populer lainnya. Selain itu, musik populer juga dianggap terlalu tunduk pada industri musik yang memprioritaskan keuntungan daripada nilai-nilai artistik. Realitas tersebut memang tidak terbantahkan. Namun, bukan berarti musik populer tidak mempunyai sifat-sifat keindahan yang pantas untuk dilekatkan padanya. Estetika musik populer bukan terdapat pada keindahan yang tidak terjelaskan di dalamnya, tetapi ada pada persepsi dan pengalaman yang dimiliki pendengarnya.
Fabrikasi Pendengar
Penolakan keras terhadap musik populer datang dari filsuf asal Jerman, Theodor W. Adorno (1903—1969) kala musik jazz mulai menjamur di kalangan masyarakat. Ia mengkritik musik jazz telah gagal sebagai karya seni karena tidak mampu menunjukkan makna seni sesungguhnya (Gracyk 1992, 528). Makna seni yang dimaksud Adorno ialah musik secara otonom hadir sebagai seni, bukan sebagai pelayan praktik-praktik lain (Hamilton 2011, 394). Musik, yang seharusnya bersifat kritis dan reflektif, menjadi tumpul karena ilusi yang dihadirkan oleh industri budaya. Hal inilah yang Adorno maksudkan sebagai pseudo-individualisasi, yang membuat individu-individu percaya dengan makna, ekspresi, dan selera fabrikasi dari industri. Tidak hanya berlaku bagi musik jazz, kritik tersebut juga dimaksudkan untuk ragam lain dari musik populer.
Ilusi artistik pada musik populer terjadi akibat fungsi musik yang telah berubah menjadi komoditas dengan terbentuknya standardisasi musik (Adorno 1978, 129). Standardisasi musik ini merupakan penyamarataan struktur musik dengan bagian yang mudah dikenali dan dapat diterima secara umum (Paddison 1982, 206). Struktur musik populer hanya terbagi atas verse, bridge, dan chorus, sehingga musik memiliki struktur yang sangat sederhana dan terdengar sama satu dengan lain. Bila dilihat dari tujuan musik populer sebagai komoditas industri, standardisasi struktur memang diperlukan agar musik selalu siap pakai.
Kemudian, permasalahan standardisasi pada musik populer pun menjangkiti cara pendengar sewaktu mendengarkan (listening) dan mengapresiasi (appreciating) musik. Pendengar musik populer hanya mendengarkan musik secara pasif tanpa memperhatikan detail kompleks dari sebuah musik. Misalnya, hal tersebut dapat dicontohkan melalui pendengar pasif yang diasumsikan tidak mampu menangkap perjalanan dramatis dan intensnya ekspresi dalam Symphony No.5 milik Ludwig van Beethoven, karena tidak memerhatikan integrasi antara ritme dengan harmoni di setiap movement. Musik populer membuat pendengar hanya mendengarkan melodi yang mudah diingat, ritme yang repetitif, instrumen yang mencolok, dan lain sebagainya. Aktivitas mendengarkan musik yang berubah menjadi pasif akibat standardisasi itu Adorno sebut sebagai kemunduran mendengarkan (Paddison 1982, 206).
Kemunduran mendengarkan musik menjadikan musik hanya sebagai sebuah hiburan dan distraksi pada waktu luang. Musik telah kehilangan esensinya sebagai sebuah karya seni yang otonom, menuntut kebermaknaan yang kritis, dan keindahan yang luhur. Musik populer telah membentuk jenis musik yang membuat pendengar tunduk secara total terhadap kapitalisme dengan mengendalikannya melalui struktur musikal yang monoton. Bagi Adorno, musik populer tidak lebih baik, bahkan, dari musik murni yang buruk sekalipun. Musik populer tidak lebih dari sekadar musik rendahan yang tidak memiliki sifat keindahan apa pun (Adorno 1976, 32; Gracyk 1992, 538).
Estetika Tak Hanya Milik Musik Klasik
Kritik yang disampaikan oleh Adorno menjadi begitu melekat pada musik populer sehingga diskursus tentang estetika musik masih berputar pada musik klasik. Namun, seiring dengan masifnya perkembangan ragam dan genre musik populer, narasi perlawanan terhadap tidak adanya unsur keindahan dalam musik populer mulai terjadi. Salah satu filsuf asal Amerika Serikat, Theodore Gracyk, berargumen bahwa musik populer—khususnya musik rock—dapat memiliki nilai estetika untuk dipertimbangkan dan diapresiasi. Argumennya berangkat dari kritik yang dilayangkan Adorno terhadap musik populer.
Bagi Gracyk, Adorno telah keliru dalam menggunakan kerangka sejarah musik ketika mengkritik musik populer. Dalam membangun kritiknya, Adorno menarik satu garis sejarah dan logika yang sama antara musik populer dengan musik klasik. Adorno menyamakan musik populer dapat diinterpretasikan sebagai objek seni yang otonom, sama seperti musik klasik. Pembacaan musik sebagai seni yang otonom dengan komposisi yang unik dan dipengaruhi kejeniusan musisi sangat melekat dalam dogma estetika seni rupa murni (Gracyk 1996, 165).
Hal tersebut jelas terlihat saat Adorno mengkritik struktur musik populer yang monoton akibat fetisisme terhadap industri musik. Akan tetapi mayoritas musik populer berasal dari tradisi musik Afrika dan musik folk Eropa sehingga tidak dapat dilihat dalam tradisi musik masyarakat kelas atas Eropa saja (Gracyk 1996, 171). Gracyk menjelaskan bahwa seharusnya musik populer dilihat bukan sebagai bagian dari seni rupa murni, melainkan seni massa atau mass art (Gracyk 2007, 14—15). Pemahaman musik populer sebagai seni massa selaras dengan pemanfaatan teknologi rekaman sebagai medium keterjangkauan musik populer kepada pendengarnya (Gracyk 2001, 19).
Penggunaan logika sejarah yang keliru juga membuat kritik Adorno mengenai pseudo-individualisasi saat mendengarkan musik populer pun menjadi keliru. Ia tidak melihat kemungkinan ekspresi personal yang terbentuk dalam skala yang lebih kecil pada berbagai subgenre musik populer tertentu. Gracyk mengambil contoh heavy metal sebagai kontra narasi pseudo-individualisasi pada musik populer.
Musik heavy metal memiliki ciri khas suara yang mudah untuk membedakannya dengan musik rock pada umumnya. Getaran gitar yang terdistorsi, debuh drum yang kuat dalam ritme yang padat, serta suara vokal yang agresif menjadi karakteristik universal dari musik heavy metal. Namun, setiap grup musik berorientasi heavy metal pasti memiliki ciri khas yang membedakannya dengan grup musik heavy metal lain. Entah satu band menganut gaya trash metal yang bertempo cepat, doom metal yang fokus pada atmosfer lagu, atau nu metal yang memadukan metal dengan hip hop.
Sebut saja dua band metal asal Bandung, Seringai dan Burgerkill, yang memiliki karakteristiknya sendiri, meski sama-sama memainkan musik metal. Seringai sangat menonjol pada permainan gitarnya yang terdengar sangat padat dan rapi bila dibandingkan dengan Burgerkill yang lebih menonjol pada permainan drum yang cepat. Perbedaan lain juga terdapat dalam cara vokalis masing-masing band menyanyikan lagu. Vokalis Seringai tidak banyak melakukan scream saat bernyanyi, mereka lebih mengandalkan suara vokalis yang serak apa adanya. Berbeda dengan Seringai, vokalis Burgerkill lebih sering bernyanyi dengan scream sehingga lagu-lagu mereka terdengar lebih agresif.
Perbedaan-perbedaan kecil yang terjadi di dalam setiap genre-genre musik populer menjadi bentuk ekspresi diri unik yang dimiliki setiap genre musik populer. Gracyk menyebutnya sebagai “kosakata” (common vocabulary) yang dapat dipahami oleh komunitas pada setiap genre musik populer (Gracyk 1996, 152). Pemahaman kosakata ini dapat berbentuk tekstual, musikal, dan visual. Ekspresi diri yang terjadi pada musik populer tidak terjadi satu arah seperti yang dipahami Adorno, tetapi terdapat peran pendengar dan peluang pasar yang dapat menerimanya. Maka dari itu, Gracyk juga mengatakan bahwa musik populer mampu melampaui batas-batas antarbudaya, kelas, hingga bangsa; meski tidak dapat dilepaskan dari tujuan komersial (Gracyk 1996, 218).
Berdasarkan kekeliruan Adorno dalam kritiknya, semakin jelas bahwa argumennya berada dalam sudut pandang sebagai seorang elitis yang sangat condong pada budaya Eropa yang luhur. Adorno tidak salah mengklaim musik populer yang membuat pendengarnya tidak kritis dengan musik yang sedang didengarkan. Namun, Adorno gagal melihat bahwa ketidak-kritisan itu dapat diruntuhkan dari komunitas yang terbentuk di dalam musik populer sendiri.
Pengalaman Mendengar sebagai Estetika
Saat membicarakan filsafat atau estetika musik, Gracyk merasa seharusnya musik yang dibicarakan adalah musik-musik yang sering didengarkan oleh mayoritas populasi bukan sebaliknya. Pembelaan Gracyk terhadap musik populer pun dilatarbelakangi karena dia juga pendengar musik-musik populer dari Elvis Costello, Led Zeppelin, dan Black Sabbath. Ia merasa bahwa pendekatan estetika terhadap musik populer masih sangat elitis dan Eropa sentris sehingga mengelompokkannya ke dalam kultur rendahan (Gracyk 2007, 34). Musik populer diperlakukan sama seperti musik klasik yang membutuhkan kompetensi dan pendidikan khusus untuk mendapatkan pengalaman secara estetik. Pendekatan estetika tradisional masih luput menyadari bahwa pendengar musik populer adalah orang-orang awam tanpa pendidikan musik secara formal (Gracyk 2008, 8). Maka dari itu, Gracyk membangun teori estetikanya dengan menitikberatkan partisipasi pendengar yang tidak memiliki latar belakang apa pun mengenai musik.
Gracyk menggunakan kerangka pikir estetika sehari-hari atau everyday aesthetics dalam argumennya membela kepemilikan estetika musik populer. Estetika tidak lagi terbatas hanya tentang seni, tetapi juga dapat ditemukan di benda sehari-hari bahkan objek alam sekitar. Pandangan ini memungkinkan pengalaman apa pun yang dirasakan manusia terhadap objek apa pun dapat menjadi pengalaman estetika (Gracyk 2007, 40). Dalam konteks musik populer yang sangat dekat dengan situasi apa pun di dalam kehidupan, ia sangat memungkinkan untuk memberikan pengalaman estetik bagi manusia. Meskipun begitu, perlu digarisbawahi pula bahwa tidak semua musik populer memiliki daya tarik estetika yang mampu mengantarkan pengalaman estetika dengan baik.
Pengalaman estetika saat mendengarkan musik populer, bagi Gracyk, bergantung pada kemampuan persepsi pendengarnya. Kemampuan ini dia bagi menjadi dua, yakni kemampuan mengenali gaya dan kemampuan strategis (Gracyk 2007, 77). Kemampuan mengenali gaya bermusik adalah cara pendengar dapat membedakan gaya bermusik yang satu dengan yang lain secara umum. Pendengar musik metal akan menyadari That’s The Spirit milik Bring Me the Horizon lebih serupa album musik rock populer daripada musik metal. Contoh lain lagi, ketika Reality Club merilis What Do You Really Know? pendengar dapat menyadari bahwa album tersebut terdengar cukup identik dengan gaya bermusik Arctic Monkeys.
Selanjutnya, kemampuan strategis adalah kemampuan pendengar untuk menangkap daya tarik yang mencolok dan penting dari suatu musik. Kemampuan strategis ini memperkaya alasan suatu musik dikatakan ekspresif secara estetik. Misalnya, lagu “Nobody” dari Mitski mengantarkan perasaan sedih dengan alunan musik yang kontradiktif. Mitski seakan mengundang pendengar untuk merayakan kesedihan dan kesepian. Dua kebiasaan mendengarkan sangat berperan penting dalam penilaian estetika dari Gracyk yang hanya terbagi menjadi dua kategori umum, yakni penilaian instrumental dan noninstrumental.
Gracyk melanjutkan bahwa mendengarkan musik juga dipengaruhi pengalaman yang dialami sebelumnya (Gracyk 2007, 96). Baginya, perbedaan antara mendengarkan (listening) dengan mendengar (hearing) ada pada pemahaman konseptual seseorang tentang musik pada pengalaman sebelumnya (Gracyk 2007, 147). Konsep ini kontras dengan doktrin estetika tradisional mengenai aktivitas mendengarkan yang harus aktif dan terbatas hanya pada struktur musik. Pendengar musik populer yang tidak terlatih secara khusus dalam mendengarkan musik mengandalkan pengalaman sebelumnya sebagai modal awal memahami musik. Pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya itulah yang membentuk kebiasaan mendengarkan seseorang.
Dalam konsep estetika Gracyk, musik populer dan pendengar dapat mempunyai hubungan kepemilikan secara kolektif. Hal ini menjadikan musik tidak lagi hanya tentang struktur yang rumit atau daya kritis mendengarkan musik. Musik populer dapat membuat pendengar awam mengapresiasi keindahan sebuah musik tanpa ada kerumitan di dalamnya. Pada akhirnya, komunitas pendengar musik populer yang terbentuk menguatkan musik populer sebagai sebuah hasil budaya yang dibentuk oleh dan untuk masyarakat.
Penulis: Elsya Dewi
Penyunting: Albertus Arioseto
Ilustrator: Parama Bisatya
Daftar Pustaka
Adorno, Theodor W. 1976. Introduction to the Sociology of Music. N.p.: Seabury Press.
⸻. 1978. On The Social Situation of Music. Telos, 35, 128-164.
Gracyk, Theodore. 1992. Adorno, Jazz, and the Aesthetics of Popular Music. The Musical Quarterly, 76(4), 526-542.
⸻. 1996. Rhythm and Noise: An Aesthetics of rock. Duke University Press.
⸻. 2001. I Wanna be Me: rock Music and the Politics of Identity. Temple University Press.
⸻. 2007. Listening to Popular Music: Or, How I Learned to Stop Worrying and Love Led Zeppelin (Tracking Pop). University of Michigan Press.
⸻. 2015. “The Taste of Metal.” Direkam 5 Maret pada Topics in Aesthetics of Music and Sound. Video, 12:23. Diakses melalui
⸻. 2022a. Making Meaning in Popular Song: Philosophical Essays. London: Bloomsbury Academic.
⸻. 2022b, 27 September. Popular Music and Authenticity: A Discussion with Theodore Gracyk. Direkam 27 September pada Philosopher Discussing Art. Video, 1:32-1:33. Diakses melalui
Hamilton, A. 2011. Adorno. Dalam T. Gracyk & A. Kania (Eds.), The Routledge Companion to Philosophy and Music (pp. 391-402). Taylor & Francis.
Paddison, M. 1982. The Critique Criticised: Adorno and Popular Music. Popular Music, 2, 201-218. 10.1017/S026114300000129X
Saito, Yuriko. 2015. Aesthetics of the Everyday. Stanford Encyclopedia of Philosophy. https://plato.stanford.edu/entries/aesthetics-of-everyday/.