Pemerintah Indonesia mendorong agenda ekonomi biru sebagai bagian komitmen menjaga kelestarian alam. Berkebalikan dengan tujuan utamanya, komitmen ini justru perlahan memberangus nelayan tradisional.
Belakangan ini, modernisasi di sektor perikanan mendorong pertumbuhan yang serba cepat untuk memenuhi kebutuhan pasar. Dalam pemanfaatan sumber daya perikanan tersebut, pasar dunia kelautan telah dikenalkan pada suatu konsep bertajuk âekonomi biruâ. Konsep ini dikenalkan oleh seorang ekonom bernama Gunter Pauli dalam rangka mempersiapkan Conference of The Parties (COP) 3 di Jepang pada tahun 1997. Produk akhir dari pemikiran Pauli dituangkan dalam buku yang berjudul Blue Economy: 10 Years, 100 Innovations, 100 Million Jobs (2015).Â
Dalam bukunya, Pauli mendefinisikan ekonomi biru sebagai konsep ekonomi yang berkelanjutan dengan mengutamakan aspek lokal dan keberlangsungan alam. Konsep ini juga bertujuan mengembangkan ekonomi lokal serta memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat sekitar. Dalam konteks industri kelautan dan perikanan, ekonomi biru mendorong maksimalisasi potensi laut melalui penguatan industri kelautan dengan tetap memperhatikan kelestariannya (Johnson, Dalton, dan Masters 2018).
Ekonomi Biru Tak Seindah ItuÂ
Berbicara mengenai potensi laut dan industri perikanan, tentu keberadaan nelayan tidak dapat diabaikan. Di Indonesia sendiri, sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional (kecil) yang kapasitas tangkapannya terbatas (Betke 1988). Kondisi ini dibuktikan oleh data yang menunjukkan hampir 96% kapal penangkap ikan di Indonesia masih berkapasitas di bawah 10 gros ton. Sayangnya, meskipun populasi nelayan tradisional di Indonesia mendominasi, hasil tangkapan ikannya justru hanya sebesar 20% dari jumlah tangkapan nasional (Napitupulu dan Tanaya 2023).
Apabila ditinjau lebih dalam, pandangan para pemangku kebijakan terhadap konsep ekonomi biru ini seolah terpaku pada agenda âmaksimalisasi potensi lautâ yang ditandai oleh dominasi kepentingan korporasi untuk melakukan eksploitasi seluas-luasnya (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia 2022). Dalam hal ini, nelayan-nelayan modern atau industri perikanan skala besar tampaknya dinilai lebih mampu untuk mewujudkan agenda tersebut. Di lain sisi, kontribusi nelayan tradisional di Indonesia rentan untuk dipinggirkan.
Realitas terpinggirkannya nelayan tradisional di Indonesia menunjukkan bahwa ekonomi biru tidaklah seindah itu. Sejak lama, pemerintah memang telah sering mengeluarkan kebijakan yang mengontrol dan menguasai kepemilikan atas ruang dalam sektor kelautan dan perikanan. Terbukti, sejak tahun 1990-an, konflik kontrol dan perebutan atas ruang kelautan kian meningkat (Mallin dan Barbesgaard 2020). Hal ini mengindikasikan tingginya konflik spasial akibat kontrol yang dimiliki oleh pemerintah atas laut. Terlebih, dengan agenda ekonomi biru ini, pemerintah seolah memiliki justifikasi atas kebijakannya.
Kontrol pemerintah tersebut pun memiliki kecenderungan pada privatisasi laut, terutama seiring rezim kepemilikan yang neoliberal menjadi aktor penting dalam sektor kelautan dan perikanan. Hal ini terjadi sebagai akibat dari kebijakan akses dan penggunaan sumber daya laut oleh negara (Mansfield 2007). Kebijakan privatisasi ini menjadikan sektor kelautan dan perikanan terfokus pada industri perikanan skala besar dan di sisi lain justru merugikan nelayan tradisional yang bergantung pada perikanan skala kecil (Longo, Clausen, dan Clark 2015). Salah satu bentuk nyata dari upaya privatisasi laut oleh pemerintah yang berkaitan erat dengan agenda ekonomi biru ini ialah kebijakan penangkapan ikan terukur.
Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur yang Tidak Terukur
Kebijakan ekonomi biru di Indonesia telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) merupakan aktor utama dalam penerapan konsep ekonomi biru ini. Lebih lanjut, dalam Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 64 Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) pada 29 Juli 2022, Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono memaparkan lima agenda implementasi kebijakan ekonomi biru, yakni (i) penangkapan ikan terukur berbasis kuota; (ii) perluasan wilayah konservasi laut, (iii) pengembangan budi daya laut, pesisir, dan tawar; (iv) pengelolaan sampah laut; dan (v) pengelolaan berkelanjutan pesisir serta pulau kecil (Lemhannas 2022).
Dari kelima agenda kebijakan ekonomi biru tersebut, agenda penangkapan ikan terukur menjadi salah satu agenda yang dikebut oleh pemerintah. Tak butuh waktu lama, kebijakan penangkapan ikan terukur ini resmi ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur pada 6 Maret 2023 lalu. Dalam PP tersebut, dijelaskan bahwa penangkapan ikan terukur merupakan kebijakan penangkapan ikan yang âterkendaliâ dan âproporsionalâ. Selain itu, pemerintah berdalil bahwa penangkapan ikan akan dilakukan di zona penangkapan ikan terukur berdasarkan kuota penangkapan ikan untuk menjaga âkelestarianâ lingkungan.Â
Apabila ditinjau secara sekilas, sebagaimana ide besar ekonomi biru, kebijakan penangkapan ikan terukur ini terkesan membawa âniat muliaâ untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumber daya perikanan. Padahal, kebijakan penangkapan ikan terukur ini tak ubahnya kebijakan liberalisasi pengelolaan sumber daya perikanan yang memberi karpet merah pada industri-industri perikanan skala besar untuk mengeksploitasi laut Indonesia. Ditambah, kebijakan ini semakin meminggirkan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir (Koral 2023). Hal ini terlihat dari ketentuan yang membatasi zona penangkapan nelayan tradisional di bawah 12 mil zona penangkapan terukur, berbanding terbalik dengan zona penangkapan bagi industri yang diberikan cakupan luas di atas 12 mil zona penangkapan terukur. Selain itu, keberpihakan kebijakan ini juga terlihat dari ketimpangan rancangan pembagian distribusi kuota penangkapan yang memberikan porsi sebesar 64,90% kepada nelayan industri dan 35% untuk nelayan tradisional (Lemhannas 2022).
Tak heran, kebijakan penangkapan ikan terukur ini menuai berbagai protes dari para nelayan tradisional. Salah satu aksi protes yang timbul adalah aksi dari ratusan nelayan Bitung Sulawesi Utara yang menyegel Kantor Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung dalam rangka menuntut pencabutan kebijakan penangkapan ikan terukur yang dinilai sangat merugikan nelayan. Di tempat lain, aksi protes yang lebih masif terjadi di Kota Rembang ketika ribuan nelayan melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor Bupati dan DPRD Rembang demi menentang kebijakan penangkapan ikan terukur yang memberatkan nelayan di kala hasil tangkapan ikan sedang menurun.
Rivalitas Kekuatan Maritim
Berbagai polemik dan kesesatan regulasi yang terkandung dalam kebijakan penangkapan ikan terukur telah mendegradasi peran negara dalam kebijakan ini sehingga disejajarkan dengan pelaku usaha perikanan (Koral 2023). Alih-alih berperan sebagai regulator yang menjamin hak akses atas sumber daya perikanan, atas nama maksimalisasi perolehan, negara justru turut serta mengeksploitasi laut dengan memberikan peluang yang besar kepada industri perikanan skala besar. Adanya degradasi peran negara ini berpotensi menimbulkan rivalitas dan konflik yang semakin besar dalam pengelolaan sektor perikanan.
Untuk dapat merasakan peluang pemanfaatan potensi laut layaknya nelayan-nelayan industri, nelayan tradisional dipaksa untuk naik kelas. Mereka didesak untuk meningkatkan kapasitas tangkapan ikannya. Jika tidak, mereka didorong untuk bekerja sebagai awak kapal perikanan skala industri. Kedua solusi tersebut tidak sedikit pun memperhatikan kondisi para nelayan tradisional. Tentu akan sangat sulit bagi mereka untuk meningkatkan kapasitas tangkapannya dengan faktor produksi yang terbatas. Nelayan tradisional seolah diberi kesempatan untuk berkembang dengan menjadi awak kapal milik industri perikanan. Ironisnya, alternatif ini justru mengikat mereka ke dalam struktur korporasi dan menempatkan nelayan tradisional sebagai buruh rendahan. Pada titik ini, jelaslah bahwa negara dan industri perikanan ingin mempertahankan hegemoninya dalam rivalitas pengelolaan sektor perikanan. Nelayan tradisional lagi-lagi semakin terpinggirkan (Ambari 2022).Â
Dalam kondisi yang terdesak, nelayan tradisional sering kali terjebak dalam permasalahan ekonomi yang memaksa mereka untuk bergantung pada pemodal. Sayangnya, tak sedikit dari nelayan-nelayan tradisional ini yang tidak mampu mengganti modal yang mereka pinjam. Dengan terpaksa, nelayan-nelayan tradisional tersebut menjual hasil tangkapannya kepada pemodal yang dapat menentukan harga belinya sesuka hati. Mereka pun tidak dapat berbuat apa-apa dan terus terjebak dalam siklus ini (Muhartono 2011).
Perhatian Lebih untuk Nelayan Tradisional
Kebijakan penangkapan ikan terukur sebagai turunan dari konsep dan paradigma ekonomi biru rupanya tidak terlepas dari sistem kepemilikan bersama (common-property system). Sistem ini memang identik dengan pengaturan kelembagaan dan pembentukan struktur tata kelola laut sebagaimana kebijakan penangkapan ikan terukur itu sendiri. Melalui seperangkat pengaturan tersebut, sistem kepemilikan bersama menentukan akses terhadap pemanfaatan sumber daya laut yang pada dasarnya adalah milik bersama (Burkett 2006).
Secara fundamental, sistem kepemilikan bersama terdengar seperti basis pengelolaan laut yang ideal. Masih merujuk pada Burkett (2006), di samping mengatur pemanfaatan sumber daya laut, sistem ini juga menjamin hak yang sama atas akses bagi mereka yang hidupnya bergantung pada sumber daya laut tersebut. Swaney (1990) menjelaskan bahwa sistem kepemilikan bersama diberlakukan melalui suatu pengaturan terhadap siapa yang memanfaatkan sumber daya laut serta kapan dan bagaimana sumber daya laut dimanfaatkan. Sekalipun tidak memanfaatkan sumber daya laut, tidak berarti bahwa hak mereka atas akses tersebut hilang (Aguilera-Klink 1994).
Sialnya, pengaturan kelembagaan dan struktur tata kelola laut oleh pemerintah justru dibuat berat sebelah sehingga akses terhadap sumber daya perikanan lebih banyak dikuasai oleh industri penangkapan atau nelayan skala besar. Relasi antarnelayan yang sejak awal sudah timpang dibuat semakin jauh dari kata seimbang. Kenyataan ini menunjukkan betapa sistem kepemilikan bersama ini menjadi tidak relevan (Burkett 2006).
Hanya karena kapasitas tangkapan nelayan tradisional yang terbatas, tidak berarti hak mereka juga terbatas. Sebab nelayan-nelayan korporasi dinilai lebih mampu untuk mewujudkan agenda âmaksimalisasi potensi lautâ tidak semestinya kontribusi nelayan tradisional dibuat menjadi tidak berarti. Dalam konteks penangkapan ikan terukur, nelayan tradisional tidak hanya harus diberi hak yang sama atas wilayah tangkapan selayaknya nelayan industri. Nelayan tradisional justru perlu diberikan hak dan perhatian yang lebih besar agar kapasitas tangkapan mereka meningkat (Ambari 2022).Â
Apa daya, para pemangku kebijakan telah dibutakan oleh agenda neoliberalisasi dalam konsep dan paradigma ekonomi biru. Terlebih, kepentingan korporasi telah menguasai otoritas negara yang sepatutnya menjadi regulator di negeri ini. Sejak dulu memang begitulah adanya. Dalam konteks lingkungan pun, eksploitasi sudah terjadi sejak lama. Kehadiran ekonomi biru yang digadang-gadang menjadi solusi tidak lebih dari ilusi. Pemerintah justru memanfaatkannya sebagai justifikasi. Pada akhirnya, nelayan tradisional tak dapat apa-apa dan pelestarian lingkungan pun hanya jadi omong kosong belaka.
Penulis : Farrel Ahmad Syakur, Petra Noor Imanuel Aronds, Yazid Naufal Aqil (Magang)
Penyunting: Dhony Alfian
Ilustrator: Sidney Alvionita Saputra
Daftar Pustaka
Aguilera-Klink, Federico. 1994. âSome Notes on the Misuse of Classic Writings in Economics on the Subject of Common Property.â Ecological Economics 9 (3): 221â28. https://doi.org/10.1016/0921-8009(94)90079-5.Â
Ambari, M. 2022. âNelayan Kecil dan Pesta Korporasi di Laut.â Mongabay. 4 Maret 2022. https://www.mongabay.co.id/2022/03/04/nelayan-kecil-dan-pesta-korporasi-di-laut/.Â
Betke, Friedhelm. 1988. âProspect of a âBlue Revolutionâ in Indonesian Fisheries: A Bureaucratic Dream or Grim Reality?â Disertasi, Bielefeld University.
Burkett, Paul. 2006. Marxism and Ecological Economics: Toward a Red and Green Political Economy. Leiden: Brill.
Johnson, Kate, Gordon Dalton, dan Ian Masters. 2018. Building Industries at Sea: âBlue Growthâ and the New Maritime Economy. Gistrup: River Publishers.
Kompas TV. 2023a. âDianggap Merugikan, Nelayan Segel Kantor Pelabuhan Perikanan Bitung.â 20 Mei 2023. https://www.kompas.tv/regional/408600/dianggap-merugikan-nelayan-segel-kantor-pelabuhan-perikanan-bitung.
âž». 2023b. âRibuan Nelayan Demo Tutup Jalur Panturaâ. 12 Januari 2023. https://www.kompas.tv/regional/367441/ribuan-nelayan-demo-tutup-jalur-pantura.
Koral. 2023. âOcean Grabbing dalam Penangkapan Ikan Terukurâ. 1 Mei 2023 https://koral.info/id/ocean-grabbing-dalam-penangkapan-ikan-terukur/.
Lemhannas. 2022. âMenteri Kelautan dan Perikanan RI Paparkan Lima Implementasi Kebijakan Ekonomi Biru kepada Peserta PPRA 64â. 29 Juli 2023. https://www.lemhannas.go.id/index.php/berita/berita-utama/1653-menteri-kelautan-dan-perikanan-ri-paparkan-lima-implementasi-kebijakan-ekonomi-biru-kepada-peserta-ppra-64.Â
Longo, Stefano, Rebecca Clausen, dan Brett Clark. 2015. The Tragedy of the Commodity: Oceans, Fisheries, and Aquaculture. New Brunswick: Rutgers University Press.
Mallin, Felix, dan Mads Barbesgaard. 2020. âAwash with Contradiction: Capital, Ocean Space and the Logics of the Blue Economy Paradigm.â Geoforum 113 (Juli): 121â32. https://doi.org/10.1016/j.geoforum.2020.04.021.
Mansfield, Becky. 2007. âArticulation between Neoliberal and State-Oriented Environmental Regulation: Fisheries Privatization and Endangered Species Protection.â Environment and Planning A: Economy and Space 39 (8): 1926â42. https://doi.org/10.1068/a38176.
Muhartono, Rizky. 2011. âPola Adaptasi Nelayan dalam Mengimbangi Dominasi Pemilik Modal (Kasus Komunitas Nelayan Rampus di Cilincing, Jakarta Utara).â Disertasi, Universitas Indonesia.
Napitupulu, Lucentezza, dan Smita Tanaya. 2023. âNelayan Kecil Masih Terpinggirkan, Pengelolaan Laut Harus Diperbaiki demi Mendukung Ekonomi Biru.â The Conversation. 4 Juli 2023. https://theconversation.com/nelayan-kecil-masih-terpinggirkan-pengelolaan-laut-harus-diperbaiki-demi-mendukung-ekonomi-biru-208747.
Pauli, Gunter A. 2015. The Blue Economy: 10 Years, 100 Innovations, 100 Million Jobs. Academic Foundation.
Swaney, James A. 1990. âCommon Property, Reciprocity, and Community.â Journal of Economic Issues 24 (2): 451â62. https://doi.org/10.1080/00213624.1990.11505044.Â
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. 2022. âSiaran Pers Ekstraksi Ekonomi Biru Mendorong Perampasan Ruang Laut.â 30 Juni 2022. https://www.walhi.or.id/index.php/siaran-pers-ekstraksi-ekonomi-biru-mendorong-perampasan-ruang-laut.