“Papua bukan merah putih! Papua bintang kejora!” Lantunan lagu itu bergemuruh meramaikan sepanjang Jalan KH. Ahmad Dahlan, Yogyakarta pada Jumat (01-12). Di bawah terik matahari, puluhan massa aksi yang merupakan gabungan dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) berjalan serempak menuju Titik Nol Yogyakarta.
Aksi bertajuk “62 Tahun Kita Merdeka: Indonesia Stop Menjajah!” ini diselenggarakan untuk merayakan deklarasi kemerdekaan West Papua pada 1 Desember 1961 silam. Perayaan tersebut dilakukan serentak di beberapa kota Indonesia, seperti Yogyakarta, Bali, Makassar, Ternate, dan Kupang. Tak seperti massa aksi di Yogyakarta yang dapat dengan lantang melantunkan perlawanan, massa aksi di berbagai kota mengalami represi oleh aparat. Misalnya, massa aksi di Ternate yang dibubarkan paksa saat akan bergerak menuju ke titik aksi. Represi juga dialami massa aksi di Kupang yang diangkut ke Polresta Kupang Kota.
Dalam pamflet yang dibagikan oleh AMP dan FRI-WP sewaktu aksi, mereka merunutkan awal mula terjadinya penjajahan Indonesia atas bangsa Papua. Semenjak pengakuan kedaulatan Indonesia oleh pemerintah Belanda pada 1949, West Papua merupakan koloni tak berpemerintahan (non-self government) berdasarkan piagam PBB bagian XI. Bangsa West Papua yang melihat kesempatan itu kemudian segera mendeklarasikan kemerdekaannya.
Namun, Sukarno menanggapinya dengan meluncurkan program Tri Komando Rakyat pada 19 Desember 1961. Operasi militer itu bertujuan untuk mencaplok wilayah West Papua. “Pemerintah Indonesia tidak mau mengakui kemerdekaan itu dan dengan pandangan rasis menganggap bahwa wilayah bangsa West Papua tak lebih dari negara boneka bentukan Belanda,” tulis AMP dan FRI-WP.
Nelon, koordinator lapangan aksi dari FRI-WP, menjabarkan dua tuntutan utama yang disuarakan pada aksi. Pertama, massa aksi mendesak bangsa Indonesia supaya berhenti menjajah bangsa Papua. Kedua, mereka menuntut diadakannya referendum. Tuntutan referendum yang dimaksud adalah pembebasan bangsa West Papua untuk menentukan nasibnya sendiri. “Bangsa Papua terus menyuarakan referendum karena itu merupakan solusi politik untuk menyelesaikan penjajahan, rasisme, dan penindasan yang dialami mereka,” tegas Nelon.
Dalam orasinya, Nelon mengingatkan kondisi West Papua sekarang yang serupa dengan kondisi Indonesia pada masa kolonialisme Belanda. Mirisnya, kini di Papua pembangunan food estate yang masif telah merampas lahan yang seharusnya digunakan untuk menanam sagu. Hal ini menyebabkan bangsa West Papua kehilangan konsumsi pangan aslinya. “Bangsa Indonesia pernah mengalami tanam paksa oleh kolonial. Hari ini, yang ditanam di Papua [seakan dilakukan-red] tanpa melihat konsumsi asli masyarakatnya yang dihilangkan,” seru Nelon.
Menurut Wetub Toatubun, perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, bentuk konkrit dari kolonialisme di West Papua adalah militer Indonesia yang ditempatkan di sana. Penempatan militer tersebut bukan bertujuan menjaga masyarakat sipil, tetapi untuk menjaga investasi negara. “Mereka merampas tanah-tanah adat Papua,” tambah Wetub.
Hingga hari ini, operasi militer Indonesia tiada hentinya merepresi bangsa West Papua. Mussell, seorang massa aksi, mengutip artikel “The Human Tragedy of West Papua” yang ditulis oleh Gemima Harvey. Berdasarkan artikel itu, Mussell mengatakan pendudukan militer Indonesia telah membunuh 500.000 orang rakyat Papua sejak 1961. “Represi terus dilancarkan sampai sekarang, sementara ribuan rakyat Papua menangis,” ungkap Mussell.
Tak hanya itu, Mussell juga menjelaskan alasan kuat untuk menyebut Indonesia sebagai penjajah bagi West Papua. Dalam pemaparannya, Mussell menuturkan bahwa rakyat West Papua tidak pernah menginginkan keberadaan Indonesia. “Tapi, Indonesia terus memaksa. Ini sama saja seperti Israel yang menduduki Palestina,” ujarnya.
Penjajahan di mana saja, menurut Mussell, dilandasi oleh motif ekonomi dan politik. Hal yang sama juga terjadi di West Papua. Mussell menyebut bahwa kekayaan sumber daya alam di sana menjadi sasaran utama kelas borjuis Indonesia. “Amerika mengambil emas di Freeport. Indonesia diuntungkan dengan mendapatkan royalti dari penambangan itu,” katanya.
Bukan hanya pengerukan sumber daya alam yang tiada kunjung berhenti, pemerintah Indonesia juga tidak pernah menuntaskan persoalan kemanusiaan yang berkaitan dengan West Papua sejak 1961. Mengingat hal tersebut, Jupe, koordinator umum dari AMP, mengatakan tak ada yang bisa diminta dari pemerintah Indonesia. “Mau sampaikan apa [kepada pemerintah Indonesia-red]? Kita hanya minta segera berikan hak kita untuk menentukan nasib sendiri sebagai tuntutan kita rakyat Papua,” ucap Jupe dengan nada pesimis.
Oak, seorang massa aksi yang berasal dari Yahukimo, mengemukakan harapannya di atas mobil aksi. Ia menegaskan bahwa bangsa Papua tidak membutuhkan pemekaran wilayah dan otonomi khusus. “Kami tidak butuh pembangunan jalan dan yang lain-lain. Kami hanya butuh kemerdekaan,” tuntut Oak kepada pemerintah Indonesia.
Penulis: Fanni Calista dan Sidney Alvionita Saputra
Penyunting: Fauzi Ramadhan
Fotografer: Allief Sony Ramadhan Aktriadi