“Yang rugi bukan hanya petani, kita semua juga rugi!” seru Elly bin Yahya, perwakilan dari Partai Hijau Indonesia. Ujaran tersebut ia lontarkan dalam diskusi bertajuk “SUMUK BOS? Cuaca Panas, Krisis Iklim, dan Solusi Alternatif” yang diselenggarakan oleh Partai Hijau Indonesia, Front Muda Revolusioner (FMR), dan Dewan Mahasiswa (Dema) Fisipol UGM. Selain itu, diskusi juga menggandeng Lingkar Belajar Pergerakan, BEM KMFT UGM, GMNI Komisariat Biologi, dan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi. Diskusi dilaksanakan di Selasar Barat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM pada Kamis (23-11) dengan tujuan untuk mengulik penyebab perubahan iklim.
Terdapat tiga narasumber yang hadir dalam diskusi, yakni M. Afnisa’a Rozaqi, ketua kelompok studi Herpetologi 2022/2023; Pascal, perwakilan dari FMR; dan Elly bin Yahya. Selain itu, ada pula Yonathan Kurniawan Prasetyo dari DEMA Fisipol UGM selaku moderator diskusi.
Rozaq memulai diskusi dengan menyebutkan bahwa perubahan iklim sudah ada sejak zaman dahulu. Ia juga menambahkan, kondisi perubahan iklim pada zaman dahulu selalu stabil, bahkan seimbang. “Proses tadi disebut sebagai variabilitas iklim. Ini nanti yang bikin bingung apakah perubahan iklim itu karena proses alamiah atau karena manusia,” ujar Rozaq.
Lebih lanjut, Rozaq melihat bahwa perubahan iklim yang terjadi pada hari ini diperparah oleh manusia sehingga menyebabkan krisis iklim. Ia menjelaskan, pasca-Revolusi Industri, kegiatan manusia malah menambah gas rumah kaca di atmosfer. Hal tersebut ternyata mengganggu keseimbangan yang sudah ada sebelumnya. “Peran manusia adalah nambahin gas rumah kaca yang udah seimbang, hasilnya yang terjadi saat ini, peningkatan suhu,” terang Rozaq.
Menambahkan Rozaq, Pascal memaparkan perihal krisis iklim yang menurutnya merupakan dampak dari kapitalisme. Ia menyebutkan bahwa corak kapitalisme membiarkan para kapitalis merampas alam sebanyak-banyaknya, tetapi tidak semua berhasil dikonsumsi. “Ada motif profit yang menunjang keberlangsungan sistem kapitalisme dan menggagalkan penanganan krisis iklim,” terang Pascal. Ia juga menilai bahwa hal tersebut memang sudah menjadi masalah dari penanganan iklim di basis kapitalisme.
Menambahkan Pascal, Elly menyerukan pendapatnya perihal krisis iklim yang menjadi isu eksklusif. Hal tersebut tampak ketika para aktivis krisis iklim mengajak masyarakat untuk memakai produk ramah lingkungan, tetapi harga produk tersebut tidak ramah kelas. Menurut Elly, ada penindasan kelas dan tidak ada perlawanan kelas di dalam isu lingkungan. “Kaum kapitalis yang mengeruk sumber daya alam justru dilegitimasi oleh negara dengan adanya Undang-Undang Minerba,” imbuh Elly.
Elly mencontohkan salah satu masalah di daerah Bandarharjo, Semarang yang selalu terkena banjir rob. Kondisi tersebut memaksa masyarakat daerah menaikkan rumahnya setiap tahun. Padahal, menurut Elly, tidak semua masyarakat dapat melakukan hal tersebut, terutama mereka yang tergolong kelas menengah ke bawah. “Jadi, kalau gerakan itu semakin jauh dari isu kelas, gerakan itu gak akan nyatu dengan kelas sendiri,” ucapnya.
Usai pemaparan narasumber, Derry, salah seorang peserta diskusi, memberikan pertanyaan soal pelestarian lingkungan yang diintervensi kapitalisme dan alasan untuk peduli kepada krisis iklim. Menanggapi pertanyaan tersebut, Elly menjelaskan bahwa krisis disebabkan oleh kapitalisme dan kejahatan kapitalisme itu yang harus dilawan. Menurutnya, ketika terjadi deforestasi, tidak hanya kelompok tertentu yang dirugikan, semuanya juga rugi. “Kita melihat itu bukan kenapa aku harus peduli, tapi bagaimana kita juga merasakan hal yang sama,” ujar Elly.
Di penghujung diskusi, Pascal menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan ke alam bukan tanpa perencanaan atau tidak ada timbal balik, tetapi dengan kesadaran para kapitalis. Menurutnya, perubahan lingkungan tidak mungkin terjadi tanpa campur tangan manusia. “Aku rasa, sudah saatnya untuk kita membedah [isu krisis iklim-red] secara multidimensional,” pungkas Pascal.
Penulis: Felycia Devizca (Magang)
Penyunting: Reyhan Maulana Adityawan
Fotografer: Nabillah Faisal Azzahra