Di tengah kucuran dana fantastis untuk kebudayaan, Kota Yogyakarta punya segudang masalah mengenai sampah. Dari tahun ke tahun, pekerjaan rumah tersebut tak kunjung usai. Kini, bank sampah yang berusaha menyelesaikannya, meski harus bertarung secara mandiri.
Wiwid selalu bersemangat menemui siapa pun yang ingin tahu mengenai pengelolaan sampah. Dengan ramah, perempuan bernama lengkap Tri Wijayati ini selalu menyambut mereka yang datang. Pertanyaan-pertanyaan soal pengolahan sampah dijawabnya dengan lugas. Kendati tampak bersemangat, raut wajahnya tak bisa bohong. Ternyata, ia sudah lelah. Sedari pagi, Wiwid telah sibuk mengajar tentang pengelolaan sampah di SMPN 7 Kota Yogyakarta.
Wiwid memang aktif melakukan edukasi dan pelatihan pengelolaan sampah ke beberapa bank sampah binaannya dan sekolah-sekolah. Ia sendiri terdaftar sebagai pengurus di Bank Sampah Berseri 35, RW 8, Kampung Bumijo, Kemantren Jetis, Kota Yogyakarta. Aktivitas sehari-harinya tak pernah lepas dari sampah. “Ya, kalau lagi gak ada penimbangan atau pelatihan, saya ngurusin maggot,” ucapnya.
Wiwid sebenarnya juga seorang pedagang. Akan tetapi, kesibukan mengurusi sampah menyebabkan ia tak punya waktu mengurusi dagangannya. “Kalau ngurusin sampah kayak gini, dah ga sempet ngurusin yang lain,” ucapnya.
Perjalanan Wiwid bersama Bank Sampah Berseri terhitung cukup lama. Awalnya, Berseri berdiri dalam lingkup RW pada 2015. Kelahirannya bersamaan dengan arahan dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta yang saat itu sedang gencar-gencarnya mengimbau pendirian bank sampah. Sayangnya, umur Berseri tidak bertahan lama. Berseri terpaksa vakum pada 2017 lalu. “Ya, warga malas kalau harus bawa sampah jauh-jauh ke Balai RW untuk ditimbang,” imbuh Wiwid.
Tahun 2019, warga kembali menggagas bank sampah yang lingkupnya diperkecil menjadi tingkat RT. Namanya berubah menjadi Bank Sampah Berseri 35 dan bisa berkembang pesat. Akan tetapi, jalannya tidak mudah. Kendala finansial menjadi biang masalahnya. Wiwid sempat dimonitoring oleh DLH Kota Yogyakarta untuk bikin kegiatan Losida (lodong sisa dapur).
“Tapi saya bingung uangnya dari mana?” ucap Wiwid.
Saat itu, Berseri 35 memang tak memiliki uang sepeser pun. Alhasil Wiwid harus memutar otak untuk mendapat modal. Jelas saja, membuat kegiatan losida di tiap rumah warga memerlukan dana. Sayangnya, DLH Kota Yogyakarta yang mendorong pengolahan sampah tak memberi dana sepeserpun.
Beruntung, saat itu ada seorang warga RT 35 yang bekerja sebagai Dosen D3 Akuntansi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Ia adalah Desi Susilawati. Melalui Program Pengabdian Masyarakat di tempatnya mengajar, Desi mengarahkan hibah tersebut untuk pelatihan Losida di Bank Sampah Berseri 35. “Ngapain saya pengabdian jauh-jauh, mending hibah pengabdian itu untuk masyarakat di sini,” ucapnya dengan bangga.
Mulai dari hibah pertama itulah, tiap tahun, Berseri 35 selalu bekerja sama dengan Lembaga Pengabdian Masyarakat UMY untuk mengadakan pelatihan pengelolaan sampah. Sekarang di sepanjang jalan setapak RW 35 pasti memiliki losida dan ember tumpuk untuk mengolah sampah sisa dapur. “Itu bertahap tiap tahun. Tahun pertama kita pelatihan Losida dan stroberi. Tahun kedua kita pelatihan ember tumpuk dan pengolahan sampah anorganik,” sambung Wiwid.
Berseri 35 memang aktif mengadakan pelatihan pengolahan sampah bagi masyarakat setempat. Pengetahuan mengenai pengelolaan sampah didapat dari pelatihan-pelatihan tersebut. Setiap mengadakan pelatihan, Berseri 35 menggunakan uang kas hasil penimbangan sampah di bank sampah. “Kami juga ngasih amplop untuk warga yang datang pelatihan,” ujar Wiwid.
Jika dihitung, tiap kali mengadakan pelatihan, Berseri 35 harus merogoh kocek sekitar 5 juta rupiah. Sayangnya, tak sedikit pun bantuan dari pemerintah yang mereka terima. “Kami gak pernah menerima bantuan dana dan operasional dari pemerintah,” ucap Wiwid. Pun, jika Berseri 35 menerima dana, itu hasil dari menang lomba.
Dulu bangunan bank sampah yang Berseri 35 gunakan adalah pos ronda. Kemudian, pos ronda tersebut diperbaiki dan digunakan untuk kegiatan belajar mengajar PAUD. Sekarang, kegiatan penimbangan sampah dilakukan di Balai RT. Walaupun begitu, display hasil pengelolaan sampah tetap ditaruh di pos ronda sebelumnya.
Berseri 35 memang menjadi bank sampah yang berkembang. Namun, prosesnya tidak mudah. Kesadaran masyarakat untuk mengolah sampah dibangun dengan membentuk koperasi simpan pinjam. Desi mengatakan masyarakat yang menimbang sampah bisa menjadi anggota koperasi. “Dana awal koperasi itu ya kami dapat dari hibah pengabdian juga,” ujar Desi.
Seluruh masyarakat RW 35 kini telah menjadi nasabah dari bank sampah. Bahkan, Berseri 35 juga memiliki rumah kreasi pengolahan sampah anorganik. Tiap warga yang membuat kreasi dari sampah anorganik dihargai dengan poin dan sisa hasil usaha. “Nanti poin itu ditukarkan di akhir tahun dengan sembako,” jelas Wiwid.
Sayangnya, tidak semua bank sampah di Yogyakarta bernasib baik seperti Berseri 35 yang punya kesempatan mendapat dana hibah penelitian dan menang lomba.
Nasib baik tersebut tidak dirasakan Bank Sampah Ngrejekeni, RW 11, Kelurahan Pakuncen, Kemantren Wirobrajan. Terletak tepat di belakang Jogja National Museum, Ngrejekeni hanya mengandalkan pinjaman timbangan dari posyandu dan pelapak. Haryati, salah seorang pengurus Bank Sampah Ngrejekeni, menceritakan keinginannya untuk mengikuti lomba bank sampah agar bisa membantu kas Ngrejekeni. Sayangnya, harapan itu pupus.
“Katanya karena kami ga punya tempat khusus penimbangan,” resah Haryati.
Akibat tak adanya tempat khusus penimbangan, Ngrejekeni harus menerima keputusan DLH Kota Yogyakarta yang tidak meloloskannya dalam tahap verifikasi. Haryati, tiap bulan, memang selalu minta izin kepada pemilik lahan kosong di dekat rumahnya sebagai tempat untuk menimbang sampah. “Jadi waktu penimbangan, warga bawa sampahnya ke tempat itu,” jelasnya.
Sejak berdiri pada 2020, Ngrejekeni hanya menerima bantuan timbangan digital kecil dan karung pemilahan sampah dari DLH Kota Yogyakarta. Namun, timbangan itu tak berguna karena tak mampu menimbang sampah warga yang jumlahnya berkuintal-kuintal. Ditambah, minimnya sosialisasi dari pemerintah mengenai pengelolaan sampah membuat Ngrejekeni berjalan tertatih. “Sosialisasi selama ini cuma keterangan-keterangan saja, paling pol buat sabun,” ujar Haryati.
Hingga kini, masyarakat tempat tinggal Haryati belum mampu mengelola sampah dengan maksimal, khususnya sampah organik. Sementara sampah anorganik, saat ini baru bisa dipilah dan langsung disetorkan kepada bank sampah. Keterbatasan biaya membuat Ngrejekeni hanya berharap pada pelatihan DLH Kota Yogyakarta. “Kami tuh sebenernya mau belajar bikin lampion, tapi ga ada yang bisa ngajarin. Kalau cuma lihat YouTube ga ngerti,” sambung Haryati.
Kondisi ini tak lantas menyurutkan semangat Haryati. Ia tetap berusaha mengembangkan Ngrejekeni. “Sekarang saya baru ada alat untuk membuat biopori mandiri, itu juga baru saya sendiri yang punya,” ucap Haryati.
Nasabah Ngrejekeni mencapai sekitar 60 orang. Berbekal timbangan dan meja pinjaman dari posyandu, mereka aktif menimbang satu bulan sekali. Saat ini, Haryati sedang berusaha mencari pengepul lain, lantaran pengepul sebelumnya rendet (lambat) mentransfer uang hasil penjualan sampah. “Kita susah buat cari pengepul lain yang mau langsung ambil barang. Kalau bank sampah lain kan sampahnya bisa diinapkan baru diambil,” sambungnya.
Haryati punya mimpi memiliki tempat khusus untuk menyimpan dan menimbang sampah. Harapannya mengikuti lomba bank sampah demi mendukung kas Ngrejekeni sudah pupus sebelum bertarung. “Saya mah gak ngarep lah! Syukur-syukur kalau dapet dana, enggak juga gapapa. Kami tetap bergerak dari bawah kok!” tegasnya.
Terus Mendesak, Minim Apresiasi
Bank sampah sendiri merupakan buah dari Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup RI Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse, Recycle Melalui Bank Sampah. Peraturan ini menggariskan gubernur atau bupati/walikota diamanatkan melakukan pendampingan, pelatihan, dan bantuan teknis kepada bank sampah.
Dilansir dari antaranews.com, Direktur Penanganan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Novrizal Tahar, mengatakan bahwa bank sampah menjadi salah satu kunci penting tumbuhnya ekonomi sirkular yang berkelanjutan di Indonesia. “Bank sampah juga menjadi kunci penting dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku industri daur ulang kita,” ucapnya dalam konferensi pers Peringatan Hari Peduli Sampah Nasional, November 2021 lalu.
Kepala Bidang Pengembangan Kapasitas Lingkungan Hidup DLH Kota Yogyakarta, Christina Endang atau Iin, pun menuturkan bahwa pengolahan sampah di bank sampah dapat mengurangi volume sampah yang dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Selain itu, bank sampah juga ditujukan untuk pemberdayaan masyarakat. Walaupun, pembentukan bank sampah, menurut Iin, tidak didanai. Akan tetapi pihaknya menyatakan siap melakukan pendampingan bagi bank sampah. “Harapannya sih masyarakat bisa mengembangkannya sendiri,” kata Iin.
Iin membantah keterangan Haryati terkait syarat administrasi perlombaan bank sampah. Menurutnya, untuk mengikuti lomba bank sampah yang diadakan oleh DLH Kota Yogyakarta tidak perlu memiliki bangunan untuk menampung sampah. “Oh, kami tidak ada indikator harus ada bangunan kok. Yang penting ada plangnya aja,” jelasnya.
Tahun 2022 lalu, DLH Kota Yogyakarta membentuk Forum Bank Sampah (FBS) Kota Yogyakarta sebagai ruang komunikasi dan sosialisasi pengelolaan sampah. FBS Kota Yogyakarta sendiri bukan forum pertama yang mengayomi para “penggiat sampah”. Sebelumnya, sudah ada forum-forum atau paguyuban bank sampah di sekitaran Kota Yogyakarta.
Melalui FBS Kota Yogyakarta, DLH Kota Yogyakarta menunjuk koordinator bank sampah di tingkat kemantren untuk mengoordinir tiap kelurahan di bawahnya. Lalu, ada fasilitator kelurahan (faskel) di tiap kelurahan untuk mendampingi bank sampah tingkat RW. Feriyanti, salah seorang faskel, menceritakan pengalamannya.
Feriyanti diberi tanggung jawab memberikan pendampingan kepada bank sampah di Kelurahan Pakuncen. Bahkan, sejak Januari 2023, ia diberi target membentuk minimal satu bank sampah di tiap RW. Namun, aktivitasnya mendampingi bank sampah tak mudah. Terlebih, selama ini ia belum pernah mendapat bantuan dari DLH Kota Yogyakarta, baik untuk pendirian, sosialisasi, maupun operasional bank sampah.
“Saya cuma dapat honor Rp250.000, itu belum dipotong pajak,” kata Feriyanti.
Untuk mengadakan sosialisasi bank sampah di kelurahannya, Feriyanti harus menumpang ke aktivitas Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di tiap RW. Sebab, mengumpulkan warga harus memiliki dananya, sedangkan ia sama sekali tidak diberi dana untuk melakukan kegiatan. “Ya, kerja-kerja kayak gini lebih banyak tomboknya daripada untungnya,” ujar Feriyanti.
Januari 2023, seiring dengan dorongan pembentukan bank sampah secara masif, DLH Kota Yogyakarta menjanjikan fasilitas pokok kepada bank sampah, seperti buku tabungan dan timbangan. Namun, janji itu tak kunjung direalisasikan. Feriyanti pernah meminta bantuan buku tabungan kepada DLH Kota Yogyakarta.
“Saya minta buku tabungan aja sampai sekarang gak dikasih-kasih, katanya nunggu kalau ada bank sampah baru lagi, biar sekalian. Tapi kan, kalau gitu terus gak jadi-jadi to,” jelas Feriyanti.
Padahal, bagi Feriyanti, bank sampah merupakan ujung tombak pemilahan sampah di masyarakat dan memiliki nilai ekonomi sirkular bagi masyarakat. Menurut data dari DLH Kota Yogyakarta, bank sampah telah mereduksi sekitar 5 ton sampah tiap harinya. Tapi, sayangnya, perhatian terhadap bank sampah masih sangat minim. “Seharusnya DLH momong bank sampah. Kita dah mendirikan susah-susah, buatkan SK, tapi kalau gak di-momong ya sia-sia,” ucap Feriyanti.
Rencananya, DLHK Yogyakarta merencanakan studi banding ke Bandung bagi faskel pada November 2023. Bagi Feriyanti, dana studi banding ini seharusnya dimanfaatkan untuk memberi fasilitas kepada bank sampah saja, apalagi Yogyakarta sedang menghadapi darurat sampah setelah TPA Piyungan ditutup.
Lagi-lagi, Masyarakat Salah Lagi!
Sejak 2020, jumlah bank sampah di Kota Yogyakarta terus meningkat. Hasil monitoring per Agustus 2023, terdapat 658 di 14 kemantren dan 28 di antaranya tidak aktif. Sayangnya, beberapa bank sampah yang terdaftar aktif tidak ditemukan lokasinya. Sebut saja Bank Sampah BCL yang terletak di RW 02, Kelurahan Patangpuluhan, Kemantren Wirobrajan, yang warga sekitar bahkan tidak mengetahui kehadiran bank sampah tersebut. Nasib serupa juga dialami ketika mencari Bank Sampah Melati RW 03.
Peningkatan jumlah bank sampah di Kota Yogyakarta ini nyatanya tak diikuti dengan kenaikan alokasi dana untuk pengelolaan bank sampah. Menurut data Bidang Pengembangan Kapasitas dan Pengawasan Lingkungan Hidup DLH Kota Yogyakarta, alokasi dana pengolahan bank sampah periode 2022 hanya Rp1.047.870.00. Kemudian, pada 2023 menjadi Rp1.501.815.500. Alokasi dana ini difokuskan untuk kegiatan pelatihan, pendampingan, dan pembinaan.
Tabel 1. Alokasi Dana Pengelolaan Bank Sampah 2023
Besaran dana untuk pengelolaan sampah ini sangat tak sebanding dengan alokasi pemerintah Kota Yogyakarta untuk urusan kebudayaan. Pada 2022, alokasi dana Pemerintah Kota Yogyakarta dalam Program Penyelenggaraan Keistimewaan Yogyakarta Urusan Kebudayaan mencapai Rp13.277.000.000 yang diambil dari Dana Keistimewaan DIY.
Di tengah kucuran dana yang fantastik untuk urusan kebudayaan, Kota Yogyakarta menghasilkan rata-rata timbulan sampah mencapai 123.000 ton per tahun selama 2019–2020. Sedangkan, Pemerintah Kota Yogyakarta hanya mampu mengurangi sekira 21,8% per tahunnya. Ribuan ton sampah yang tidak terpilah itu akhirnya bermuara di TPA Piyungan. Tak heran, jika beberapa waktu lalu, ia tutup. Pasalnya, tak lagi mampu menampung muntahan dari truk-truk pengangkut sampah.
Iin mengatakan produksi sampah di Kota Yogyakarta mencapai 336 ton per hari. “Mayoritas dari 336 ton timbunan sampah itu berasal dari rumah tangga, dari warga,” ucap Iin.
Tak lama kemudian, ketika dimintai keterangan lebih lanjut, Iin mengatakan sampah rumah tangga juga berasal dari institusi, kos-kosan, lembaga, dan pariwisata. “Pariwisata juga turut menyumbang sampah. Kalau warga dalam kampung kan jumlahnya cukup terkendali,” sambungnya.
Menurut Nurul Agustina, Staf Bagian Pengelolaan Sampah DLH Kota Yogyakarta, Pemerintah Provinsi DIY sedang menyiapkan lahan transisi baru di TPA Piyungan. Lahan itu akan dikelola dengan sistem sanitary landfill, sampah dikumpulkan di cekungan tanah. Ia menambahkan bahwa TPA Piyungan seharusnya hanya menjadi tempat pembuangan residu sampah. Akan tetapi karena minimnya pemilahan sampah, semua sampah bermuara di sana. “Pemilahan sampah di masyarakat ini masih cukup sulit untuk dilakukan,” sambungnya lirih.
Minimnya Komitmen Mengolah Sampah
Joko, pendiri Bank Sampah Lintas Winongo RW 11, Kampung Bumijo, Kemantren Jetis, mempunyai pengalaman lama mengelola bank sampah. Ia telah mendirikan bank sampah sejak 2008 ketika dirinya menjabat sebagai Ketua RW. Tanpa arahan dari Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta dan DLH Kota Yogyakarta, ia mengajak warga mengolah sampah mereka.
“Dulu saya ga tau ada peraturan atau undang-undang tentang bank sampah. Saya cuma risih lihat sampah menumpuk di tong-tong itu, padahal kan kalau dijual ada uangnya,” ujar Joko.
Mulai dari sana, warga tertarik memilah sampah, khususnya ibu-ibu PKK. Bank Sampah Lintas Winongo diresmikan pada 2009. Waktu itu namanya belum bank sampah, tapi pengelolaan sampah. Peresmian Lintas Winongo dihadiri oleh para pejabat mulai dari tingkat kelurahan hingga kota. Ia mendapat berbagai apresiasi dari langkah beraninya itu.
Sampai sekarang, Lintas Winongo menjadi salah satu bank sampah pembina yang aktif melakukan penimbangan tiap minggunya. Namun, Joko kadang menyesalkan persoalan sampah di Yogyakarta yang tiada akhirnya. “Darurat sampah itu bukan kali ini aja, sebelumnya sudah beberapa kali terjadi,” ucap Joko.
Ia berpendapat bahwa peningkatan jumlah bank sampah dan kesadaran masyarakat mengelola sampah di tiap RW, seharusnya bisa menyelesaikan persoalan sampah di Yogyakarta. Pasalnya, sampah anorganik sudah bisa dikelola oleh warga. Namun, sayangnya, kesadaran masyarakat itu tidak diimbangi dengan komitmen dari Pemerintah Kota Yogyakarta. “Pemerintah daerah ini tidak punya komitmen kuat dalam menyelesaikan masalah sampah,” ucapnya.
Joko mengatakan bila Pemerintah Kota Yogyakarta memiliki komitmen kuat, masalah sampah tidak akan berlarut-larut. Lagipula, menurutnya, Yogyakarta sebagai kota pendidikan, pariwisata, dan budaya, seharusnya memberi perhatian khusus pada pengelolaan sampah.
Minimnya komitmen ini juga berimbas pada terlampau kecilnya anggaran pengelolaan bank sampah. Nasib bank sampah yang didirikan Joko sama dengan bank sampah lainnya yang tidak pernah menerima bantuan dana. “Ya masyarakat mau tidak mau harus swadaya untuk mengolah sampah,” ucapnya.
Masalah sampah di Yogyakarta seharusnya bisa diselesaikan bila pemerintah memang memprioritaskan pengelolaan sampah. Dalam pandangan Joko, daripada membuat lokasi baru untuk menumpuk sampah, lebih baik dananya digunakan untuk membuat teknologi pengolahan sampah secara masif. “Dari dulu sudah ada penelitian buat alat pengolahan sampah, tapi sampai sekarang saya gak tau bentuknya gimana?”
Penulis: Michelle Gabriela Momole
Penyunting: Bambang Muryanto
Fotografer: Michelle Gabriela Momole dan Vigo Joshua
Liputan ini merupakan hasil workshop dan fellowship “Memotret Persoalan Sampah DIY” yang diselenggarakan AJI Yogyakarta, WALHI Yogyakarta, LBH Yogyakarta, dan dimentori oleh Bambang Muryanto.