Nama Virgiawan Listanto tak pernah tenggelam walau disapu ombak waktu. Pria bernama panggung Iwan Fals itu telah mengibarkan namanya sedari dasawarsa ‘80 hingga awal ‘90-an. Namanya tak pernah tidak berlekatan dengan kritik sosial. Karena lagu-lagunya, ia tak sekali-dua kali kena cekal penguasa. Karena lagu-lagunya pula, pada awal era 2000-an, wajahnya yang dihiasi brewok kadang sering kali mewarnai punggung truk dan angkutan umum, atau barangkali tembok di sudut-sudut kota. Sebuah wajah antikemapanan.
Tepat dua dekade lalu, BALAIRUNG berkesempatan memublikasikan hasil wawancara kepada sang ikon perlawanan. Wawancara itu dihelat selepas ia mengadakan salah satu konser dari rangkaian tur bertajuk Iwan Fals & Band 34 Kota, Satu Hati Satu Rasa. Dalam rangka memenuhi tawaran narasumber untuk rubrik Insan Wawasan di Jurnal BALAIRUNG Edisi 36/TH. XVII/2003, dirinya memberikan pesan bagi para mahasiswa yang terlibat di tengah gerakan pada saat itu, atau bahkan hari ini. Pesan tersebut berbunyi: “Aku suka mahasiswa yang turun ke jalan, tapi setelah itu balik lagi ke kampus, belajar lagi … Kebanyakan teman-teman sekarang kuliah untuk kerja. Akibatnya, potensinya enggak tergali.” Berikut petikan obrolan satu jam bersamanya.
Anda dulu pernah kuliah, tapi kenapa lalu lebih memilih untuk bermusik?
Karena kesenangan saja. Dan kesenangan itu rupanya jadi berlarut-larut, sehingga menyingkirkan yang lain, menyingkirkan kegiatan seni rupa saya waktu itu, dan juga kuliah [di jurusan Humas Sekolah Tinggi Publisistik dan Seni Rupa IKJ-red].
Awal kesenangan pada musik?
Dulu, saya suka ngeliat teman-teman yang nyanyi. Terus, kok seneng. Ikut-ikutan, lama-lama adu kepandaian sama teman. Waktu itu kan lagi trennya lagu-lagu Rolling Stones. Karena aku enggak bisa, aku bikin lagu sendiri. Terus ya berkembang kaya’ sekarang.
Tanggapan orang tua bagaimana, mendukung?
Woooo, orang tua saya pingin saya jadi presiden (Iwan tertawa lalu menirukan ujaran orang tuanya), “Sudah, kamu jadi presiden saja. Masa’, tukang becak saja mau jadi gubernur, kamu kok enggak mau jadi presiden.” Tapi, itu cuma joke orang tua saja. Orang tua saya enggak pernah memaksakan kehendaknya. Yang penting, anak-anaknya bahagia, itu saja.
Anda pernah mengatakan musik adalah media penyadaran, kenapa?
Itu perkembangan terakhir. Setelah direnung-renungkan, dengan musik, ternyata kita mampu berekspresi, mampu berbuat lain. Ia bisa juga jadi wadah nasihat-menasihati, mengkritik atau apa. Dan ternyata, ada pengaruhnya. Saya selalu lebih tertib mewanti-wanti teman-teman; kita enggak punya apa-apa, cuma punya semangat. Jadi, mudah-mudahan dari pertunjukkan bisa menulari, itu saja.
Kalau ada orang yang menganggap Anda sebagai ikon perlawanan?
Saya enggak masalah. Itu bagian dari ekspresi, termasuk ekspresi saya juga. Sebagian dari ekspresi saya memang perlawanan. Musik saya menghargai kemarahan dan kebencian sama seperti halnya menghargai cinta. Musik saya bikin dari semua itu; dari kemarahan, kebencian, dari apa saja.
Tapi enggak usah ditekan-tekanin perlawanannya. Kalau dipukul, ya tidak usah memukul lagi. Aku pikir semua orang enggak setuju dengan penindasan. Tapi yang penting, bagaimana melakukan itu dengan penuh kasih, tidak cuma dengan emosi.
Memang ada pretensi untuk melawan?
Ada. Di zaman saya sekolah dulu, misalnya, saya enggak boleh gondrong oleh guru. Saya protes lewat lagu. Terus dari baca koran, ternyata ada banyak peristiwa; seperti pengambilan gaji-gaji guru, jatah prajurit, dan banyak lagi. Jadi, aku pikir perlawanan itu naluri semua orang, entah itu naluri bersosial, mencari kebahagiaan, atau naluri membela diri. Semua manusia dikaruniai itu. Cuma, kebetulan aku bisa main gitar dan bikin lagu. Semuanya saya tuangkan di situ. Saya mencoba menyandarkan harapan-harapan di situ.
Anda pernah menjadi korban represivitas penguasa. Konser-konser Anda dulu dilarang. Waktu itu perasaannya bagaimana?
Saya enggak merasa menjadi korban. Entah, mungkin penilaian orang lain. Saya enggak sok njawani [atau artinya “ke-jawa-jawa-an”-red]. Saya mencoba bersyukur saja. Kebetulan kalau di kesenian, dipencet di sini, ya mlembung di sana. Terbukti, dari zaman represif itu, justru muncul lagu-lagu seperti “Oemar Bakrie”, “Wakil Rakyat”, “Serdadu”, “Fakultas Dodol”, “Kawanku”, dan lain-lain. Lagu-lagu yang justru pada masa sekarang nggak ada.
Tapi masalah pelarangan itu, siapa sih yang enggak kecewa? Itu kan mata pencaharian saya. Padahal, saya cuma nyanyi, enggak pegang legitimasi, enggak pegang kekuasaan. Itu bentuk ketidakdewasaan penguasa saja yang salah tanggap pada saya dan terutama fan saya. Ya maklum, penguasa kan enggak ada pengalaman menanggulangi konser. Beda dengan di negara maju, urusan sama massa itu sudah enggak aneh lagi. Kalau kita [di Indonesia-red], baru ngumpul-ngumpul saja, dikira mau bikin pemberontakan, bikin apa. Jadi, trauma sama orang banyak. Mungkin, psikologi massa penguasa kita belum benar-benar matang.
Tapi, konser-konser Anda memang selalu diwarnai kerusuhan. Apa itu karena pengaruh ekspresi perlawanan?
Aku enggak percaya itu. Karena kalau Anda bilang penggemar, penggemar saya adalah orang yang terlatih menggunakan pikiran. Mulai dari 0 tahun saya bermusik, dari “Oemar Bakrie”, yang dirangsang bukan cuma telinga, tapi juga pikiran. Kalau pun dianggap rusuh, mungkin karena hubungan ke perlawanan batin. Jadi, bukan karena ngawur. Mereka merasa dirugikan dan dia melawan. Sejauh dia enggak dirugikan, saya percaya sekali mereka tidak akan begitu.
Kalau dalihnya karena tiket mahal?
Enggak juga. Itu kriminal saja, mau nyopet, mau mengambil keuntungan dari kerusuhan. Kalau tiketnya mahal, ya enggak nonton. Jadi, enggak benar, itu bukan murni penggemar. Bahkan, saya pernah mendapat penghargaan di Kalimantan, kalau nggak salah. Fan saya ternyata lebih tertib dari Padi, Dewa, Slank, Sheila. Itu jelas, dan buktinya bisa dilihat di Sriwedari kemarin [saat konser di Solo-red]. Tapi kalau mereka memang dirugikan, aku percaya, mereka enggak bakalan mundur.
Saat ini, penampilan dan lagu-lagu Anda banyak berubah. Mengapa? Apa karena yang Anda perjuangkan juga telah berubah?
Saya coba mengikuti apa kata sutradara, produser, yang hubungannya dengan dagang cari uang. Jadi, saya hanya coba menghayati peran yang diberikan. Kalau itu dianggap perubahan, ya mungkin perubahan.
Tapi, saya pikir itu juga perjuangan. Untuk didandani seperti itu, untuk menyesuaikan dengan kata hati orang lain, itu kan bukan hal yang sepele. Untuk dibedaki dan segala macamnya itu, aku pikir perlu perjuangan, yang sama ganasnya dengan prajurit di Iran, Timur Tengah, atau protes mahasiswa di gedung MPR.
Artinya, Anda masih punya rencana untuk membuat lagu-lagu seperti itu lagi?
Iya, pasti! Tapi, secara nalar, yang begitu itu kan di samping panggilan hati, jiwa, juga berkaitan dengan strategi. Kapan kritik ini pantas dikeluarkan, kapan tidak. Kesenian kan enggak bisa direkayasa. Yang bisa direkayasa hanya kata-kata. Pilihan nada dan notasi itu enggak bisa. Itu lahir dari hati. Letupan-letupan seperti itu enggak bisa dibohongi. Kalau cuma kata-kata, saya melihat televisi, dengerin teman-teman ngomong, mahasiswa, koran, semua dikutip, selesai.
Kalau saya mengambil itu lagi, rasanya bukan hanya latah, tapi juga bising. Jadi, sekarang aku coba kritik diri dulu, deh. Album Suara Hati [sebagai album terbaru-red] ini, meski ada sosialnya, tapi lebih kuat di religi.
Kekentalan religiusitas yang Anda angkat itu seperti pada lagu “Doa”, misalnya berangkat dari pengalaman pribadi atau sekadar eksperimen kesenian saja?
Karena kebutuhan. Dalam kondisi bising, kita bingung mau ngadu ke mana. Karena orang-orang masih saja sibuk, masih saja pusing, ya sudah, ngadu ke Tuhan saja. Mungkin Tuhan bisa ngatur. Sekarang kan saya tinggal di desa. Di sana, orang-orang pengajian di masjid bareng. Rumah saya dikelilingi pengeras-pengeras suara musala. Aku merindukan suasana seperti itu, ramai tapi enggak berisik. Jadi, suasana seperti itu kebawa. Saya ingin mendapatkan sentuhan masjid, puji-puji, jamaah. Ya klasik memang, saling asah, asih, asuh. Tapi, itu sungguh-sungguh.
Lagu itu (“Doa”) sering disebut penggemar Anda sebagai “selawat Iwan Fals”. Tanggapan Anda?
Masa’ sih? (mimik Iwan berkerut) Ya, enggak apa-apa. Itu ekspresi dari mereka. Mau berekspresi seperti itu, ya monggo saja, sejauh itu positif dan enggak mengganggu orang lain. Tapi, selawatnya dalam tanda petik saja, seni suara. Kalau dalam pengertian seperti “Sholawat Badar”, enggak-lah! Jadi, kalau fan menganggap seperti itu, ya tanda petik sajalah.
Syair-syair Anda dikenal biasa, tidak sok puitik, tapi berkarakter. Bagaimana Anda menyusun syair seperti itu?
Ya sama seperti bikin tulisan-tulisan. Enggak semua ditulis, dipilih-pilih, mana yang bagus. Kalau enggak enak di hati, diganti. Bongkar pasang. Seperti kita bercermin. Kurang ini-itu. Harapan untuk dapat pujian, pasti!
Katanya Anda banyak dipengaruhi bacaan-bacaan juga. Buku macam apa yang biasanya Anda baca?
Bukan satu-satunya. Tapi, buku memang memengaruhi. Mulanya buat teman saja, teman tidur. Ngikutin kata-kata, titik, koma, ngantuk, capek, tidur. Tapi, saya enggak pernah masuk ke dalam, detail gitu. Enggak pernah. Bacanya juga apa saja. Sastra, politik, agama, psikologi, apa pun. Jadi, saya baca buku bukan untuk ilmu. Saya baca hanya untuk teman saja, bergaul sama penulis. Ya untuk dialog. Atau kalau lagi capek, gelisah, stres; aku ambil buku. Kadang-kadang malah enggak perlu baca, aku baca judul-judulnya saja. Kumpulan rak-rak buku itu cukup mengobati.
Penggemar Anda kebanyakan anak muda, baik anak muda sekarang ataupun penggemar sejak dulu yang kini telah dewasa. Bagaimana Anda melihat mereka?
Aku lihat biasa-biasa saja. Masih ada prestasi, seperti olahraga (Iwan menyebut berbagai prestasi anak muda di cabang olahraga), musik, terus penghargaan ilmu pengetahuan seperti [olimpiade-red] fisika kemarin. Terus, pergerakan perubahan, mahasiswa kita juga masih aktif. Tapi, anak muda juga banyak terlibat narkoba, kriminal, tawuran. Artinya, jika dikaitkan dengan populasi, imbang-imbang saja. Soal narkoba ini, memang yang paling memprihatinkan.
Anda juga dulu pernah terlibat narkoba. Bagaimana bisa lepas?
Ya karena saya sadar itu enggak ada manfaatnya. Padahal, saya sudah mulai sejak SMP. Itu mungkin karena tuntutan pekerjaan juga. Masa’, dikit-dikit kok mabuk, ngisin-ngisini ‘kan? Kebetulan juga saya suka olahraga, karate. Jadi, ikut membantu.
Waktu masih pemakai ganja, saya paling bisa bertahan nyanyi dengan benar, stabil, ya sekitar lima-enam lagu. Habis itu, harus tambah lagi [ganjanya-red], begitu seterusnya. Kalau 20 lagu, ya tiap lima lagu ngisep. Tapi setelah berhenti, alhamdulillah, 30 lagu saya bisa terus. Tidur juga lebih nyenyak, syaraf-syaraf lebih terawat. Kalau dulu, kulit gampang sekali terkelupas. Jadi, pertimbangannya itu. Untung masih dikasih nalar untuk milih-milih lagi.
Anda dulu pernah mengkritik mahasiswa lewat lagu “Fakultas Dodol”. Bagaimana Anda menilai mahasiswa saat ini?
Aku suka mahasiswa yang turun ke jalan, tapi setelah itu balik lagi ke kampus, belajar lagi. Kalau teman-teman mahasiswa sadar bahwa sarjanaku “sarjana kehidupan”, potensi dalam diri pasti terjadi. Tapi, itu pun benar-benar untuk melawan dan balik lagi, tanpa pretensi mau jadi ketua, gubernur, atau mau jadi apa pun. Kayak Musashi [sang jagoan samurai dalam legenda Jepang-red]; ngelawan bener-bener, terus ngasah ilmu lagi. Jadi enggak, “Aku begini, besok kerja gini.” Enggak begitu. “Aku sekolah, jadi sarjana, mudah-mudahan bisa menghasilkan ilmu baru,” itu tugas sarjana. Kebanyakan teman-teman sekarang kuliah untuk kerja. Akibatnya, potensinya enggak tergali. Kalau teman-teman mahasiswa sadar bahwa sarjanaku sarjana kehidupan, potensi dalam diri pasti tergali. [Iqbal Aji Daryono, Tyas Utami D., Indi Aunullah, dan Ihsanuddin]
Ditulis dengan penyuntingan ulang oleh Adellya Kusuma.