Konde.co menggelar diskusi pada Rabu (18-10) dalam rangka memperingati Hari Aborsi Aman Internasional yang jatuh pada 28 September lalu. Melalui Twitter Space, diskusi ini menghadirkan Anita Dhewy sebagai moderator serta menggaet dua pembicara, yaitu Nur Jannah dari Yayasan Inisiatif Perubahan Akses Menuju Sehat Indonesia dan Nanda Dwinta dari Yayasan Kesehatan Perempuan. Mengusung tajuk “Breaking Stigmas: Aborsi Aman bagi Korban Perkosaan”, diskusi ini membahas kendala korban kekerasan seksual dalam mengakses layanan aborsi aman. Selain itu, disorot pula faktor stigma masyarakat sekaligus kebijakan pemerintah yang menyebabkan ruang aman untuk melakukan aborsi belum sepenuhnya tersedia.
Diskusi diawali dengan Nanda yang mendefinisikan aborsi aman sebagai prosedur kesehatan yang dimandatkan oleh World Health Organization (WHO). “[Aborsi aman menurut WHO-red] harus ditangani oleh tenaga kesehatan yang kompeten serta berdasarkan rekomendasi usia kehamilan,” jelas Nanda. Selain itu, Nanda menambahkan bahwa dalam pelaksanaanya, perlu ada konseling sebelum dan sesudah aborsi serta monitoring dan evaluasi.
Menimpali hal ini, Nur Jannah, atau yang kerap disapa Nana, memaparkan bahwa aborsi aman dapat dilakukan hingga usia kehamilan 28 minggu menurut standar WHO. Namun, di Indonesia, Nana mengungkapkan bahwa batas maksimal aborsi aman adalah hingga usia kehamilan 14 minggu bagi korban kekerasan seksual. Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa aborsi yang diizinkan di Indonesia adalah aborsi karena indikasi klinis medis dan aborsi karena kehamilan yang tidak diinginkan oleh korban kekerasan seksual.
Anita mengungkapkan bahwa regulasi terkait aborsi telah ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan terbaru dan merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terbaru. Namun, Nanda melihat kebijakan ini justru menjadi penghalang bagi korban kekerasan seksual untuk mendapatkan akses aborsi aman. Menurutnya, dalam UU tersebut, layanan aborsi aman masih belum dilihat sebagai layanan kesehatan padahal tujuannya adalah melindungi perempuan dari kehamilan yang berisiko. “Prinsip bahwa layanan ini adalah layanan kesehatan harus dipegang, juga perlu dilatih dan ditunjuk oleh lembaga terkait seperti Kementerian Kesehatan,” ungkap Nanda.
Meskipun demikian, Nanda menjelaskan bahwa masih ada UU yang melegalkan tindakan aborsi dalam situasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang bisa menimbulkan trauma psikologis bagi korban. Usaha dari pemerintah terkait permasalahan ini juga dibuktikan dengan menaikkan batasan maksimal usia kehamilan untuk aborsi, yang semula 6 minggu usia kehamilan, kini menjadi 14 minggu. Nanda juga menambahkan, bahwa dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Kesehatan terbaru, keputusan untuk melakukan tindakan aborsi dalam kasus perkosaan tidak hanya menjadi keputusan dokter atau tenaga medis. “Kalau dalam kasus kekerasan seksual, keputusan korban menjadi pertimbangan yang paling penting, apakah dia ingin melanjutkan kehamilannya atau dia ingin menyudahi,” ujar Nanda.
Setelah pemaparan narasumber, salah seorang peserta dengan akun @kekekapriana membagikan pengalamannya ketika menjadi konselor remaja yang menangani masalah reproduksi kesehatan seksual. Ia menerangkan bahwa banyak kasus kehamilan yang tidak diinginkan merugikan remaja perempuan secara fisik, bahkan hingga menimbulkan trauma. Ia melanjutkan bahwa layanan konseling yang disediakan juga belum optimal.
Permasalahan lain juga diungkapkan oleh @kekekapriana. Beberapa dokter yang memberikan layanan konseling, ungkapnya, juga sering mengaitkan kasus kehamilan yang tidak diinginkan dengan norma dan moral, seolah memojokkan perempuan. “Dokter sendiri tidak punya perspektif yang ramah, selalu ketika ada layanan dimulai dengan norma, ada yang mengatakan soal moral,” ujar Keke.
Menanggapi Keke, Nana menyatakan masalah seputar penolakan berdasarkan norma dan moral oleh tenaga kesehatan perlu diperhatikan oleh pemerintah. Tata kelola mengenai kebijakan aborsi juga harus memperhatikan fenomena ketidaksediaan tenaga kesehatan dalam melakukan pelayanan karena perbedaan nilai. “Negara perlu membuat aturan agar tenaga kesehatan yang bersangkutan punya kewajiban untuk merujuk kepada layanan ataupun tenaga kesehatan yang lain,” jelas Nana. Nana menyebutkan bahwa tata kelola mengenai kebijakan tersebut akan menjadi tugas tambahan negara yang perlu ditegaskan di dalam Rancangan Peraturan Pemerintah.
Di akhir diskusi, Nana menekankan bahwa masyarakat juga perlu berpartisipasi untuk mengikis stigma buruk layanan aborsi lewat kampanye dan edukasi hukum. Ia berharap kedua hal tersebut dapat membantu masyarakat untuk mendiskusikan aborsi sebagai salah satu pemenuhan hak atas pelayanan kesehatan reproduksi. “Ada banyak informasi di luaran sana yang bisa membantu kita untuk mengetahui apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi kasus atau menghadapi kasus jika sudah ada,” tegasnya.
Selain itu, Nana juga mengajak untuk menormalisasi pembicaraan mengenai topik aborsi aman sebagai salah satu opsi korban kekerasan seksual untuk memilih keputusan terbaik bagi dirinya. Tentunya, bagi Nana, hal tersebut memerlukan dukungan ketersediaan layanan medis dan konseling dari pemerintah. “Ini adalah tentang memberikan opsi bagi korban untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya dan tugas negara dan tugas kita adalah untuk memberikan support yang paling tepat dibutuhkan korban,” pungkasnya.
Penulis: Anggita Septiana, Laura Anisa Lindra Fairuzzi, dan Nurul Fajar Maylani (Magang)
Penyunting: Reyhan Maulana Adityawan
Fotografer: Moh. Misbakhul Huda (Magang)