Kita digadang-digadang jadi generasi emas, siap beradu di pasar bebas, siap jadi serdadu perusahaan internasional. Tanpa bekal ideologi, kita berserakan jadi kerumunan yang lupa; terjun bebas menuju kehancuran dunia.
Jalur pedestrian itu begitu ramai. Dipenuhi kerumunan yang tak hanya berasal dari daerah tempatan, ada yang dari ujung Eropa hingga pelosok Indonesia. Di lingkaran bundaran kemasyuran, mereka beradu cepat, berebut waktu bukan bersatu. Tujuan mereka sama: menjadi insan berkualitas di kampus bergelar internasional.
Tak hanya mahasiswa asing yang muncul di sini. Kelas internasional, pertukaran pelajar internasional, pengajar internasional, riset internasional hingga tetek bengek kemancanegaraan lainnya juga ada. Namun, siapa sangka, hal ini ternyata adalah kepicikan rezim. Jargon internasional di sini tidak berdiri sendiri, sobat karibnya bernama neoliberalisasi pun turut mengikuti.
Semua bermula dari pendirian World Trade Organization atau biasa disebut WTO. Cikal bakal kelahirannya bertujuan untuk melanjutkan General Agreement on Trade and Tariff (GATT), yaitu organisasi perdagangan dunia yang diusung 23 negara pada Oktober 1947 setelah Perang Dunia II. Tujuan dibentuknya GATT adalah untuk membantu ekspansi perdagangan internasional dengan pengurangan atau penghapusan hambatan tarif dan nontarif antarnegara anggota. Pada tahun 1995, GATT berganti nama menjadi WTO. Tujuannya sama, tetapi cakupannya lebih luas.
Pembentukan WTO ini juga menandai agenda liberalisasi perdagangan progresif dalam sektor komoditas barang dan jasa secara global. Perdagangan barang diatur melalui GATT. Kemudian, perdagangan jasa diatur melalui General Agreement on Trade in Service (GATS) yang mulai berjalan sejak 1995. GATS mengatur 12 bidang jasa, seperti pendidikan, telekomunikasi, kesehatan, lingkungan, dan lain sebagainya.
Pemerintah Indonesia telah menjadi anggota WTO sejak tahun 1995 dan telah meratifikasi perjanjian WTO melalui UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Perjanjian tersebut mengatur tata-perdagangan barang, jasa, dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Dengan begitu, GATS dan turunan kesepakatan lainnya juga disepakati oleh Indonesia (Effendi 2005).
Agenda Komodifikasi Pendidikan GATS
Komoditas jasa pendidikan resmi dimasukkan dalam agenda GATS di Putaran Doha pada 2001. Pada pertemuan ini, setidaknya, ada empat jasa pendidikan yang disepakati jadi komoditas: (1) primary education service, (2) secondary education services, (3) higher education services, dan (4) adult education services and others.
Empat jasa pendidikan ini terwadahi melalui empat modus kapitalisasi. Pertama, cross border supply. Modus ini mencakup pendidikan jarak jauh (e-learning) dan kursus tanpa mensyaratkan adanya mobilitas fisik bagi konsumen dan pemberi jasa. Kedua, consumption abroad. Konsumen pindah ke negara penyedia jasa. Modus ini mensyaratkan mobilitas konsumen ke negara penyedia jasa pendidikan, biasanya teraplikasi dalam pertukaran pelajar atau beasiswa ke luar negeri. Ketiga, commercial presence. Penyedia jasa pendidikan mendirikan fasilitas di negara lain, seperti kampus cabang dan institusi penunjang pendidikan lainnya. Keempat presence of natural persons. Modus ini mencakup kehadiran ahli, seperti akademisi dan peneliti independen yang memberikan jasa pendidikan ke negara lain. Modus-modus tersebutlah yang menjadi acuan perdagangan jasa pendidikan tinggi (Altbach dan Knight 2007).
Selanjutnya, pengajuan proposal komitmen GATS di sektor pendidikan tinggi dilakukan oleh Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris pada tahun 2001. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari restrukturisasi sektor publik dan penyesuaian taktis terhadap target pasar kawasan Asia (Ziguras 2003).
Seiring waktu berjalan, perdagangan jasa pendidikan dengan cepat menjadi industri besar, hingga kini negara-negara pengusul tersebut semakin masif melakukan ekspansi komersialisasi pendidikan tingginya dan merekomendasikan privatisasi terhadap universitas publik/negeri di negara target. Misalnya, Amerika Serikat. Jasa pendidikan di AS menempati peringkat 6 terbesar ekspor jasa pada periode 2018/2019 dengan nilai $44.04 miliar (BEA 2023). Begitu pula dengan Inggris, total ekspor jasa pendidikan mencapai £21,4 miliar pada 2017 atau naik sekitar 34,7% jika dibandingkan tahun 2010 (UK Department of Education 2019).
Tetek bengek internasionalisasi dan kampanye keragaman budaya digunakan untuk mempromosikan program ini. Padahal, kepentingan nasional negara-negara pengusul tersebut dengan tegas ditujukan untuk kepentingan ekonomi (Altbach dan Knight 2007).
Tak butuh waktu lama bagi Indonesia untuk mengadopsinya. Indonesia secara resmi mengajukan komitmennya terhadap liberalisasi pendidikan pada April 2005 melalui Schedule of Specific Service Commitment terhadap jasa pendidikan tawaran GATS. Undang-undang dan peraturan menteri secara cepat digarap untuk memenuhi komitmen ini. Salah satunya, Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang membuka ruang bagi komersialisasi dan otonomi pendidikan tinggi. Walaupun UU BHP akhirnya dibatalkan di Mahkamah Konstitusi, unsur fundamental liberalisasi pendidikan tetap terjaga sampai terbitnya Undang-Undang No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT) (Susilo 2021; Nalle 2011).
Selain itu, Kemunculan UU PT juga diikuti dengan Permendikbud No. 59 Tahun 2012 tentang Badan Akreditasi Nasional. Terbitnya kebijakan ini menandai progres liberalisasi pendidikan menemui fase stabil. Beberapa universitas dipilih menjadi pilot project kebijakan pendidikan liberal yang baru ini. Generasi pertama PTN-BH (dulu PT-BHMN) ini adalah UGM, UI, IPB dan ITB (Susilo 2021).
Siasat UGM di Panggung Internasional
Lantas, apa sebenarnya hubungan antara program internasionalisasi ini dengan kondisi kampus sekarang? Dengan resminya Indonesia mengadopsi higher education services sebagai bentuk komitmen terhadap program GATS, kampus-kampus dituntut mengikuti dan mengembangkan program ini. Dimulai dari dibentuknya institusi kampus yang otonom agar mempermudah privatisasi hingga reorientasi kurikulum agar bisa sesuai akreditasi internasional (Susilo 2021; Nalle 2011).
Kiwari, rezim internasional berhasil mengikat kampus untuk menggerakkan sendi-sendi pendidikannya ke arah internasional. Setidaknya, program-program semacam kelas internasional ataupun visi-misi institusional di UGM semuanya rata kanan internasional.
Tak heran jika UGM menggencarkan begitu banyak program internasionalnya. Dalam dokumen Renstra UGM 2022–2027 saja tertulis,
“Kebijakan Tridharma pada periode 2022–2027 diarahkan pada upaya mewujudkan UGM sebagai universitas kelas dunia yang unggul, inovatif, inklusif, dan berakuntabilitas sosial” (Renstra UGM 2022–2027, 14).
Perguruan tinggi dilingkupi hegemoni internasionalisasi. Bahkan, rencana strategis UGM pun mengerahkan Tridharma Perguruan Tinggi pada penciptaan universitas kelas dunia. Kiat internasionalisasi ini dibombardir ke seluruh aspek di perguruan tinggi.
Dari Kelas-Kelas Internasional
Di UGM, kelas International Undergraduate Program (IUP) diperbanyak setiap tahunnya. Sejak tahun 2011 hingga sekarang, total terdapat 16 program studi IUP yang dibuka oleh UGM. Program IUP dideskripsikan sebagai program unggulan yang mewajibkan mahasiswanya untuk memperoleh international exposure ‘eksistensi di kancah internasional’ selama menempuh pendidikan. Seleksi program ini pun dilakukan terpisah dari seleksi jalur reguler dengan melalui seleksi nasional, SNPB, dan seleksi mandiri. Biaya per semester yang dibebankan kepada mahasiswa IUP pun berbeda dengan metode subsidi silang kepada kelompok mahasiswa reguler.
Di samping itu, selektivitas jalur IUP juga terhitung lebih rendah daripada jalur reguler. Misalnya, program studi Manajemen reguler memiliki tingkat selektivitas 1,5% pada jalur SBMPTN 2022, sedangkan program IUP-nya memiliki tingkat selektivitas 16,7%. Selain itu, jumlah biaya kuliah rata-rata untuk tiap program studi internasional juga lebih mahal, yakni sebesar 30 juta rupiah yang berlaku untuk setiap mahasiswa IUP.
Kebijakan kelas IUP UGM mencerminkan dua hal. Pertama, terdapat langkah nyata UGM untuk memperlebar potensi masuk pendidikan tinggi bagi siapa pun yang siap membayar biaya kuliah lebih tinggi. Melalui skema ini, mahasiswa berperan menjadi konsumen pendidikan berorientasi global. Kedua, kewajiban international exposure yang ada di program IUP merupakan langkah UGM untuk mendongkrak ranking institusi secara internasional. Jumlah fakultas dengan program internasional merupakan salah satu kriteria penilaian dari daftar pemeringkatan tingkat dunia tersebut. Dalam hal ini, mahasiswa IUP menjadi produk UGM untuk menggenjot pamor kampus di mata publik internasional, seperti QS World Rankings.
Dari Riset-Riset Internasional
Rektor UGM Ova Emilia menyampaikan komitmen UGM untuk meningkatkan produk-produk hasil hilirisasi penelitian yang memiliki perlindungan kekayaan intelektual, seperti paten dan desain industri. Ia menekankan bahwa paten dan desain industri akan berdampak kepada kondisi perekonomian negara. Dalam publikasi beberapa bulan sebelumnya, UGM memberitakan bahwa tren permohonan dan perolehan paten UGM meningkat.
Komitmen patenisasi produk riset ini memiliki fungsi untuk dunia akademik maupun industri. Kontribusi finansial dari industri dapat membentuk agenda dan prioritas penelitian sesuai dengan arah kepentingan mereka sendiri (Jasanoff 2004). Oleh karena itu, patenisasi dapat mendorong komersialisasi dan transformasi ilmu pengetahuan menjadi produk yang dapat dimiliki, diperdagangkan, dan dimonetisasi untuk mendapatkan keuntungan.
Sistem privatisasi ilmu pengetahuan model ini memiliki potensi akan terjadinya konflik kepentingan yang besar antara kepentingan akademik dan industri. Ketika para pakar berpartisipasi ke dalam pengambilan keputusan di level industri, maka penggunaan patenisasi mereka pun akan tunduk pada dinamika dan kontestasi kekuasaan sistem kapitalisme (Jasanoff 2004). Gesekan antara yang lebih urgen dan bernilai lebih ke publik akan terus terjadi. Oleh karena itu, ketika pertumbuhan ekonomi dinilai sebagai prioritas demi pemenuhan kesejahteraan publik, kepentingan akademik kemungkinan besar akan dikalahkan oleh kepentingan industri.
Dari Program MBKM hingga Beasiswa Luar Negeri
Sejak awal tahun 2020, pemerintah pusat menerbitkan program bagi pelajar se-Indonesia, yakni program Merdeka Belajar. Pada tingkat pendidikan tinggi, program ini biasa disebut Merdeka Belajar Kampus Merdeka. Tak tanggung-tanggung, pada 2023 saja, Rp4,57 triliun diperuntukkan bagi program Merdeka Belajar ini. Dari 9 program Kampus Merdeka, ada satu program yang diperuntukkan bagi mobilitas internasional mahasiswa. Program itu adalah Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA) (PUSLAPDIK Kemendikbudristek 2023).
Animo mahasiswa sangat tinggi menyambut program ini. Dari ratusan pendaftar pada 2022, sebanyak 175 mahasiswa dari UGM terseleksi mengikuti program IISMA. Pembentukan program IISMA turut memperluas jangkauan program internasionalisasi di perguruan tinggi. Padahal, dari IISMA sebenarnya tidak ada kontribusi langsung bagi masyarakat atau pengembangan keilmuan. Karena memang, tujuannya mengembangkan kemampuan individu semata (LLDIKTI 2023). Tidak ada kewajiban bagi mahasiswa yang berangkat untuk pulang membagikan ilmu seturut visi kerakyatan.
Yang Salah Bukan Internasionalisasi
Gegap gempita internasionalisasi terkesan tidak berbahaya, dan bahkan ada yang bilang bermanfaat. Namun, praktik internasionalisasi ini sebenarnya menarik gravitasi sosial hanya pada kalangan tertentu. Makna egaliter dalam pendidikan pun lenyap karena yang bagus hanya yang internasional. Hal ihwal kolektif pun direduksi (Collins 2007). Perebutan untuk bisa masuk ke kelas internasional hingga ikut program pertukaran internasional dijalani sendiri-sendiri.
Masih ada alternatif sebenarnya dari kebanalan kehidupan internasional ini. Mari kita mampir ke Kepulauan Karibia sejenak, melihat sebuah negara komunis yang bertahun-tahun dikucilkan dunia, tetapi bertahan dengan kualitas pendidikan dan kesehatan yang sangat baik. Negara itu adalah Kuba ( (Hickling-Hudson, González, dan Preston 2012).
Kuba mendasari program pendidikan dengan prinsip solidaritas. Prinsip ini diekspresikan melalui tiga pilar metode Kuba: program massal, program berkualitas tinggi, dan program berbiaya rendah. Prinsip ini juga didasari atas pengalaman mereka dengan Uni Soviet yang membantu Kuba mengembangkan sistem pendidikannya sendiri. Tindakan Uni Soviet saat itu tak lain dimotori oleh motivasi untuk membawa ribuan anak muda Kuba ke Eropa Timur guna mengenyam pendidikan pada dekade awal revolusi Kuba 1959 (Hickling-Hudson, González, dan Preston 2012).
Melalui prinsip solidaritas tersebut, Kuba sukses menghasilkan tingkat partisipasi pendidikan yang tinggi. Permasalahan literasi sudah selesai di sana, 99% masyarakat di sana sudah melek literasi, baik itu laki-laki maupun perempuan. Selain itu, pada tahun 2022, 53,4% kursi parlemen nasional Kuba dipegang oleh perempuan. Tak hanya itu, Pemerintah Kuba juga memastikan ketersediaan sekolah bagi masyarakat urban maupun desa dengan tujuan menghindari perpindahan penduduk yang berlebihan ke kota. Sekitar 725.000 orang dari total populasi 11.000.000 yang tinggal di daerah pegunungan memperoleh jaminan pendidikan. Semua ini bisa terealisasi dengan pengeluaran Pemerintah Kuba yang besar bagi pendidikan, kurang lebih di angka 10% PDB-nya; tentunya lebih besar bagi negara-negara maju sekalipun (Gasperini 2000; PEHRC 2023).
Setelah berhasil memperbaiki kualitas pendidikan dalam lanskap nasionalnya, Kuba tak segan-segan juga mengampu program internasionalisasi pendidikan. Tujuannya, meningkatkan pendidikan inklusif sekaligus mempererat hubungan multilateral dengan negara dunia selatan. Kuba menyadari bahwa ancaman ekonomi politik negara dunia utara hanya bisa dihalau dengan memaksimalkan kualitas masyarakat. Dengan demikian, proyek internasionalisasi pendidikannya juga ditujukan bagi pembebasan dari negara dunia utara (Hickling-Hudson, González, dan Preston 2012). Seharusnya Indonesia pun demikian. Alih-alih berbondong menggiring investasi bagi mobilitas mahasiswa internasional dan sibuk mencari peringkat internasional, seharusnya masalah pendidikan nasional diselesaikan terlebih dahulu.
Terlepas dari situasi ekonomi yang dikacaukan Barat selama bertahun-tahun, Kuba telah memberikan dukungan dan pelatihan yang luas di universitas-universitas luar negeri. Kuba telah menerima lebih dari 55.000 mahasiswa internasional dari 148 negara yang berbeda. Beasiswa penuh juga diberikan kepada mahasiswa internasional antara lain dari tahun 1961 hingga 2008 (Hickling-Hudson, González, dan Preston 2012).
Pada tahun 2009, diperkirakan ada sekitar 50.000 mahasiswa internasional yang telah lulus dari Kuba. Para mahasiswa ini berasal dari lebih dari 120 negara dan belajar dengan beasiswa penuh di Kuba. Antara tahun 1973 dan 1985, 22.000 guru Kuba bahkan dikirim untuk bekerja di luar negeri (Hickling-Hudson, González, dan Preston 2012).
Jikapun pendidikan dikatakan berhasil dan berkualitas dengan mengacu pada tolok ukur UNESCO, maka Kuba tetap berhasil menandinginya. Dan tentunya, tanpa perlu mengomersialkannya. Dalam Laporan Global Education For All (EFA) UNESCO tahun 2005, Kuba terbukti berhasil mengimbangi kualitas pendidikannya dengan negara maju lainnya. Dari 11 negara yang telah menunjukkan komitmen yang kuat terhadap EFA: Bangladesh, Brazil, Kanada, Chili, Kuba, Mesir, Finlandia, Korea Selatan, Senegal, Afrika Selatan, dan Sri Lanka; hanya empat negara yang telah mencapai standar kualitas pendidikan yang tinggi. Kualitas tersebut meliputi: (1) partisipasi pendidikan; (2) kualitas pengajaran; (3) kurikulum; (4) infrastruktur; (5) evaluasi; (6) kualitas pendidikan tinggi; (7) kesejahteraan siswa dan guru; (8) efisiensi sumber daya; dan (9) hasil belajar siswa. Keempat negara itu adalah Kanada, Kuba, Finlandia, dan Korea Selatan. Kuba merupakan satu-satunya negara yang dikategorikan sebagai negara berpenghasilan menengah ke bawah, sementara tiga negara lainnya adalah negara berpenghasilan tinggi.
Akhirul Kalam,
Lewat prinsip neoliberalisasi, internasionalisasi perguruan tinggi direduksi menjadi tempat akumulasi kapital. Jasa pendidikan diperdagangkan dengan prinsip liberalisme. Permintaan dan penawaran jadi kunci utama manipulasinya. Mereka (baca: perguruan tinggi) yang memiliki daya tawar kapital lebih, tentunya akan bertahan lebih lama dalam kontestasi ini.
Mahasiswa, sebenarnya, adalah tumbalnya. Bukan tak mungkin harga pendidikan akan semakin meroket, walaupun sekarang juga sudah keterlaluan. Kalau sudah begini, pendidikan hanya akan jadi industri ekstraktif lainnya. Memang tumpah ruah kekayaan di sana, tapi kekayaan untuk siapa?
Penulis: Refina Anjani Puspita dan Vigo Joshua
Penyunting: Albertus Arioseto
Ilustrator: Parama Bisatya
Daftar Pustaka
Altbach, Philip G., dan Jane and Knight. 2007. “The Internationalization of Higher Education: Motivations and Realities.” Journal of Studies in International Education 11:290. doi.org/10.1177/1028315307303542.
BEA. 2023. “BEA Interactive Data Application.” BEA Interactive Data Application. https://apps.bea.gov/iTable/?reqid=62&step=9&isuri=1&product=4#eyJhcHBpZCI6NjIsInN0ZXBzIjpbMSw5LDZdLCJkYXRhIjpbWyJwcm9kdWN0IiwiNCJdLFsiVGFibGVMaXN0IiwiMjQ1Il1dfQ==.
Collins, Christopher. 2007. “A General Agreement on Higher Education: GATS, globalization, and imperialism.” Research in Comparative and International Education 2 (4). https://doi.org/10.2304/rcie.2007.2.4.283.
Effendi, Sofian. 2005. GATS dan Liberalisasi Pendidikan, Materi Diskusi BEM KM UGM.
Gasperini, Lavinia. 2000. “The Cuban Education System: Lessons and Dilemmas.” Country Studies Education Reform and Management Publication Series 1, no. 5 (Juli).
Hickling-Hudson, A., J. González, and R. Preston, eds. 2012. The Capacity to Share: A Study of Cuba’s International Cooperation in Educational Development. Palgrave Macmillan US.
Intan, Kenia. 2023. “10 Jurusan UGM yang Paling Populer di Tahun 2022.” Mojok.co. https://mojok.co/kilas/pendidikan/10-jurusan-ugm-yang-paling-populer-di-tahun-2022/.
Jasanoff, Sheila, ed. 2004. States of Knowledge: The Co-Production of Science and the Social Order. N.p.: Taylor & Francis.
LLDIKTI. 2023. “Sosialisasi Program Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA) – LLDIKTI Wilayah XIII.” LLDIKTI Wilayah XIII. https://lldikti13.kemdikbud.go.id/2023/01/24/sosialisasi-program-indonesian-international-student-mobility-awards-iisma/.
Nalle, Victor. 2011. “Mengembalikan Tanggung Jawab Negara Dalam Pendidikan: Kritik Terhadap Liberalisasi Pendidikan Dalam UU Sisdiknas dan UU BHP.” Jurnal Konstitusi 8, no. 4 (Agustus). https://www.neliti.com/id/publications/111798/mengembalikan-tanggung-jawab-negara-dalam-pendidikan-kritik-terhadap-liberalisas.
PEHRC. 2023. “Education in Cuba: Quality and Equity in a Teacher-Based System.” PEHRC. https://www.educationbeforeprofit.org/education-in-cuba-quality-and-equity-in-a-teacher-based-system/.
PUSLAPDIK Kemendikbudristek. 2023. “Anggaran Kemendikbudristek Tahun 2023 Mencapai Rp80,22 triliun – Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan.” Puslapdik. https://puslapdik.kemdikbud.go.id/anggaran-kemendikbudristek-tahun-2023-mencapai-rp8022-triliun/.
Right to Education. 2005. “EFA Global Monitoring Report 2005: Education for All – The Quality Imperative.” Right to Education Initiative. https://www.right-to-education.org/resource/efa-global-monitoring-report-2005-education-all-%E2%80%93-quality-imperative.
Susilo, Joko. 2021. Neoliberalisasi Pendidikan Tinggi Restrukturalisasi Institusi dan Perlawanan Gerakan Mahasiswa Studi Pasca PTNBH 2012-2020. N.p.: Universitas Gadjah Mada.
Universitas Gadjah Mada. 2019. “Workshop Internasionalisasi, Memperkuat Ranking Institusi – FK-KMK UGM.” FK-KMK UGM. https://fkkmk.ugm.ac.id/workshop-internasionalisasi-memperkuat-ranking-institusi/.
Universitas Gadjah Mada. 2022. “Uang Kuliah Tunggal (UKT).” UM UGM. https://um.ugm.ac.id/uang-kuliah-tunggal-ukt-iup/.
Universitas Gadjah Mada. 2022. “Tren Permohonan dan Perolehan Paten UGM Meningkat.” Universitas Gadjah Mada. https://www.ugm.ac.id/id/berita/23078-tren-permohonan-dan-perolehan-paten-ugm-meningkat.
Universitas Gadjah Mada. 2023. “Deskripsi Program Internasional.” UM UGM. https://um.ugm.ac.id/deskripsi-program-internasional/.
Universitas Gadjah Mada. 2023. “Program Studi Program IUP.” UM UGM. https://um.ugm.ac.id/program-studi-program-iup/.
Universitas Gadjah Mada. 2023. “Selektivitas IUP.” UM UGM. https://um.ugm.ac.id/selektivitas-iup/.
Universitas Gadjah Mada. 2023. “UGM Komitmen Tingkatkan Produk Hasil Hilirisasi Dengan Perlindungan Kekayaan Intelektual.” Universitas Gadjah Mada. https://ugm.ac.id/id/berita/23539-ugm-komitmen-tingkatkan-produk-hasil-hilirisasi-dengan-perlindungan-kekayaan-intelektual.
WTO. 1994. “GENERAL AGREEMENT ON TRADE IN SERVICES.” GENERAL AGREEMENT ON TRADE IN SERVICES. https://docs.wto.org/dol2fe/Pages/SS/directdoc.aspx?filename=Q:/SCHD/GATS-SC/SC43.pdf&Open=True.
Ziguras, Christopher. 2003. “The impact of the GATS on transnational tertiary education: Comparing experiences of New Zealand, Australia, Singapore and Malaysia.” The Australian Educational Researcher volume 30. https://doi.org/10.1007/BF03216799.