Kamis (17-08), Komite Pendirian Serikat Pekerja Kampus (SPK) menyelenggarakan kongres sebagai puncak rangkaian deklarasi pembentukan SPK secara nasional. Dalam kongres tersebut, panitia bersama pekerja yang berasal dari ratusan perguruan tinggi di Indonesia menetapkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART), pemilihan pengurus pusat, serta manifesto serikat. Selain itu, kongres yang dilaksanakan secara bauran di Salemba, Jakarta Pusat dan Zoom ini juga dihadiri oleh berbagai unsur pekerja kampus dan serikat buruh yang ingin bersolidaritas.
Kongres dibuka oleh Estu Putri Wilujeng selaku Ketua Panitia Kongres Pendirian SPK yang mengucapkan selamat bagi para pekerja yang bergabung dalam kongres SPK. “Di tengah kondisi [ketenagakerjaannya-red] yang sedang tidak baik, [mereka-red] masih mau berani berkumpul, berserikat, dan ngobrol-ngobrol di sini,” ucapnya. Setelah sesi penyambutan, kongres dilanjutkan dengan penetapan AD/ART dan pemilihan pengurus. Dhia Al-Uyun, dosen Universitas Brawijaya, terpilih sebagai Ketua SPK dan Hariati Sinaga, dosen Universitas Indonesia, terpilih sebagai Sekretaris Jenderal SPK.
Melalui pers rilisnya, Komite Pendirian SPK menjelaskan bahwa pendirian serikat tersebut awalnya didasari atas respons terhadap terbitnya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional. Peraturan tersebut dianggap merugikan dosen sebagai pekerja kampus. Kemudian, muncul kesadaran bahwa pekerja kampus yang tertindas tidak hanya dosen, tetapi juga tenaga pendidik, petugas keamanan dan kebersihan, asisten dosen, hingga pekerja magang. Oleh karena itu, SPK yang awalnya hanya berfokus kepada dosen akhirnya turut memperjuangkan nasib unsur-unsur tersebut.
Pembentukan SPK melalui kongres mendapat banyak dukungan dari berbagai pihak, baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Para akademisi, serikat buruh, dan berbagai lembaga swadaya masyarakat turut memberikan solidaritas dan apresiasi atas terbentuknya SPK di dalam kongres. Budi Ansori dari Building and Wood Workers’ International mengapresiasi SPK yang tidak hanya berfokus kepada permasalahan dosen, tetapi juga pekerja dan staf akademik. Sebab, menurutnya, masih banyak dari mereka yang bekerja lebih dari delapan jam di bawah perintah yang terkadang tidak masuk akal dengan gaji di bawah standar. “Banyak keluhan dari para pekerja kampus yang menerima gaji di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) hingga tidak mendapat jaminan sosial,” tambah Budi.
Vedi Hadiz, profesor asal University of Melbourne, turut mengafirmasi pernyataan Budi tentang banyaknya tuntutan dari kampus terhadap para pekerjanya untuk bekerja secara maksimal. Menurutnya, beban yang dituntut dari kampus tidak selaras dengan kondisi kerja, pengorganisasian institusional, remunerasi, dan sistem kepegawaian yang ada. “Jadi, di satu sisi, pekerja kampus dituntut maksimal, tetapi sistem dan pengorganisasian institusionalnya tidak mendukung para pekerja kampus untuk selalu mencapainya,” terang Vedi.
Ahmad Umar, dosen University of Queensland, menegaskan bahwa para akademisi, pengajar, dan peneliti di perguruan tinggi termasuk ke dalam kelas pekerja. Alhasil, solidaritas dibutuhkan untuk melakukan upaya-upaya perbaikan dalam kehidupan di perguruan tinggi. “Sudah menjadi tugas kita untuk melakukan perlawanan terhadap pihak yang menekan dan mengeksploitasi kita sebagai pekerja,” tegas Umar.
Umar juga menyinggung terkait kongres SPK yang bertepatan dengan peringatan Kemerdekaan Indonesia ke-78. Ia kemudian menceritakan tentang para pekerja Indonesia yang bekerja sama dengan serikat pekerja di Queensland untuk memblokade kapal-kapal Belanda [peristiwa Black Armada-red]. Ia menilai bahwa kongres ini merupakan momentum yang sangat penting untuk kembali mengingat peristiwa semacam itu sekaligus menegaskan bahwa Kemerdekaan Indonesia juga lahir dari keringat dan darah para pekerja. “Sebagai sivitas akademika di kampus, penting untuk mengingat hal tersebut karena kita juga merupakan bagian dari kelas pekerja,” gamblang Umar.
Pembentukan SPK merupakan langkah yang luar biasa dalam sejarah perburuhan di Indonesia. Hal tersebut diucapkan oleh Michele Ford, profesor asal University of Sydney. Ia mengungkapkan bahwa dengan gaji yang tidak memadai, para akademisi dan staf akademik di Indonesia kerap mendapat banyak tuntutan dan beban di luar tugas pokok mereka. Dengan terbentuknya SPK, Michele menilai bahwa wawasan masyarakat Indonesia terhadap gerakan buruh akan bertambah, setelah selama ini hanya terbatas di lingkup industri saja. “Karena di Indonesia masih banyak pegawai kerah putih, khususnya di sektor pemerintahan, yang menganggap bahwa dirinya bukan buruh,” terangnya.
Amru Sebayang dari Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) Jabodetabek menyebut bahwa cara yang dapat dilakukan untuk keluar dari persoalan yang dihadapi pekerja kampus adalah dengan berserikat. Ia memahami bahwa semua pekerja kampus di Indonesia pasti mendukung Tri Dharma Perguruan Tinggi. Akan tetapi, para pekerja kampus juga harus mendapatkan jaminan kesejahteraan untuk melaksanakan hal tersebut. “Dengan berserikat, pekerja kampus bisa membuat collective bargaining (perundingan kolektif) dengan pihak-pihak pengambil keputusan,” tandas Amru.
Kehadiran SPK turut menambah solidaritas buruh lintas sektor. Hal ini diungkapkan Unang Sunarno, ketua umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia, yang menyebut bahwa kongres SPK ini merupakan suatu kemajuan besar bagi perjuangan buruh di Indonesia. “Kami dari serikat buruh manufaktur dan industri sudah sedari lama berangan-angan ada pekerja dari lingkungan akademik yang turut mendukung dan membantu perjuangan buruh di Indonesia,” jelasnya.
Penulis: Cahya Saputra
Penyunting: Fauzi Ramadhan
Fotografer: Istimewa/Serikat Pekerja Kampus (SPK)