“Aku melihat di Jogja tidak ada imajinasi tentang transportasi publik,” keluh salah seorang peserta dalam diskusi yang diadakan oleh Serikat Media dan Industri Kreatif (SINDIKASI) pada Sabtu (05-08). Bertajuk “Kota Ramah Wisata Tak Ramah Pekerja: Mengapa Pekerja Yogyakarta Merindukan Transportasi Umum?”, diskusi tersebut dilaksanakan di pendopo Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) sebagai rangkaian acara pembentukan SINDIKASI cabang Yogyakarta. Diskusi ini menghadirkan tiga pembicara, antara lain; Elanto Wijoyono, Direktur Combine Resource Institution; Muchtar Habibi, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM; dan Ulul Absor, perwakilan pekerja Yogyakarta.
Diskusi dibuka oleh Elanto yang memaparkan keadaan transportasi publik di Yogyakarta berdasarkan data lima tahun terakhir, salah satunya Trans Jogja. “Satu hal yang menarik dari Trans Jogja ialah konsistensi jumlah armadanya yang selalu 128,” ungkap Elanto dengan tawa ironi. Baginya, kondisi ini menjadi miris mengingat tidak adanya upaya peningkatan jumlah armada sama sekali. Adapun, armada dengan keadaan yang tidak layak, seperti pintu bus yang tidak bisa tertutup hingga asap hitam yang mengepul, tetap dipaksakan untuk terus beroperasi.
Selain Trans Jogja, Elanto juga mengeluhkan kondisi bus perkotaan reguler. “Setelah kemunculan Trans Jogja, [mereka-red] tidak secara khusus mendapat support kebijakan dari Pemda (Pemerintah Daerah) sehingga jumlahnya semakin menurun,” ungkapnya. Kondisi ini, menurut Elanto, memperparah situasi yang sudah ada sebelumnya, yakni rute trayek armada bus yang terbatas. Hal ini, menurutnya, lantas berimplikasi pada kondisi transportasi publik yang tidak cukup untuk memobilisasi kegiatan masyarakat Yogyakarta sehari-hari.
Belum selesai dengan dua permasalahan transportasi publik tersebut, Elanto mengungkapkan bahwa pemerintah Yogyakarta malah berencana membangun jaringan kereta api. Namun, ia merasa heran ketika membaca peraturan yang menjadi dasar hukum pembangunan transportasi publik tersebut. Sebab, rute yang direncanakan hanya berputar dari Yogyakarta, Bandara Kulon Progo, Borobudur, Samas, Parangtritis, hingga kawasan Prambanan; cenderung ke tempat pariwisata. “Tentu kita bisa menyimpulkan ini untuk wisatawan, lantas bagaimana dengan [kebutuhan-red] warga?” ujarnya.
Menanggapi Elanto, Absor yang kerap menggunakan transportasi publik di Yogyakarta, khususnya Trans Jogja, merasa bahwa jalur yang dilewati memang terkesan dikhususkan untuk wisatawan. Hal ini membuat perjalanannya ke tempat kerja menjadi semakin jauh karena bus yang ditumpanginya harus melewati tempat-tempat wisata yang tidak ia kehendaki. Absor mengeluhkan pengalaman perjalanan naik Trans Jogja dari rumahnya, di Jalan Kaliurang KM 10, hingga Wirobrajan yang memakan waktu sangat lama. “Rekor saya selama naik Trans Jogja itu selama satu setengah jam, ini udah kayak mau ke Solo,” ujarnya.
Paparan dari Elanto dan Absor ditanggapi oleh Habibib melalui analisisnya terhadap
permasalahan transportasi publik dan hubungannya dengan pekerja. Ia mengungkapkan terdapat dua faktor yang mendorong pembangunan infrastruktur transportasi publik, yaitu kebutuhan ekonomi dan kekuatan politik buruh. Habibi lalu mencontohkan daerah Jabodetabek sebagai wilayah yang memiliki jaringan transportasi masif dan tertata karena wilayah tersebut memiliki banyak daerah industri. “LRT (Light Rail Transit), MRT (Mass Rapid Transit), dan Trans Jakarta itu memang [dibangun-red] untuk menopang ekonomi,” ucap Habibi.
Kemudian, dalam konteks Yogyakarta, Habibi menilai bahwa minimnya layanan transportasi publik disebabkan pemerintah setempat yang lebih memusatkan ekonomi pada sektor pariwisata. Hal ini, menurutnya, disebabkan Yogyakarta bukanlah kota yang ramah industri sehingga kebutuhan atas transportasi publik lantas diarahkan ke tempat-tempat wisata. Selain itu, Habibi menambahkan, “Investor tidak mau membangun pabrik di sini karena mereka tidak bisa memiliki tanah di Yogyakarta.”
Habibi melanjutkan, tidak ramahnya Yogyakarta terhadap industri berimbas pada minimnya jumlah buruh formal di Yogyakarta. Kebanyakan buruh bekerja di sektor informal sehingga secara politis mereka tidak cukup punya kekuatan, terutama untuk berserikat. “Akibatnya, tekanan buruh untuk menuntut transportasi publik tidak besar,” ungkap Habibi. Dengan demikian, menurutnya, kebutuhan buruh terhadap sarana transportasi diabaikan begitu saja oleh pemerintah daerah.
Pada akhir pembicaraan, Habibi menyatakan permasalahan transportasi publik juga harus ditangani melalui intervensi politik. Menurutnya, hal ini harus dilakukan agar dapat memberikan tekanan pada pemerintah untuk membangun jaringan transportasi publik yang mengakomodasi buruh. Ia berharap dengan tumbuhnya serikat pekerja, seperti SINDIKASI dan serikat buruh di perguruan tinggi, dapat membuahkan hasil. “Jadi cara yang paling mungkin adalah mengintervensi sisi politiknya dibanding menunggu itikad baik pemerintah,” pungkas Habibi.
Penulis: Fachriza Anugerah dan Nafiis Anshaari
Penyunting: Fauzi Ramadhan
Fotografer: Nafiis Anshaari