Berangkat dari keluh kesah persoalan upah murah di Yogyakarta, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif (SINDIKASI) mengadakan diskusi bertajuk “Jogja Nggak Bisa Diem! Mengapa Upah Layak di Jogja Susah Didapatkan seperti Hidden Gems?” pada Sabtu (15-07). Acara ini merupakan rangkaian diskusi dalam rangka pembentukan SINDIKASI cabang Yogyakarta yang dilaksanakan di Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial Yogyakarta. SINDIKASI mengundang tiga pembicara dalam diskusi kali ini, antara lain; Prima Sulistya, penulis dan pekerja media; Amalinda Savirani, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada; dan Prabu Yudianto, penulis dan perwakilan warga Yogyakarta.
Sebagai pembuka diskusi, Prima menyoroti perilaku masyarakat Yogyakarta yang suka membicarakan tentang Upah Minimum Provinsi (UMP) Yogyakarta. Ia juga mengungkapkan bahwa masyarakat Yogyakarta cenderung membicarakan tentang rendahnya UMP tanpa mengetahui indikator kelayakan upah. “Mereka selalu bilang kurang, tetapi tidak dijelaskan kurangnya yang seperti apa,” ujarnya.
Lebih lanjut, Prima menjelaskan bahwa sejak tahun 2021, pemerintah menggunakan indikator Kaitz Index untuk mengetahui tingkat kelayakan upah di suatu perusahaan. Indikator ini tidak menghitung jumlah kebutuhan riil masyarakat, melainkan menggunakan median (nilai tengah) deret upah pekerja di perusahaan. Prima lalu menjelaskan bahwa kebijakan ini merupakan perubahan dari kebijakan sebelumnya yang menggunakan indikator indeks Kebutuhan Hidup Layak. “Berdasarkan indeks tersebut (Kaitz Index), upah di Jogja dianggap layak,” tegas Prima.
Sayangnya, realitas di lapangan tidak menunjukkan kelayakan upah pekerja. Linda mengatakan bahwa dengan UMP sejumlah 1,9 juta rupiah, Yogyakarta menempati posisi terendah kedua se-Indonesia pada tahun 2023. “Kalau dibandingkan dengan UMP Jakarta (4,9 juta), selisihnya mencapai 3 juta,” ujar Linda.
Lebih lanjut, Linda menjelaskan bagaimana Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) turut memengaruhi sistem pengupahan. Ia mengungkapkan bahwa sebelum pengesahan UU Ciptaker, upah ditentukan oleh bupati/walikota. Namun setelah pengesahan, upah hanya diputuskan oleh gubernur. Ia juga membandingkan situasi di Bekasi yang mendapatkan peningkatan upah karena dapat melobi bupati dan mendapatkan persetujuan gubernur. “Di Jogja, hal ini menjadi sulit karena gubernurnya raja. Akan sulit melakukan negosiasi dengan raja,” ungkapnya.
Selaras dengan Linda, Prabu menceritakan bagaimana sistem pemerintahan monarki menjadikan masyarakat merasa selalu dilindungi oleh Keraton. “Yang menarik, dengan gaji sehina itu masyarakat Jogja merasa dirinya sejahtera,” ucapnya. Prabu juga menambahkan bahwa tidak adanya political will menjadi salah satu penyebab dari sistem pengupahan yang rendah di Yogyakarta. Menurutnya, sistem pemerintahan yang bergiliran ini tidak akan melahirkan tekanan apa pun ke dalam masyarakat.
Dalam kontestasi politik praktis, Prabu mengungkapkan bahwa calon anggota legislatif di Yogyakarta tidak mampu menghadirkan solusi dari permasalahan pengupahan yang rendah. Mereka selalu berangkat dari restu Sultan. Prabu juga menilai bahwa sedari awal mereka tidak pernah berfokus kepada penanganan isu kesejahteraan masyarakat Jogja. “Mereka tidak pernah menjanjikan kenaikan upah buruh ataupun kesejahteraan masyarakat. Mereka akan selalu mengucapkan, ‘Saya akan mengistimewakan Jogja’,” tuturnya.
Tak hanya itu, pemerintah yang menjabat pun turut andil dalam menciptakan kerentanan terhadap rendahnya upah buruh. Menurut Linda, penutupan pintu negosiasi yang dilakukan oleh pemerintah dapat membatasi usaha serikat buruh untuk memperjuangkan hak mereka. “Pintu negosiasi upah dalam kabupaten/kota ditutup, pintu demonstrasi juga semakin ditekan sehingga buruh semakin terbatas untuk berekspresi dan berserikat,” ungkap Linda.
Rohayah (bukan nama asli), seorang ibu paruh baya, ikut menanggapi pernyataan Linda yang menjelaskan rendahnya upah di Yogyakarta. Ia merasa muak mendengar berita dan diskusi tentang upah rendah. Menurutnya, jika kondisi masyarakat Yogyakarta sudah terdesak oleh rendahnya upah, maka rakyat perlu bersuara. ”Kalau mengamuk, kita tidak akan kualat karena sebagai anak (rakyat) sudah seharusnya meminta kepada bapaknya dan bapak (pemerintah) harus bisa membahagiakan anak,” ucap Rohayah.
Penulis: Adhika Nasihun Farkhan, Ester Veny Situmorang, dan Titik Nurmalasari
Penyunting: Ananda Ridho Sulistya
Ilustrator: M. Rafi Pahrezi