“Apa Martin terkena skizofrenia karena terlanjur menganggap dirinya ‘mesin yang menganggap dirinya penyair’?” ujar Saut Situmorang, penyair dan kritikus sastra, dalam bedah buku yang diselenggarakan oleh Jual Buku Sastra di Kasihan, Bantul. Mengambil tajuk “Mungkinkah BERPUISI Tanpa BAPER”, acara ini diadakan untuk membedah buku terbaru karya Martin Suryajaya yang berjudul Penyair sebagai Mesin. Selain Saut, Martin selaku penulis dan Muhammad Al-Fayyadl sebagai pegiat sastra juga turut hadir sebagai narasumber sekaligus pembedah buku.
Martin menjelaskan bahwa lahirnya buku Penyair sebagai Mesin didasari fenomena masifnya kecerdasan buatan (AI) yang dapat digunakan oleh khalayak awam, salah satunya ChatGPT. Hal tersebut membuat Martin tertarik melakukan eksperimen automatic writing ‘penulisan otomatis’ dengan ChatGPT untuk membuat puisi. Bagi Martin, penciptaan karya atau puisi bisa didasari oleh gejolak atau hasrat, alih-alih emosi yang maksimal seperti pada penciptaan puisi pada umumnya. “Tujuan dari buku ini adalah untuk menciptakan puisi tanpa merasakan apa-apa. Selama ini memang tidak memungkinkan, namun muncul celah saat AI berkembang,” ujar Martin.
Menanggapi Martin, Saut mengungkapkan kemampuan mesin masih belum bisa memahami suasana kata, semisal dalam memahami penggunaan parikel “mu” yang sering digunakan dalam puisi miliknya. “Bagaimana mesin melihat ini, misal kata tubuhMu, dengan M kapital, dan M kapital ini sebenarnya untuk Jessica misalnya. Bagaimana mesin mendeteksi permainan ini?” tanya Saut. Saut pada akhirnya tetap kukuh terhadap pandangan kesusastraannya yang menganggap bahwa bahasa sastra itu bukan sekadar bahasa sehari-hari, akan tetapi bahasa yang menunjukkan keilahian.
Sejak awal hingga akhir acara, Saut terus memberikan kritik keras terhadap metode kritik sastra yang digunakan Martin pada buku ini, yakni metode pembacaan jauh. Metode ini merupakan metode kritik sastra yang mengedepankan teknik pengumpulan data dalam jumlah besar dan analisis berdasarkan sampel, statistik, serta parateks. Bagi Saut, metode pembacaan jauh telah merendahkan kritik sastra karena memandang sastra melalui statistik linguistik belaka. “Gaya penulisan artikelnya itu pun tidak menimbulkan birahi tekstasi untuk menggaulinya lebih dekat karena terasa begitu kering dan jauh,” tambahnya.
Senada dengan Saut, Al-Fayyadl turut mengomentari kelemahan dari buku terbaru Martin. Baginya, Martin melebih-lebihkan interpretasi atas puisi karena mustahil membayangkan sastra masuk dalam ruang artifisial. Selain itu, Al-Fayyadl juga menegaskan bahwa terjadi bias antroposentris dalam penelitian Martin. “Terdapat intervensi dan pengeditan oleh manusia dalam buku ini. Inikan berarti ada unsur subjektivitas manusianya juga,” ungkap Al-Fayyadl. Jadi bagi Al-Fayyadl, interpretasi Martin atas puisi dan mesin adalah hal yang nisbi.
Adapun, Al-Fayyadl menambahkan bahwa karya Martin ini anti-klimaks saat sampai ke pembaca. Penyebabnya adalah penggabungan antara metode sastra dan filsafat yang selalu memberikan hasil ambigu. Selain itu menurut Al-Fayyadl, interpretasi Martin terhadap mesin sebagai unsur esensial adalah hal yang muskil. “Bagi saya mesin itu sementara only a tool atau menciptakan variasi-variasi baru dalam bersastra,” jelas Al-Fayyadl.
Menutup diskusi, Martin menegaskan bahwa buku ini menjadi eksperimen awal untuk mengeksplor pertanyaan-pertanyaan yang akan muncul di dunia sastra kedepannya. Martin melanjutkan bahwa banyak penulis lain seperti Dadang Ari Mulyono, AS Laksana, dan Sabda Armandio yang turut meriset dan bereksperimen dengan mesin. “Tren ini menjadi kemungkinan baru yang ke depannya akan lebih ramai lagi,” pungkas Martin.
Penulis: Ahmad Arinal Haq dan Nafiis Anshaari
Penyunting: Vigo Joshua
Fotografer: Nafiis Anshaari